KARAKTERISTIK AHLUSSUNAH WALJAMAAH

KARAKTERISTIK AHLUSSUNAH WALJAMAAH

Resume

untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Agama 2 (Aswaja)

 index

 

 

NAMA KELOMPOK:

Syayyidatul Istianah ( 151120001738 )

Anita Nur Jannah ( 151120001711 )

Alfiatur Rohmaniah ( 151120001743 )

Arum Kholifah M.F ( 151120001705 )

 

PROGRAM STUDI AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMAJEPARA

TAHUN 2016

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Karakteristik Ahlussunnah Waljamaah.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya.Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segal4a saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata kami mengucapkan terimakasih.

Jepara, 24 Februari 2015

Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN DEPAN   1

KATA PENGANTAR.. 2

DAFTAR ISI 3

BAB 1PENDAHULUAN.. 4

1.1 Latar Belakang. 4

1.2 Rumusan Masalah. 4

BAB 2 PEMBAHASAN.. 5

1.1 Khilafiyah Antara al­Asy’ari dan al­Maturidi (BIDANG AQIDAH) 5

1.1.1 Beberapa Masalah Khilafiyah antara al­Asy’ari dan al­Maturidi 5

1.1.2 Akidah Ahlussunah Wal-Jama’ah. 9

1.2 Mazhab Ahlussunnah (BIDANG FIQH) 16

1.2.1 Mazhab Hanafi 16

1.2.2 Mazhab Maliki. 17

1.2.3 Mazhab Syafi’i 18

1.2.4 Mazhab Hanbali 18

1.3 Bidang Tassawuf. 19

1.3.1       Riwayat Hidup Al Ghazali 19

1.3.2       Latar Belakang Tasawuf AlGhazali 20

1.3.4       Pengaruh Tasawuf Al Ghazali 23

1.4 Biografi Al-Junayd al-Baghdadi 24

1.4.1 Pengertian tasawuf meneurut Junayd al-Baghdadi dan tokoh lainnya. 24

1.4.2 Pemikiran dan Ciri Tasawuf Al-Junayd al-Baghdadi 25

BAB 3PENUTUP. 27

3.1 Kesimpulan. 27

3.1 Saran. 27

DAFTAR PUSTAKA.. 28

 

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam sejarahnya Ahlusunnah Waljamaah selalu mengalami perkembangan secara dinamis menurut perkembangan jaman, jadi tidak wajar jika Ahlussunah Waljamaah banyak pengikutnya diindonesia. Pada hakikatnya orang Indonesia lebih dominan mengikuti imam Syafi’i dalam bidang fiqh, imam Asy’ari dalam bidang akidah, dan imam Al-Gazali dalam bidang tasawuf yang mana karya-karyanya dikaji oleh berbagai lembaga pendidikan islam di Indonesia.

Pandangan­pandangan al­Maturidi dan al­Asy’ari, didapati bahwa antara keduannya terdapat perbedaan dalam paradigma pemikiran dan kesimpulan yang dicapai oleh keduanya.Meskipun tidak diragukan bahwa keduanya selalu berusaha menegaskan akidah­akidah yang dikandung oleh Al­Qur’an berdasarkan dalil rasional dan pembuktian­pembuktian logika.Mereka juga konsisten mengikuti akidah­akidah Al­Qur’an tersebut.Meskipun al­Maturidi cenderung lebih rasional dan memberikan porsi yang lebih besar terhadap nalar daripada al­Asy’ari. Menurut Abu Zahrah, golongan al­Maturidi memberikan peran yang cukup besar terhadap nalar tanpa melebih­lebihkan. Sementara golongan al­Asy’ari membatasi diri dengan dalil­dalil naqli dan memperkuatnya secara sungguh­sungguh, sehingga seorang peneliti akan mudah mengambil kesimpulan bahwa mazhab al­Asy’ari berada di garis mu’tazilah di salah satu sisi, dan ahli fiqih dan hadits di sisi lain. Sementara golongan al­Maturidi berada di varis antara Mu’tazilah dan Asyar’iah.Sebagian pakar ada yang mengembalikan latar belakang perbedaan mazhab al­asy’ari dan al­maturidi terhadap perbedaan latar belakang mazhab fiqih keduannya, dimana al­asy’ari mengikuti mazhab al­syafi’i, sedangkan al­maturidi mengikuti mazhab hanafi.

1.2   Pembahasan

Pembahasan dalam makalah ini antara lain :

  1. Karakteristik Ahlusunnah Waljamaah dalam bidang Aqidah
  2. Karakteristik Ahlusunnah Waljamaah dalam bidang Fiqh
  3. Karakteristik Ahlusunnah Waljamaah dalam bidang Tassawuf

 

BAB II

PEMBAHASAN

  1. Karakteristik Ahlusunnah Waljamaah dalam bidang Aqidah

Beberapa istilah akidah dalam Ahlussunah Wal-Jama’ah :

  • Ilahiyyat (ketuhanan) yaitu bahasan yang berkenaan dengan Tuhan dan sifat-sifat-Nya.
  • Nubuwat (kenabian) yaitu bahasan yang berkenaan dengan kenabian, para nabi dan sifat-sifat mereka.
  • Kauriyyat (kosmos) yaitu bahasan yang berkenaan dengan alam semesta, seperti malaikat, setan, jin, dan lain-lain.
  • Ghaibiyyat yaitu bahasan yang berkenaan dengan hal-hal yang gaib, seperti surga, neraka, hari kiamat, dan lain-lain.
  • Aqliyyat yaitu bahasan yang berkenaan dengan hal-hal yang bersifat rasional atau yang dibuktikan berdasarkan dalil ‘aqli.
  • Sam’iyyat yaitu bahasan yang berkenaan dengan hal-hal yang diinformasikan al-Qur’an dan hadits.
  1. Ilahiyyat (ketuhanan)
  2. Iman ialah pengakuan dengan lisan dan pembenaran dengan hati.
  3. Tuhan itu ada, dan namanya Allah. Dia memiliki 99 nama yang disebut al-Asma’ al-husna.
  4. Allah SAW memiliki sekian banyak sifat yang dapat disimpulkan menjadi 3 pertama, sifat-sifat jalal (kebesaran), kedua sifat-sifat jamal (keindahan) dan yang ketiga sifat-sifat kamal (kesempurnaan).
  5. Sifat-sifat Allah SAW yang wajib diketahui ada 20 sifat wajib bagi Allah dan 20 sifat mustahil bagi-Nya, serta satu sifat jaiz (wajib ada) bagi Allah SAW.
  • Wujud (ada) >< ‘Adam (tidak ada)
  • Qidam (terdahulu) ><Huduts (baru)
  • Baqa’ (kekal) ><Fana (berubah-ubah)
  • Mukhalafatu lil-hawaditsi (berbeda dengan makhluk-Nya) ><Mumatsalatu lil-hawaditsi (menyerupai sesuatu)
  • Qiyamuhu bi-nafsihi (berdiri sendiri) ><Qiyamuhu bi-ghairihi (berdiri-Nya dengan yang lain)
  • Wahdaniyat (esa/satu) ><Ta’addud (lebih dari satu)
  • Qudrat (kuasa) >< ‘Ajzun (lemah)
  • Iradat (berkehendak) ><Karahah (terpaksa)
  • ‘Ilmu (mengetahui) ><Jahlun (bodoh)
  • Hayat (hidup) ><Mautun (mati)
  • Sama (mendengar) ><Bakam (tuli)
  • Bashar (melihat) >< ‘Ama (buta)
  • Kalam (berkata) ><Shamam (bisu)
  • Kaunuhu Qadiran (Allah itu Maha Kuasa) ><Kaunuhu ‘Ajizan (lemah dan tidak berkuasa)
  • Kaunuhu Muridan (Allah itu Maha Berkehendak) ><Kaunuhu Mukrahan (dipaksa oleh selain-Nya)
  • Kaunuhu ‘aliman (Allah itu Maha Mengetahui) ><Kaunuhu Jahilan (maha bodoh)
  • Kaunuhu Hayyan (Allah itu Maha Hidup) ><Kaunuhu Mayyitan (maha mati)
  • Kaunuhu Sami’an (Allah maha mendengar) ><Kaunuhu Abkam (maha tuli)
  • Kaunuhu Bashiran (Allah itu maha melihat) ><Kaunuhu A’ma (maha buta)
  • Kaunuhu Mutakalliman (Allah itu maha berkata) ><Kaunuhu Ashamma (maha bisu)
  1. Sifat yang jaiz (boleh) bagi Allah SWT hanya ada satu, yaitu fi’lu kulli mumkinin au tarkuhu (melakukan segala sesuatu yang mungkin atau meninggalkannya).
  2. Allah SWT ada tanpa tempat dan tanpa dilalui oleh waktu.
  3. Ahlusunnah Wal-Jama’ah mempercayai adanya Qadha’ dan Qadhar allah, yaitu takdir ilahi. Meliputi:
  • Semua kejadian di dunia ini sudah ada dalam Qadha’ Allah SWT, yaitu hukum Tuhan pada azal, bahwa hal tersebut akan terjadi.
  • Semua kejadian di dunia ini, baik dan buruknya, semuanya adalah diciptakan oleh Allah SWT.
  • Meskipun semua yang terjadi atas takdir Allah SWT, tetapi manusia telah diberi kasab, ikhtiar, dan usaha. Karena itu manusia wajib berikhtiar dan berusaha.
  • Pahala yang diberikan Allah SWT kepada manusia adalah karunia-Nya dan hukuman yang diberikan kepada manusia adalah karena keadilan-Nya.
  1. Allah SWT bersama nama-Nya dan sifat-sifat-Nya adalah Qadim (tidaak berpermulaan), karena Nama dan Sifat itu menetap pada zat yang Qadim.
  2. Al-Qur’an al-Karim adalah kalam Allah yang Qadim. Sedangkan yang tertulis dalam Mushhaf, yang berupa huruf dan suara adalah gambaran dari kalam Allah yang Qadim. Al-Qur’an al-Karim dikatakan Qadim, dan tidak boleh dikatakan hadits (baru) atau makhluk.
  3. Nama Tuhan tidak boleh dibuat-buat oleh siapa pun. Nama Tuhan itu ditetapkan berdasarkan dalil al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’ ulama.
  4. Allah SWT dapat dilihat oleh penduduk surga dengan mata kepala, bukan dengan mata hati.
  5. Pada waktu di dunia, tidak ada manusia yang dapat melihat Allah SWT kecuali Nabi Muhammad SAW pada malah mi’raj di sidrat al-Muntaha.
  6. Nubuwwat (Kenabian)
  7. Mengutus para rasul adalah suatu karunia Allah SWT kepada umat manusia untuk menunjukkan jalan yang lurus bagi mereka.
  8. Nabi yang pertama kali diutus oleh Allah SWT dan dibekali dengan wahyu dan hukum-hukum syari’at adalah Nabi Adam AS, ayah umat manusia. Sedangkan nabi terakhir dan penutup adalah Nabi Muhammad SAW.
  9. Dalam al-Qur’an al-Qarim, Allah SWT menyebutkan 25 nabi dan rasul yang harus diakui kenabiannya oleh setiap muslim. Mereka adalah Nabi Adam AS, Nabi Idris AS, Nabi Nuh AS, Nabi Hud AS, Nabi Shalih AS, Nabi Ibrahim AS, Nabi Luth AS, Nabi Ismail AS, Nabi Ishaq AS, Nabi Ya’qub AS, Nabi Yusuf AS, Nabi Yusuf AS, Nabi Syu’aib AS, Nabi Ayyub AS, Nabi Dzul Kifli AS, Nabi Musa AS, Nabi Harun AS, Nabi Dawud AS, Nabi Sulaiman AS, Nabi Ilyas AS, Nabi Ilyasa’ AS, Nabi Yunus AS, Nabi Zakariya AS, Nabi Yahya AS, Nabi Isa AS, Nabi Muhammad SAW.
  10. Perbedaan terpenting antara Nabi Muhammad SAW dengan nabi-nabi sebelumnya adalah, kalau nabi-nabi sebelumnya oleh Allah SWT diutus kepada kaumnya saja. Sedangkan Nabi Muhammad SAW diutus kepada seluruh umat manusia, jin, dan Malaikat.
  11. Setiap muslim wajib mengetahui dan meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW lahir di Mekkah. Sesudah berusia 40 tahun, beliau diangkat sebagai Rasul, dan ayat-ayat al-Qur’an diturunkan kepada beliau secara berturut-turut selama 23 tahun. Sesudah 13 tahun menjadi Rasul, beliau berhijrah ke Madinah, menetap di sana dan wafat di sana.
  12. Nabi Muhammad SAW adalah manusia seperti kita, bukan Malaikat. Beliau juga makan, minum, tidur, menikah dan mempunyai keturunan seperti layaknya manusia biasa.
  13. Nasab Nabi Muhammad SAW dari jalur ayah adalah, Muhammad bin Abdullah, bin Abdul Muthalib, bin Hasyim, bin Abdi Manaf, bin Qushai, bin Kilab, bin Murrah, bin Ka’ab, bin Lu’ay, bin Ghalib, bin Fihir, bin Malik, bin Nazhar, bin Kinanah, bin Khuzaimah, bin Mudrikah, bin Ilyas, bin Mudhar, bin Nizar, bin Ma’ad, bin Adnan. Dari jalur ibu adalah, Muhammad bin Aminah, binti Wahab, bin Abdi Manaf, bin Zuhrah, bin Kilab (kakek Nabi Muhammad SAW yang keenamm dari jalur ayah).
  14. Isti-istri Nabi Muhammad SAW mulai dari menikah hingga wafatnya adalah Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwailid, ‘Aisyah binti Abi Bakar al-Shiddiq, Hafshah binti Umar, Ummu Salamah binti Abi Umayyah, Ummu Habibahh binti Abu Sufyan, saudah binti Zam’ah, Zzainab binti Jahasy, Zainabbinti Khuzaimah, Maimunah binti al-Harits, Juwairiyah binti al Harits dan Shafiyyah binti Huyay –radhiyallahu ‘anhunna.
  15. Putra-putri Nabi Muhammad SAW adalah, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, Siti Fathimah, Qasim, Abdullah dan Ibrahim AS.
  16. Nabi Muhammad SAW isra’ (melakukan perjalanan di malam hari) dari Mekkah ke Baitul Muqaddas di Palestina, lalu mi’raj ke Sidratul Muntaha pada tanggal 27 Rajab dan kembali malam itu juga dunia (Mekkah) dengan membawa perintah shalat lima kali dalam sehari semalam. Beliau melakukan isra’ dan mi’raj dengan tubuh dan ruhnya.
  17. Nabi Muhammad SAW diangkat sebagai nabi lebih dulu dari nabi-nabi yang lain, yaitu ketika Nabi Adam AS masih terbaring diSurga dan belum diberi jiwa (ruh). Karena itu, beliau adalah nabi yang pertama kali diangkat, tetapi terakhir lahir di dunia
  18. Nabi Muhammad saw akan memberi syafa’at (bantuan) nanti di akhirat kepada seluruh manusia. Syafa’at beliau nanti bermacam-macam, diantaranya menyegerakkan pelaksanaan hisab di padang Mahsyar.
  19. Sesudah Nabi Muhammad saw meninggal, maka pengganti beliau yang sah sebagai pemimpin umat adalah Sayidina Abu Bakar al-Shiddiq, sebagai khalifah yang pertama Sayidina Umar bin al-Khattahab sebagai khalifah yang kedua, Sayidina Utsman bin Affan sebagai khalifah yang ketiga dan Sayidina bin Abi Thalib sebagai Khalifah yang keempat, keempat kholifah tersebut disebut dengan Khulafaur Rasyidin.
  20. AhlusunnahWal-jamaah menyakini bahwa nabi Muhammad saw adalah makhluk Allah yang paling mulia. Dibawah beliau rasu;-rasul yang lain, lalu para nabi, lalu malaikat dan kemudian manusia.
  21. Ahlusunnah Waljama’ah menyakini bahwa sahabat Nabi Muhammad saw yang paling mulia adalah Sayidina Abu Bakar, lalu Sayidina Umar bin Khattab, Sayyidina utsman bin Alfan, lalu Sayyidina Ali bin Abi Thalib, lalu sahabat yang 10 dikabarkan oleh nabi akan masuk surga yaitu 4 orang khalifah tersebut ditambah dengan thalhah bin Ubaidilah, Zubur bin Awwam, Abdurrohman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash, Sa’id bin Zaid dan Abu Ubaidah Amir bin Al- Jan’ah sessudah mereka adalah para sahabat peserta perang badar.lalu peserta perang Uhud, lalu para sahabat yang ikut dalam Ba’iat al Ridhwan dan terakhir seluruh sahabat selain mereka.
  22. Berkaitan dengan pertikaian dan peperangan antara sesama sahabat Nabi saw, seperti peperangan Jamal antara Sayidah Aisyah dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Peperangan Shiffin antara Sayidina Ali bin Abi Thalib dan sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Ahlusunnah Wal-Jama’ah menanggapinya secara positif, berangkat dari ijtihad masing-masing. Kalau ijtihat tersebut benar menurut Allah SWT maka mereka akan mendapatkan 2 pahala. Tetapi kalau ijtihad mereka keliru menurut Allah SWT akan mendapatkan pahala, atas ijtihadnya tersebut.
  23. Ahlusunnah Wal-Jama’ah meyakini bahwa seluruh keluarga Nabi Muhammad, khususnya Ummul Mukminin Sayidatina Aisyah yang tertuduh melakukan kesalahan adalah bersih dari noda. Fitnah yang dilancarkan kepada keluarga Nabi saw adalah fitnah yang dibuat-buat.
  24. Kenabian dan Kerasulan seseorang adalah karunia dari Tuhan. Pangkat ini tidak dapat diperoleh dengan diusahakan, misalnya mencari ilmu, bertapa, beribadah, dan lain-lainnya. Karenanya, seorang wali tidak akan dapat mencapai derajat para nabi.
  25. Para Rasul Allah diberkati dengan Mu’jizat, yaitu perbuatan yang istimewa yang diluar kemampuan manusia biasa, Seperti Nabi Ibrahim yang tidak terbakar oleh Api, Nabi Isa yang pandai menghidupkan orang yang sudah mati, Nabi Musa yang pandai menjadikan tongkatnya sebagai ular, Nabi Muhammad dengan kitabnya Alqur’an al-karim yang tidak dapat ditiru oleh siapapun, air dari anak jari beliau, bulan dibelah menjadi dua, matahari berjalan dan lain-lain.
  26. Ahlusunnah Wal-Jamaah menyakini adnya karomah para wali. Karomah adalah perbuatan yang istimewa yang diluar kebiasaan manusia, yang dilakukan oleh para wali Allah. Seperti makanan yang datang sendiri kepada Siti Maryam, dan ahli gua (ashabul khafi) yang tidur selama 309 tahun tanpa mengalami kerusakan pada tubuh mereka.
  27. Nabi Muhammad adalah nabi terakhir dan penutup para nabi, sehingga seseudah beliau tidak akan ada nabi lagi. Demikian pula pangkat kenabian dan kerasulan telah ditutup oleh pangkat beliau. Demikian nabi-nabi pembantu tidak ada lagi setelah beliau. Siapapun yang mengaku sebagai nabi atau rasul, baik nabi sendiri atau nabi yang menjalankan syari’at Nabi Muhammad saw, maka orang tersebut adalah pembohong dan harus dilawan.
  28. Para nabi itu memiliki 4 sifat mustahil, Sifat Wajib bagi mereka adalah Shiddiq (jujur), amanah (dipercaya),tabligh ( menyampaikan perintah), dan fathanan (cerdas). Sedangkan sifat mustahil bagi mereka adalah khizib (berdusta), khianat, kitman (menyembunyikan perintah), baladah (dungu).
  29. Kaum Muslimin percaya dengan kitab-kitab yang duturunkan Allah kepada rasul-Nya untuk disampaikan kepada umatnya. Kitab-kitab suci yang diturunkan oleh Allah SWT banyak sekali, tetapi yang wajib diketahui terperinci adalah 4, yaitu
    • Kitab Taurat diturunkan kepada Nabi Musa as
    • Kitab Zabur yang diturunkan kepada Nabi Dawud as
    • Kitab Injil diturunkan kepada Nabi Isa as
    • Kitab al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.
  30. Ahlusunnah Wal-Jama’ah meyakini bahwa al-Qur’an yang ada sekarang adalah asli tanpa ada perubahan, pengurangan, dan penambahan. Barang siapa yang meyakini bahwa al-Qur;an sekarang tidak asli telah mengalami perubahan, pengurangan, dan penambahan maka ia telah kufur.
  31. Ahlusunnah Wjal-Jama’ah meyakini bahwa penolakan terhadap nash (teks) al-Qur’an dan nash hadist yang telah diyakini bahwa hal tersebut memang nash al-Qur’an dan hadist adalah kufur.
  32. Seorang hamba tidak akan sampai pada derajat yang dapat menggunakan kewajiban syari’at bagi dirinya.
  33. Kauniyyat (Kosmos)
  34. Kaum Muslimin wajib mempercayai adanya para Malaikat, yaitu makhluk halus yang dicitptakan oleh Allah dari cahaya. Jumlah mereka banyak sekali dan tidak teerhitung. Tetapi yang wajib dipercayai secara terperincin 10, yaitu :
  • Malaikat Jibril , yang bertugas mengantarkan wahyu
  • Malaikat Mikail, yang bertugas mengatur hujan, angin, tanah, kesuburan dan lain-lain
  • Malaikat Israfil, yaitu bertugas mengatur hal-hal akhirat seperti meniup trompet ( sangkakala) sebagai tanda kiamat meniup trompet sebagai tanda bangun kembali di Padang Mahsyar dan lain-lain
  • Malaikat Izrail yaitu bertugas mencabut nyawa ke mana mestinya
  • Malaikat Munkar dan Nakir bertugas menanyai manusia yang sudah mati dalam kubur
  • Malaikat Raqib dan Atid yangb mencatat perbuatan manusia sehari-hari, malaikat Roqib mencatat amal baik, malaikat Atid Mencatat amal buruk
  • Malaikat Malik yang bertugas menjaga Neraka Jahannam yang disebut malaikat Zabaniyah
  • Malaikat Ridwan bertugas menjaga surga
  1. Kaum muslimin harus percaya terhadap adaya Jin, yaitu Makhluk halus yang diciptakan oleh Allah SWT dan api
  2. Kaum Muslimin harus percaya bahwa manusia pertama (Nabi Adam) diciptalan Allah dari tanah liat. Dan manusia sebagai berikutnya
  3. Allah menciptakan manusia sejak manusia pertama (Nabi Adam) dalam bentuk yang sangat sempurna, dan bukan melalui proses evolusi dari kera dan orang utan.

 

  1. Ghaibiyyat (Perkara Ghaib)
  2. Bangkit sesudah mati hanya terjadi satu kali. Manusia pada mulanya tidak ada kemudian lahir ke dunia, lalu sesuah itu mati, dan sesudah itu bangkit kembali (hidup) dan berkumpul di Padang Mahsyar, sesuai dengan ayat al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 28.
    • Pendeknya manusia kalau mati, maka tidak akan hidup lagi walau menyerupai binatang tau apa saja.
    • Manusia akan hidup kembali nanti pada hari kiamat apabila (nafir) terompet telah dibunyikan oleh malaikat israfil.
    • Hal ini berbeda dengan kepercayaan orang-orang syi’ah yang berkeyakinan kembali bahwa sayidina Ali akan hidup kembali pada akhir zaman, lalu sesudah itu hidup kembali di Padang Mahsyar.
  3. Setiap orang muslim wajib mempercayai hari kiamat. Permulaan hari akhir bagi setiap orang adalah sesudah mati, dengan melalui proses dan tahapan sbb :
  • Setiap orang akan mati jika batas usianya sudah habis.
  • Setelah mati, ia akan dikubur. Dalam kubur akan ditanyai oleh malaikat Munkar dan Nakir, tentang siapa Tuhanmu, tentang siapa Nabimu, siapa Imammu dan pertanyaan-pertanyaan lain.
  • Orang yang jahat akan disiksa dalam kubur
  • Kemudian pada saat nanti akan jadi kiamat besar, semua akan hancur lebur, dan semua makhluk di bumi ini akan mati.
  • Kemudian terompet akan dibunyikan sehingga seluruh orang yang mati akan bangun kembali yang berkumpul di Padang Mahsyar.
  • Setelah itu akan ada hisab, yaitu pengitunganpahala dan dosa manusia.
  • Dipadang Mahsya itu akan ada syafa’at (pertolongan) dari Nabi Muhammad atas Izin Allah SWT
  • Lalu ada timbanga untuk menimbangpahala dan dosa
  • Akan ada jembata Shiratal Mustaqim, yang dibentangkan diata neraka dan akan dilewati oleh semua manusia.
  • Akan ada telaga Kautsar, kepunyaan nabi Muhammad saw di dalam surga, dimana orang-orang yang beriman akan dapat minum di sana.
  • Orang yang lulus ujian dengan meniti jembatan tersebut akan selamat dan masuk surgaJannatun Na’im, sedangkan orang yang kafir akanmasuk neraka.
  • Orang yang baik akan lansung masuk surga dan kekal selama-lamanya.
  • Orang kafir akan masuk akan langsungmasuk neraka selama-lamanya
  • Oang mukmin yang berdosa dan mati sebelum bertaubat, akan masuk dalam neraka sementara, dan sesudah dihukum akan dimasukkan ke Surga untuk selama-lamanya.
  • Orang mukmin yang baik-baik akan diberi nikmat apa saja yang ia sukai dalam surg, dan akan diberi nikmat tambahan yang paling besar danpaling lezat yaitu Melihat Allah SWT.
  1. Rizeki semua manusia sudah ditakdirkan oleh Allah SWT pada azal, tidak akan bertambah tidak akan berkurang,tetapi manusi disuruh mencari rizeki dan berusaha,tidak boleh berpangku tangan hanya menunggu saja.
  2. Menurut Allah SWT ajal setiap manusia sudah ada jangkanya menurut Allah SWT, tidak akan maju tidak akan mundur walaupun hanya sedetik. Tetapi manusiadisuruh bertobat oleh Allah SWT kalau sakit, tidak boleh menunggu ketika ajal menjemput.
  3. Anak-anak orang kafir, kalau mati masih kecil akan masuk surga
  4. Do’a orang mukmin akan bermanfaat bagi dirinya dan bagi orang lain yang didoakannya.
  5. Pahala sedekah, wakaf dan pahala bacaan (al-Qur’an, tahlil, shalawat, dan lain-lain) boleh dihadiahkan kepada orang yangsudah mati dan akan sampai kepada mereka kalau dimintakan kepada Allah untuk menyampaikannya.
  6. Ziarah kubur, khususnya kubur orang tua,para ulama, para wali dan orang-orang mati syahid ,apalagi makam Rasullah dan para sahabatnya adalah sunnat hukumnya, kalau dikerjakan akan mendatangkan pahala. Berpergian untuk ziarah kubur termasuk perbuatan ibadah.
  7. Berdoa kepada Allah secara langsung atau berdoa melalui wasilah (bertawassul) adalah sunnat hukumnya, diberi pahala kalau dikerjakan.
  8. Mesjid diseluruh dunia derajatnya sama kecuali 3 buah masjid yang lebih tinggi derajatnya daripada masjid-mesjid yang lain, yaitu Masjid Mekkah,Masjid Nabawi dan Masjid Al-Aqsha di Palestina. Berjalan untuk menunaikan shalat ditiga masjid tersebut adalah ibadah kalau dikerjakan akan mendatangkan pahala.
  9. Seluruh manusia adalah anak cucu Nabi Adam, dan Adam berasal dari tanah. Iblis dan Jin diciptakan dari api ,sedangkan Malaikat diciptakan dari cahaya.
  10. Bumi dan langit itu ada. Barang siapa yang mengatakan bahwa langit tidak ada, maka ia keluar dari lingkungan kaum Ahlussunnah Wal-Jamah.
  11. Pahala yang diberikan Allah kepada orang yang saleh bukan karena Allah terpaksa untuk memberikannya dan bukan pula kewajiban-Nya untuk membalas jasa orang tersebut. Begitu pula hukuman bagi orang yang durhaka, Allah tidak terpaksa untuk menghukum nya dan tidak pula berkewajiban menghukumnya. Allah memberikan pahala kepada manusia karena karunia-Nya dan menghukum karena keadilan-Nya.
  12. Kaum Muslimin wajib meyakini adanya Arasy, yaitu suatu benda yang sangat besar, diciptakan oleh Allah dari Nur, terletak ditempat yang tinggi dan mulia yang tidak diketahui hakikat dan kebenarannya. Hanya Allah yang mengetahuinya.
  13. Wajib meyakini adanya Kursi Tuhan yaitu benda yang diciptakan oleh Allah yang berdekatan dan beriman dengan Arasy. Hakikat keadaannya hanya Allah yang mengetahui. Kita hanya wajib mempercayai adanya.
  14. wajib meyakini adanya Qalam. Yaitu benda yang diciptakan oleh Allah untuk menuliskan sesuatu yang akan terjadi di lauh mahfuzh. Semua yang terjadi di dunia ini sudah ditulis oleh Qalam tersebut terlebih dahulu di Lauh Mahfuzh.

A.  Khilafiyah Antara al­Asy’ari dan al­Maturidi (BIDANG AQIDAH)

Perbedaan pendapat di kalangan kaum muslimin tidak hanya terjadi di antara mazhab Ahlussunah Wal­jama’ah dengan mazhab di luarnya.Namun juga terjadi di antara sesama pengikut mazhab Ahlussunah Wal­jama’ah, yaitu antara al­asy’ari dan al­maturidi. Hanya saja perbedaan yang terjadi antara mazhab al­asy’ari dan al­maturidi ini tidak sampai pada batassaling membid’ahkan atau mengkafirkan antara mazhab yang satu dengan mazhab yang lain. Hal ini merupakan ciri khas Ahlussunah Wal­jama’ah, yang membedakannya dengan mazhab lain, dimana perbedaan pendapat diantara sesama mereka, misalnya sesama aliran mu’tazilah, syi’ah, dan lainnya, sampai pada batas saling membid’ahkan dan mengkafirkan terhadap sesama golongannya.

Tidak ditemukan kata sepakat tentang jumlah masalah­masala khilafiyah antara al­asy’ari dan al­maturidi.Tajuddin al­subkri, al­muqrizi dan al­zabidi menyebukan sekitar sepuluh masalah yang diperselisihkan oleh al­asy’ari dan al­maturidi.Sementara kamaluddin al­bayadhi, menyebutkan ada sekitar 50 masalah yang diperselisihkan oleh al­asy’ari dan al­maturidi.

Sementara syaikh zadah al­hanafi, menyebutkan sebanyak 40 masalah khilafiyah antara dua imam tersebut.

Namun demikian, meskipun terjadi perbedaan yang cukup tajam dalam menetapkan jumlah masalah yang diperdebatkan oleh dua mazhab tersebut, semua pakar tersebut menyatakan bahwa perselisihan yang terjadi antara dua mazhab tadi tidak sampai batas saling mengkafirkan dan membid’ahkan antara keduannya.Hal ini menjadi indikasi yang cukup kuat bahwa karakter perbedaan memang tersebut tidak substansial (jauhari), namun lebih bersifat verbal (syakli).Hal tersebut juga menjadi indikasi bahwa kedua imam Ahlussunah Wal­jama’ah ini, telah bersepakat bahwa pokok­pokok yang menjadi pandangan Ahlussunah Wal­jama’ah secara umum sejak generasi salaf yang saleh.

B.   Beberapa Masalah Khilafiyah antara al­Asy’ari dan al­Maturidi

Berikut ini akan kami uraikan beberapa masalah khilafiyah antara al­Asy’ari dan al­Maturidi, yang dianggap mewakili pandangan­pandangan kedua aliran pemikiran Asy’ariah dan Maturidiyah.

  1. Sifat­Sifat Allah

Al­Asy’ari dan al­Maturidi sama­sama menghadapi gerakan pemikiran Mu’tazilah mengenai sifat­sifat Allah SWT keduanya sama­sama memvonis mu’tazilah telah berupaya menafikkan sifat­sifat Allah.Namun keduannya berbeda dalam menyingkapi sifat­sifat Allah itu sendiri. Di satu pihak al­Asy’ari mengikuti gerakan Mu’tazilah dalam mengklasifikasikan sifat­sifat Allah menjadi dua bagian, yaitu shifat al­dzat(sifat yang menetap pada dzat Allah) dan shifat al fi’li(sifat yang merupakan perbuatan Allah. Hanya saja al­asy’ari berbada dengan Mu’tazilah dalam menetapka jumlah sifat­sifat azaliyah dari pendapat tentang azaliyah al­shifat.Al­asy­ari mendefinisikan shifat al­dzat dengan sesuatu yang Allah SWT mustahil memiliki sifat­sifat kebalikannya seperti sifat iradat, kalam dan semacamnya.

Sedangkan shifat al­fi’li (sifat yang merupakan perbuata Allah) adalah sifat yang tidak memiliki perlawanan.Menurut al­Asy’ari, shifat al­fi­li ini adalah baru (haditsah) bagi Allah, bukan shifat azaliyah (tidak berpermulaan).Dengan demikian, dapat dipahami bahwa al­asy’ari mengikuti jejak mu’tazilah dalam mengklasifikasikan sifat­sifat Allah, dan dalam memaknai shifat al­dzat dan shifat al­fi’li bagi Allah.

Sementara al­maturidi tidak memiliki kecenderungan mengklasifikasi sifat­sifat Allah seperti diatas.Menurut al­maturidi, sifat­sifat Allah, baik yang berupa shifat al­dzat maupun shifat al­fi’li versi al­asy’ari, bagi Allah sama­sama azaliyah (tidak berpermulaan). Al­maturidi jugamengkritik pendapat mu’tazilah yang disetujui oleh al­asy’ari bahwa shifat al­dzat itu adalah sifat yang mana Allah mustahil memiliki sifat kebalikannya, karena menurut al­maturidi, sifat adil (al­’adlu), Allah mustahil memiliki sifat kebalikannya, padahal sifat ini bukan shifat al­dzat, akan tetapi shifat al­fi’li bagi Allah. Dengan demikian, ada perbedaan antara al­asy’ari dan al­maturidi dalam pemaknaan al­dzat.

Al­maturidi juga berbeda dengan al­asy’ari yang mengatakan bahwa shifat al­fi’li itu hadist (baru).Sementara menurut al­maturidi, semua sifat Allah itu azaliyah (tidak berpermulaan), baik yang dikategorikan sebagai shifat al­dzat maupun al­fi’li menurut versi al­asy’ari.

Di sisi lain, ditemukan pula perbedaan antara al­Asy’ari dan al­Maturidi dalam memberikan perhatian apakah sifat Allah itu termasuk Dzat Allah atau bukan. Kita dapati al­maturidi lebih memperhatikan dalam upaya menetapkan sifat­sifat tersebut dan menjelaskan maknanya secara kongkrit.Dan tentu saja, tujuannya adalah untuk menafikkan ta’thil (menghapus sifat­sifat Allah dari dzat Allah seperti yang dilakukan oleh mu’tazilah).Sementara al­asy’ari sangat perhatian untuk menetapkan bahwa sifat­sifat Allah itu adalah sesuatu yang lebih atas dzat Allah dan bukan dzat Allah (zaidatun ‘ala al­dzat wa ghair al­dzat).

Al­maturidi juga berpendapat bahwa shifat al­takwin (menciptakan) adalah qadimah (tidak berpermulaan).Menurutnya, al­takwin itu bukan objek yang diciptakan yang bersifat baru (al­mukawwan al­hafist.Sementara menurut al­asy’ari al­takwin (penciptaan) adalah hakikat al­mukawwan (objek yang diciptakan) itu sendiri, dan keduannya sama­sama hadist (baru). Al­maturidi juga berpendapat bahwa firman Allah yang berupa kun(jadilah) kepada sesuatu yang dicipatakannya, adalah bukan perkataan Allah yang sesungguhnya. Menurut al­maturidi kuntersebut hanyalah kata kiasan (ungkapan majaz) dari kecepatan Allah dalam penciptaan.Sementara menurut al­asy’ari, kunadalah perkataan Allah yang sesungguhnya, bukan ungkapan dalam bentuk kiasan (majaz).

Al­maturidi juga berbeda pendapat tentang pendengaran Nabi Musa terhadap kalam Allah.menurut Al­maturidi, pendengaran musa terhadap kalam Allah sebenarnya terjadi melalui perantara suara yang diciptakan oleh Allah sebelum diciptakannya Musa dan suara itu memang khusus untuk nabi musa. Sementara menurut al­Asy’ari, nabi musa mendengar kalam Allah tanpa melalui perantara.

Begitu juga al­Asy’ari berbeda dengan Al­maturidi dalam metode penetapan ru’yat Allah (penglihatan terhadap Allah kelak di akhirat).menurut al­Asy’ari, terdapat dalil­dalil rasional (‘aqli) yang menetapkan kemungkinan melihat Allah kelak, yaitu bahwa segala sesuatu yang ada mungkin saja dilihat. Sementara Al­maturidi lebih berdasar terhadap dalil­dalil sam’iyyah (al­qur’an dan hadist) mengenai mungkinnya melihat Allah.Al­maturidi tidak menyebutkan dalil­dalil rasional dalam masalah ini.

Dalil rasional yang diajukan oleh al­Asy’ari mengenai melihat Allah memang dapat diterima dikalangan sebagian pengikut Al­maturidi seperti al­Bazdawi.Akan tetapi dalil tersebut juga menghadapi sanggahan dari sebagian pengikut al­Asy’ari sendiri.Al­Imam fakhruddin al­Razi misalnya, menganggap dalil rasional tersebut sangat lemah al­Razi lebih memilih dalil­dalil sam’iyyah dalam menetapkan mungkinnya melihat Allah kelak di akhirat.

Dalam menyingkapi sifat­sifat khabariyyah (sifat­sifat Allah yang terdapat didalam Al­Qur’an dan Hadist),kitadapatial­Asy’aridanAl­maturidisama­samamenetapkannyatanpakaifiyyah(suatu proses).AkantetapibisadikatakanbahwaAl­maturiditelahmelangkahlebihjauhdari pada al­Asy’ari dalam kecenderungan terhadap ta’wil rasional yang dapat menafikan tempat dan tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk­Nya). Meskipun Al­maturidi tidak memastikan penta’wilannya dengan suatu makna yang definitif, karena tidak menutup kemungkinan adanya makna lain yang dikehendaki oleh Allah. Sementara al­Asy’ari menerima apa yang terdapat dalam Al­Qur’an dan menolak semua macam ta’wil seperti mengatakan bahwa Allah ber­istiwa’ atas ‘Arasy.

Sementara para pengikut al­Asy’ari sendiri sesudahnya, lebih cenderung mengikuti pendekatan ta’wil, meskipun pendekatan ini berbeda dengan pendekatan ta’wil versi Mu’tazilah.

Al-Asy’ari dan Al-Maturidi juga berbeda pendapat seputar perbuatn Allah. Al-Asy’ari mengatakan bahwa Allah itu Maha memiliki (al-malik) dan Maha Kuasa (al-qahir), diatas-Nya tidak ada siapapun yang dapat memerintahkan –Nya dan tidak ada pula orang yang dapat membuat peraturan bagi allah , karena itu tidaklah dianggap buruk bagi allah untuk melakukan apa saja. Berangkat dari pandangan ini , Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah boleh tidak menepati janjinya. Karena ketika Allah tidak menepati janji-Nya , hal ini tidak dianggap buruk bagi-Nya, karena tidak menepati janji itu dianggap buruk apabila Allah memang menganggap demikian . Karena itu, menurut Al-Asy’ari ,secara rasional Allah itu boleh memaafkan orang kafir atas kekufurannya, meskipun secara syar’i hal ini tidak mungkin terjadi,sesuai dengan firman Allah dalam al-Qur’an bahwa dia tidak akan memaafkan orang kafir. Demikian pula, menurut Al-Asy’ari secara rasional Allah itu boleh menyiksa hamba -Nya yang taat kepada-Nya meskipun secara syar’i hal ini tidak mungkin terjadi.

Sementara menurut Al-Maturidi perbuatan Allah itu tidak mungkin keluar dari hikmah.Allah tidak mungkin melakukan sesuatu yang tercela atau dianggap buruk.Semua perbuatan Allah tidak lepas dari hikmah (kebijakan) meskipun kita tidak dapat menangkapnya. Akan tetapi allah itu memang tidak wajib melakukan apapun. Menurut Al-Maturidi Allah tidak boleh tidak menepati ancamannya terhadap orang kafir, karena memaafkan orang kafir tidak proposional, karena ia telah mengngkari terhadap Allah yang telah memberikan nikmat kepadanya.

  1. Dalil Ma’rifat Kepada Allah

Al-Asy’ari dan Al-Maturidi berbeda pendapat mengenai dalil ma’rifat kepada Allah, apakah ma’rifat itu wajib berdasarkan dalil rasional saja atau berdasarkan dalil syar’I ? Al-Syahrastani menyebutkan bahwa Al-Asy’ri membedakan antara bagaimana ma’rifat itu dapat dicapai dan dalil apa yang melandasi wajibnya ma’rifat kita kepada allah. Menurut Al-Asy’ari semua keyakinan termasuk ma’rifat kepada allah, hanya dapat dicapai melalui proses dalil aqli. Tetapi ma’rifat itu wajib ketika ada dalil sam’i (al-qur’an dan hadits) yang mewajibkannya.Sementara menurut al-Maturidi ma’rifat itu wajib berdasarkan dalil aqli.Menurut Al-Maturidi tanpa dalil syar’I-pun manusia tetap berkawajiban ma’rifat kepada allah.

  1. Mewajibkan sesuatu yang tidak mampu dilakukan

Al-asy’ari dan Al-Maturidi berbeda pendapat mengenai bolehkah allah mewajibakan sesuatu yang tidak mampu dikerjakan (al-taklil bi ma la yuthaq ) oleh hamba-Nya. Menurut Al-Asy’ari Allah tidak boleh mewajibkan sesuatu yang tidak mampu dilakukan oleh hamba-Nya berdasarkan firman allah :

أَنبِئُونِي بِأَسْمَاء هَـؤُلاء إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ

“Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!”( QS Al Baqarah : 31 )

Menurut Al-Alsy’ari ayat diatas memrintahkan para malaikat agar menjelskan nama-nama makhluk ,padahal mereka tidak mengetahuinya dan tidak akan mampu melakukannya. Hal terrsebut berarti memerintahkan sesuatu yang tidak mampu mereka lakukan. Selain dalil tersebut Al-Asy’ari juga menjelaskan dalil-dalil lain bagi teori tersebut dalam kitabnya al-luma’ fial Rada’ ala ahl al-zaigh wa al-bidri.

Sementara al-Matridi berpendapat sebaliknya ,Menurutnya Allah tidak mungkin mewajibkan sesuatu yang tidak mampu dikerjakan oleh hamba-Nya. Hal ini akan menjadi kenyataan ketika seorang hamba melakukan sesuatu berdasarkan pilihannya, sehingga ia akan mendapatkan pahala ketika melakukannya dan memperoleh siksa ketika meninggalkannya. Sedangkan ketika seorang hamba berada pada kondisi tidak mungkin melakukan sesuatu berarti ia memang dipaksa untuk tidak melakukannya dan ia pun dimaafkan untuk tidak melakukannya. Dalam kondisi tersebut ujian memilih salah satunya tidak menjadi kenyataan.

  1. Teori al-Kasb

Al-Asy’ari dan al-Maturidi bersepakat bahwa semua perbuatan manusia adalah ciptaan Allah ,tetapi manusia yang melakukannnya. Perbedaan pendapat al-Asy’ari dan al-Maturidi dalam masalah ini sangat tipis sekali karena keduanya memang bersepakat dalam banyak hal yang berkaitan dengan perbuatan masusia (al-kash) seperti adanya qudrat Allah bersamaan perbuatan manusia dan ketidakpantasan qudrat terhadap dua hal yang saling berlawanan.Dalam memarkan teori al-kash, al-Asy’ari berpendapat begini, bahwa semua perbuatan ikhtiar manusia terjadi berdasarkan qudrat Allah saja.Menurutnya, perbuatan manusia itu terjadi sesuai ciptaan Allah, tetapi dilakukan oleh manusia.Yang dimaksud dilakukan oleh manusia tersebut adalah perbuatan manusia itu bersamaan dengan qudrat dan iradat Allah tanpa da pengaruh dan investasi dalam terjadinnya perbuatan itu sendiri.Manusia hanyalah tempat terjadinya perbuatan itu. Dari sini , tampaknya al-Asy’ari memang mengakui adanya qudrat ( kemampuan ) manusia tetapi dianggapnya tidak punya andil dalam terjadinya perbuatan nya. Pendapat ini oleh sebagian kalangan dianggap mengarah kepada faham Jabariyah.

Pendapat al-Asy’ari ini mendorong para pengikutnya sesudahnya untuk memperluas dalam mengkaji pengaruh kemampuan manusia.Al-Ustadz Abu Ishaq al-Asfarayanu misalnya berpandangan bahwa perbuatan manusia itu terjadi melalui dua pengaruh dua qudrat ssecara bersamaan yaitu qudrat Allah dan kemampuan manusia yang keduanya memang berkaitan dengan terjadinya perbuatan tersebut. Sementaratetapi Jabariah Mutawasithoh (moderat),bukan Jabariyah Chulat (eksterm) atau Jahamiyah,sebagaimana telah ditegaskan oleh al-Syarif al-Jurjani dalam al-Ta’rifat. Sebagian orang Wahhabi dan Hizbut Tahrir yang tidak memahami perbedaan konsep al-Asy’ari dan Jabariyah menganggap madzhab al-Asy’ari sebagai pengikut Jabariyah. Lihat uraian Sultan al-‘Ulama’ al-Tzz bin Abdissalam dalam kitabnya, al-Mu’hah fi Ftiqad Ahl al-Haqq tentang masalah ini.

Al-Baqillani berpandangan lain. Menurutnya qudrat Allah berkaitan dengan pokok perbuatan itu.Sedangkan kemampuan (qudrat) manusia berkaitan dengan status perbuatan tersebut apakah bisa dikategirikan sebagai perbuatan taat sehingga pelakunya mendapatkan pahala atau dikategorikan sebagai perbuatan maksiat sehingga pelakunya mendapatkan siksa.

Sementara menurut al-Maturidi, kemampuan manusialah yang membuahkan perbuatan .adanya kemampuan menyebabkan perbuatan yang menjadi tujuannya. Dari sini tampak sekali bahwa menurut al-Maturidi kemampuan manusia memiliki pengaruh terhadap perbuatannya , akan tetapi pengaruh ini tidak berlaku dalam hal mewujudkan dan menciptakan perbuatan tersebut. Karena menurutnya mewujudkan dan menciptakan hanya sifat yang dimiliki oleh Allah.Kemampuan manusia hanya tergambar dalam rencana dari pilihanya untuk berbuat sesuatu .menurut al-Maturidi pada prinsipnya manusia itu memiliki perbuatan dan pilihan. Manusia juga memilih dan mencintai apa yang diperbuatnya. Berdasarkan pilihan dan rencana itulah Allah menciptakan kemampuan untuk berbuat dari perbuatan tersebut sekaligus menjadi hasil hasil dari pilihan dan rencananya.Sehingga menurut nya walaupun perbuatan manusia itu ciptaan Allah, tetap tidak menafikan adanya pilihan dirinya terhadap perbuatan itu .menurut al-Maturidi ciptaan Allah tidak mendorong dan memaksanya untuk berbuat sesuatu.Dengan pandangan ini al-Maturidi telah membuka kran yang lebih besar bagi pengaruh kemampuan manusia atas perbuatannya.Karena menurutnya tidak mungkin kemampuan manusia berkaitan dengan perbuatannya tanpa adanya pengaruh mempengaruhi antara keduanya. Sementara menurut al-Asy’ari perbuatan manusia tidak berpengaruh sama sekali dalam mewujudkan dan menciptakan perbuatannya.

  1. Iman

Al-Asy’ari dan al-Maturidi berbeda pendapat dalam beberapa hal yang berkaitan dengan iman.Misalnya dalam social ististna’ (mengucapkan insya Allah) dalam iman, al-Asy’ari mengatakan boleh. Maksudnya, menurut al-Asy’ari dan ahli hadits ,seorang mukmin boleh mengatakan “saya seorang yang beriman insya Allah”. Sementara menurut al-Maturidi ,istitsna’ dalam iman adalah tidak boleh. Al-Asy’ari juga berpendapat bahwa iman dan islam memiliki obyek makna yang berbeda. Sedangkan menurut al-Maturidi, iman dan islam memiliki suatu obyek makna yang sama.

  1. Kebahagiaan dan Kesengsaraan

Al-asy’ari berpendapat bahwa kebahagiaan (sa’adah) dan kesengsaraan (syaqawah) tidak mungkin berubah.Orang yang bahagia adalah orang yang telah ditetapkan bahagia sejak ketika masih dalam rahim ibunya.Demikian pula orang yang sengsara adalah orang yang ditetapkan sengsara sejak ketika masih dalam Rahim ibunya. Seorang yang dtetapkan bahagia tidak akanberubah menjadi sengsara. Dan demikian pula sebaliknya.

Sedangkan al-Maturidi berpandangan sebaliknya, menurut al-Maturidi kebahagiaan dan kesengsaraan dapat berubah , karena keduanya termasuk perbuatan manusia. Perubahan kebahagiaan dan kesengsaraan bukan mengubah apa yang telah tercatat dalam lauh mahfuzh.

Beberapa uraian diatas adalah beberapa masalah khilafiyah antara al-Imam al-Asy’ari dan al-Imam al-Maturidi. Dari pengamatan yang seksama terhadap perselisihan diatas , dapat diketahui karakter perselisihan yang sebenarnya dan bahwa perselisihan tersebut tidak menyentuh prinsip-prinsip pokok yang diakui oleh kedua imam Ahlussunnah Wal-Jama’ah tersebut. perselisihan antara kedua imam tersebut lebih menyentuh sebagian persoalan cabang dan rincian dalam akidah.

Hanya saja meskipun antara kedua madzhab besar ini terjadi banyak perselisihan pendapat bisa dikatakan bahwa aspek keserupaan antara keduanya cukup besar. Hal ini tersebut kembali pada kesamaan metode kedua madzhab yang bertemu dalam suatu muara paradima pemikiran yaitu sikap moderat (tawasuth) dalam upaya mengambil jalan tengah antatra akal dan naql. Memang kedua aliran ini berbeda dalam usaha untuk merealisasikan tujuannya, sehingga membawa perselisihan pandangan dalam beberapa masalah cabang dan rincian akidah. Tetapi masing-masing pihak menganggap kapasitas perselisihan diantara mereka ringan dan tidak membawa efek pengkafiran dan pembid’ahan terhadap pihak lain.

 

  1. Karakteristik Ahlusunnah Waljamaah dalam bidang Fiqh

Mazhab ini terdiri atas 4 (empat) mazhab populer yang masih utuh sampai sekarang, yaitu sebagai berikut:

1.2.1 Mazhab Hanafi

Pemikiran fiqh dari mazhab ini diawali oleh Imam Abu Hanifah.Ia dikenal sebagai imam Ahlurra’yi serta faqih dari Irak yang banyak dikunjungi oleh berbagai ulama di zamannya. Mazhab Hanafi dikenal banyak menggunakan ra’yu, qiyas, dan istihsan. Dalam memperoleh suatu hukum yang tidak ada dalam nash, kadang-kadang ulama mazhab ini meninggalkan qaidah qiyas dan menggunakan qaidah istihsan. Alasannya, qaidah umum (qiyas) tidak bisa diterapkan dalam menghadapi kasus tertentu.Mereka dapat mendahulukan qiyas apabila suatu hadits mereka nilai sebagai hadits ahad.

Yang menjadi pedoman dalam menetapkan hukum Islam (fiqh) di kalangan Mazhab Hanafi adalah Al-Qur’an, sunnah Nabi SAW, fatwa sahabat, qiyas, istihsan, ijma’i. Sumber asli dan utama yang digunakan adalah Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW, sedangkan yang lainnya merupakan dalil dan metode dalam meng-istinbat-kan hukum Islam dari kedua sumber tersebut.

Tidak ditemukan catatan sejarah yang menunjukkan bahwa Imam Abu Hanifah menulis sebuah buku fiqh.Akan tetapi pendapatnya masih bisa dilacak secara utuh, sebab muridnya berupaya untuk menyebarluaskan prinsipnya, baik secara lisan maupun tulisan. Berbagai pendapat Abu Hanifah telah dibukukan oleh muridnya, antara lain Muhammad bin Hasan asy-Syaibani dengan judul Zahir ar-Riwayah dan an-Nawadir. Buku Zahir ar-Riwayah ini terdiri atas 6 (enam) bagian, yaitu:

  • Bagian pertama diberi nama al-Mabsut;
  • Bagian kedua al-Jami’ al-Kabir;
  • Bagian ketiga al-Jami’ as-Sagir;
  • Bagian keempat as-Siyar al-Kabir;
  • Bagian kelima as-Siyar as-Sagir; dan
  • Bagian keenam az-Ziyadah.

Keenam bagian ini ditemukan secara utuh dalam kitab al-Kafi yang disusun oleh Abi al-Fadi Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Maruzi (w. 344 H.). Kemudian pada abad ke-5 H. muncul Imam as-Sarakhsi yang mensyarah al-Kafi tersebut dan diberi judul al-Mabsut.Al-Mabsut inilah yang dianggap sebagai kitab induk dalam Mazhab Hanafi.

Disamping itu, Mazhab Hanafi juga dilestarikan oleh murid Imam Abu Hanifah lainnya, yaitu Imam Abu Yusuf yang dikenal juga sebagai peletak dasar usul fiqh Mazhab Hanafi. Ia antara lain menuliskannya dalam kitabnya al-Kharaj, Ikhtilaf Abu Hanifah wa Ibn Abi Laila, dan kitab-kitab lainnya yang tidak dijumpai lagi saat ini.

Ajaran Imam Abu Hanifah ini juga dilestarikan oleh Zufar bin Hudail bin Qais al-Kufi (110-158 H.) dan Ibnu al-Lulu (w. 204 H). Zufar bin Hudail semula termasuk salah seorang ulama Ahlulhadits. Berkat ajaran yang ditimbanya dari Imam Abu Hanifah langsung, ia kemudian terkenal sebagai salah seorang tokoh fiqh Mazhab Hanafi yang banyak sekali menggunakan qiyas. Sedangkan Ibnu al-Lulu juga salah seorang ulama Mazhab Hanafi yang secara langsung belajar kepada Imam Abu Hanifah, kemudian ke pada Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani.

1.2.2 Mazhab Maliki.

Pemikiran fiqh mazhab ini diawali oleh Imam Malik.Ia dikenal luas oleh ulama sezamannya sebagai seorang ahli hadits dan fiqh terkemuka serta tokoh Ahlulhadits. Pemikiran fiqh dan usul fiqh Imam Malik dapat dilihat dalam kitabnya al-Muwaththa’ yang disusunnya atas permintaan Khalifah Harun ar-Rasyid dan baru selesai di zaman Khalifah al-Ma’mun. Kitab ini sebenarnya merupakan kitab hadits, tetapi karena disusun dengan sistematika fiqh dan uraian di dalamnya juga mengandung pemikiran fiqh Imam Malik dan metode istinbat-nya, maka buku ini juga disebut oleh ulama hadits dan fiqh belakangan sebagai kitab fiqh. Berkat buku ini, Mazhab Maliki dapat lestari di tangan murid-muridnya sampai sekarang.

Prinsip dasar Mazhab Maliki ditulis oleh para murid Imam Malik berdasarkan berbagai isyarat yang mereka temukan dalam al-Muwaththa’. Dasar Mazhab Maliki adalah Al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, Ijma’, Tradisi penduduk Madinah (statusnya sama dengan sunnah menurut mereka), Qiyas, Fatwa Sahabat, al-Maslahah al-Mursalah, ’Urf; Istihsan, Istishab, Sadd az-Zari’ah, dan Syar’u Man Qablana. Pernyataan ini dapat dijumpai dalam kitab al-Furuq yang disusun oleh Imam al-Qarafi (tokoh fiqh Mazhab Maliki).Imam asy-Syatibi menyederhanakan dasar fiqh Mazhab Maliki tersebut dalam empat hal, yaitu Al-Qur’ an, sunnah Nabi SAW, ijma’, dan rasio. Alasannya adalah karena menurut Imam Malik, fatwa sahabat dan tradisi penduduk Madinah di zamannya adalah bagian dari sunnah Nabi SAW. Yang termasuk rasio adalah al-Maslahah al-Mursalah, Sadd az-Zari’ah, Istihsan, ’Urf; dan Istishab.Menurut para ahli usul fiqh, qiyas jarang sekali digunakan Mazhab Maliki.Bahkan mereka lebih mendahulukan tradisi penduduk Madinah daripada qiyas.

Para murid Imam Malik yang besar andilnya dalam menyebarluaskan Mazhab Maliki diantaranya adalah Abu Abdillah Abdurrahman bin Kasim (w. 191 H.) yang dikenal sebagai murid terdekat Imam Malik dan belajar pada Imam Malik selama 20 tahun, Abu Muhammad Abdullah bin Wahab bin Muslim (w. 197 H.) yang sezaman dengan Imam Malik, dan Asyhab bin Abdul Aziz al-Kaisy (w. 204 H.) serta Abu Muhammad Abdullah bin Abdul Hakam al-Misri (w. 214 H.) dari Mesir. Pengembang mazhab ini pada generasi berikutnya antara lain Muhammad bin Abdillah bin Abdul Hakam (w. 268 H.) dan Muhammad bin Ibrahim al-Iskandari bin Ziyad yang lebih populer dengan nama Ibnu al-Mawwaz (w. 296 H.).

Disamping itu, ada pula murid-murid Imam Malik lainnya yang datang dari Tunis, Irak, Hedjzaz, dan Basra.Disamping itu Mazhab Maliki juga banyak dipelajari oleh mereka yang berasal dari Afrika dan Spanyol, sehingga mazhab ini juga berkembang di dua wilayah tersebut.

1.2.3 Mazhab Syafi’i

Pemikiran fiqh mazhab ini diawali oleh Imam asy-Syafi’i. Keunggulan Imam asy-Syafi’i sebagai ulama fiqh, usul fiqh, dan hadits di zamannya diakui sendiri oleh ulama sezamannya. Sebagai orang yang hidup di zaman meruncingnya pertentangan antara aliran Ahlulhadits dan Ahlurra ’yi, Imam asy-Syafi ’i berupaya untuk mendekatkan pandangan kedua aliran ini. Karenanya, ia belajar kepada Imam Malik sebagai tokoh Ahlulhadits dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani sebagai tokoh Ahlurra’yi.

Prinsip dasar Mazhab Syafi’i dapat dilihat dalam kitab usul fiqh ar-Risalah.Dalam buku ini asy-Syafi’i menjelaskan kerangka dan prinsip mazhabnya serta beberapa contoh merumuskan hukum far’iyyah (yang bersifat cabang).Dalam menetapkan hukum Islam, Imam asy-Syafi’i pertama sekali mencari alasannya dari Al-Qur’an. Jika tidak ditemukan maka ia merujuk kepada sunnah Rasulullah SAW. Apabila dalam kedua sumber hukum Islam itu tidak ditemukan jawabannya, ia melakukan penelitian terhadap ijma’ sahabat.Ijma’ yang diterima Imam asy-Syafi’i sebagai landasan hukum hanya ijma’ para sahabat, bukan ijma’ seperti yang dirumuskan ulama usul fiqh, yaitu kesepakatan seluruh mujtahid pada masa tertentu terhadap suatu hukum, karena menurutnya ijma’ seperti ini tidak mungkin terjadi. Apabila dalam ijma’ tidakjuga ditemukan hukumnya, maka ia menggunakan qiyas, yang dalam ar-Risalah disebutnya sebagai ijtihad. Akan tetapi, pemakaian qiyas bagi Imam asy-Syafi ’i tidak seluas yang digunakan Imam Abu Hanifah, sehingga ia menolak istihsan sebagai salah satu cara meng-istinbat-kan hukum syara’

Penyebarluasan pemikiran Mazhab Syafi’i berbeda dengan Mazhab Hanafi dan Maliki.Diawali melalui kitab usul fiqhnya ar-Risalah dan kitab fiqhnya al-Umm, pokok pikiran dan prinsip dasar Mazhab Syafi ’i ini kemudian disebarluaskan dan dikembangkan oleh para muridnya. Tiga orang murid Imam asy-Syafi ’i yang terkemuka sebagai penyebar luas dan pengembang Mazhab Syafi’i adalah Yusuf bin Yahya al-Buwaiti (w. 231 H./846 M.), ulama besar Mesir; Abi Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzani (w. 264 H./878 M.), yang diakui oleh Imam asy-Syafi ’i sebagai pendukung kuat mazhabnya; dan ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi (w. 270 H.), yang besar jasanya dalam penyebarluasan kedua kitab Imam asy-Syafi ’i tersebut.

1.2.4 Mazhab Hanbali

Pemikiran Mazhab Hanbali diawali oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Ia terkenal sebagai ulama fiqh dan hadits terkemuka di zamannya dan pernah belajar fiqh Ahlurra’yi kepada Imam Abu Yusuf dan Imam asy-Syafi’i. Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziah, prinsip dasar Mazhab Hanbali adalah sebagai berikut:

  1. An-Nusus (jamak dari nash), yaitu Al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, dan Ijma’;
  2. Fatwa Sahabat;
  3. Jika terdapat perbedaan pendapat para sahabat dalam menentukan hukum yang dibahas, maka akan dipilih pendapat yang lebih dekat dengan Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW;
  4. Hadits mursal atau hadits daif yang didukung oleh qiyas dan tidak bertentangan dengan ijma’; dan
  5. Apabila dalam keempat dalil di atas tidak dijumpai,akan digunakan qiyas. Penggunaan qiyas bagi Imam Ahmad bin Hanbal hanya dalam keadaan yang amat terpaksa. Prinsip dasar Mazhab Hanbali ini dapat dilihat dalam kitab hadits Musnad Ahmad ibn Hanbal. Kemudian dalam perkembangan Mazhab Hanbali pada generasi berikutnya, mazhab ini juga menerima istihsan, sadd az-Zari’ah, ’urf; istishab, dan al-maslahah al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum Islam.

Para pengembang Mazhab Hanbali generasi awal (sesudah Imam Ahmad bin Hanbal) diantaranya adalah al-Asram Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Hani al-Khurasani al-Bagdadi (w. 273 H.), Ahmad bin Muhammad bin al-Hajjaj al-Masruzi (w. 275 H.), Abu Ishaq Ibrahim al-Harbi (w. 285 H.), dan Abu al-Qasim Umar bin Abi Ali al-Husain al-Khiraqi al-Bagdadi (w. 324 H.). Keempat ulama besar Mazhab Hanbali ini merupakan murid langsung Imam Ahmad bin Hanbal, dan masing-masing menyusun buku fiqh sesuai dengan prinsip dasar Mazhab Hanbali di atas.

Tokoh lain yang berperan dalam menyebarluaskan dan mengembangkan Mazhab Hanbali adalah Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziah. Sekalipun kedua ulama ini tidak selamanya setuju dengan pendapat fiqh Imam Ahmad bin Hanbal, mereka dikenal sebagai pengembang dan pembaru Mazhab Hanbali. Disamping itu, jasa Muhammad bin Abdul Wahhab dalam pengembangan dan penyebarluasan Mazhab Hanbali juga sangat besar. Pada zamannya, Mazhab Hanbali menjadi mazhab resmi Kerajaan Arab Saudi.

1.3 Bidang Tassawuf

  • Riwayat Hidup Al Ghazali

Al Ghazali merupakan ulama besar dalam bidang agama. Ulama yang banyak menghasilkan karya ini bernama Abu Muhammad Al Ghazali, dilahirkan di kota Thur, Khurasan yaitu daerah Persia pada tahun 450 H/1085 M. Al Ghazali juga terkenal dengan istilah Ghazzali yang berarti tukang pintal benang, karena pekerjaan orang tuanya adalah memintal benang dari wol [3] .Olehayahnya, Al Ghazali bersama saudranya dititipkan kepada seorang ulama tasawuf guna mendidiknya ketika kecil. Sedangkan untuk mencari ilmu-ilmu yang lain, beliau belajar dari satu tempat ke tempat lain. Di Jurjan, beliau mempelajari ilmu fikih dan bahasa arab. Kemudian di kota Nisabur, dekat thus. Disini beliau belajar dari Imam Al Haramain (Al Juwaini) yang mengajar berbagai Ilmu pengetahuan. Dengan tekun beliau memperdalam berbagai ilmuseperti logika, ilmu kalam, dan ilmu-ilmu yang lain. Setelah itu beliau pindah ke kota bagdad yang kemudian dikota inilah beliaumulai mengajarkan ilmu yang telahdikuasainya. Sekian lama mengajarkan ilmunya, Al Ghazali mulai mashur dan semakin banyakorang yang tertarik.Kemashuran beliau akhirnya didengar juga olehNizham Al Mulk yang saat itu berada di bawah dinasti sultan Saljuk.Maka diangkatlah Imam Ghazali sebagai guru besar pada Universitas yang dimiliki oleh Nizham Al Mulk.

Kemudian kedudukannya sebagai pejabat tinggi dalam pemerintahan kemashurannya telah mempengaruhi jiwanya akancinta kepada kebendaan, mengharap penghormatan, kemewahan dan harta benda.Tetapi pengaruh yang demikian itu tidak lama mempengaruhi jiwanya.Lalu timbul pergolakan-pergolakan didalam hatinya yang menyebabkan beliau sakit. Ketika dokter hendak menolongnya ia berkata bahwa penyakitnya sukar disembuhkan karena penyakit beliau bukan berasal dari luar, akan tetapi berasal daridalam. Oleh karena itu segala obat untuk perbaikan kondisi fisikAl Ghazali tidak mebawa manfaat sama sekali

Oleh karena itu beliau mencoba mengobati penyakitnya dengan kekuatan jiwanya sendiri.Diobatinya penyakitnya dengan memohon pertolongan dari Allah SWT, memohon bantuan dan pertolongan agar di sembuhkannya.Akhirnya berkat anugrah yang diberikan Allah penyakinyapun sembuh, bahkan beliau mendapat ilham dan petunjuk darinya.Hatinya menjaditenang, sikapnya menjadi tabah serta memperoleh kepastian tentang ilmu.Sejak itu beliau mulai berani meninggalkan segala kemewahan harta kekayaan, kehormatanan dan keluarga yangada di Bagdad.Kemudian beliau mulai mengembara ke Suriah padatahun 489H.sebelum pergi beliau mewakafkan segala harta kekayaannya yang beliau peroleh di Bagdad. Dan dalam pengembaraannya itu Al Ghazali pernah mengembara di Damaskus selama 11 tahun.
Di kota Damaskus inilah beliau mula-mula melakukan pertobatannya dengan melakukian kholwat I’tikaf, mensucikan diri membersihkan akhlaq dan budi pekerti dan selaluberfikir akan Allah SWT. Selain itu Al Ghazali pernah juga menetap diYerussalem disini beliau banyak berkholwat di masjid baitul Maqdis, perjalanan beliaupun sampai pada Mesir hingga Makkahdan Madinah untuk melakukan ibadah Haji.

Pada masa pengembaraannya, Al Ghazali sesekali pulang ke Bagdad guna menjenguk keluarganya, tradisi semacam ini beliau lakukan secara terus menerus selama dalam pengembaraan. Dan setelahsekian lama melaksanakan pengembaraan, akhirnya Al Ghazali pun kembali lagi ke kampung halaman di Bagdad, sekali lagi perdana mentri Nizam AlMulk meminta Al Ghazali untuk menjadi guru esar lagi pada Universitas Nizhamiyah pada tahun 500 H/1106 M.
Beliau termasuk seorang tokoh yang disukai oleh orang-orang nasrani disebabkan karena beliau dianggap sebagai seorang muslim yang paling sehat dengan orang kristen [5] . Beliau termasuk orangyang menyelami ilmu sangat dalamdan menegakkan ibadah, pada tanggal 15 desember 1111 M/ 505H ia wafat.

  • Latar Belakang Tasawuf AlGhazali

Pada masa ia menjadi mahasiswa, Al Ghazali sangat mendambakam mencari ilmu pengetahuan yang mutlaq benar artinya pengetahuan yang pasti dan tidak bisa salah juga tidak diragukan sedikitpun. Maka Imam Al Ghazali mulai melakukan penelitiannya pada filsafat guna meneliti barangkali kebenaran mutlaq berada dalam disiplin ini.Dengan membaca tulisan-tulisan berbagai macam cabang filsafat tanpa guru seorangpun, Al Ghazalitelah mampu menguasai ilmu filsafat dalam waktu yang sangat singkat. Kemudian dari pembacaannya itu, hampir satu tahun ia lalui untuk merenungkan apa yang telah dipadukannya hingga ia paham mana yang benardan mana yang salah [6] .Ia membagi filosof dalam tiga golongan yaitu, materialis (dahriyyuun), naturalis (thabi’iyyuun), dan theis (ilahiyyuun). Kelompok materialis terdiri dari filosof awal, menyangkal pencipta dan pengatur dunia dan yakin bahwa dunia itu telah ada dengan sendirinya sejak dahulu, dan Al Ghazali selalu mengganggap mereka tidak beragama. Sedangkan kelompok naturalis terpesona dengan keindahan serta keajaiban penciptaan dan sadar akan maksud yang berkelanjutan dan kebijaksanaan dalam rencana segala sesuatunya,mereka mengakui suatu eksistensipencipta bijaksana, tetapi merekamenyangkal kerohanian dan keniscayaan jiwa manusia. Kepercayaan kepada surga, neraka dan hari akhir mereka anggap sebagai dongeng nenek moyang atau khayalan para ulama.Dan kemudian golongan theis, kaum ini tergolong kepada para filsuf yang lebih modern seperti Socrates, Plato dan Aristoteles.Meski mereka menyerang golongan materialis dan Naturalis dan menelanjangi mereka dengan efektif sekali, Al Ghazali masih menganggap mereka kafir dan menggunakan faham bid’ah.

Karena tidak puas dengan filsafat,Akhirnya Al Ghazali beralih ke jalan tasawuf, karena dia yakin bahwa para sufi dan orang-orangpencari kebenaran yang betul-betul mencapai tujuan. Pendekatan Al Ghazali dengan jalan ini adalah melalui pendekatan intelektual.Seperti dikatakannya sendiri, “pengetahuan itu lebih mudah daripada kegiatan”.Aku memulai dengan membaca buku-buku mereka dan mendapatkan pemahaman intelektual yang menyeluruh tentang prinsip-prinsip mereka. Ia menyadari bahwa para sufi bukanlah orang yang suka kata-kata ( Ashab Al Aqwal ) tetapi orang yang nyata berpengalaman ( Arhab Al Ahwal ),dan yang perlu ia lakukan ialah menghayati hidup berlatih dan mengesampingkan dunia. Kemudiania merasa bahwa yang paling utama dalam prinsip-prinsip itu hanya bisa dicapai lewat pengalaman pribadi, luapan gairahdan suatu perubahan watak.

Setelah menganut tasawuf, Al Ghazali mengabdikan dirinya dengan melakukan latihan-latihan sufi dengan menyepi dan menyendiri ( Riyadhoh ). Dia menyibukkan diri untuk memurnikan jiwanya dari kekejian,memperindahnya dengan kebajikan-kebajikan dan mengisi jiwa itu dengan dzikir-dzikir kepada Allah SWT, sesuai dengan pengetahuan yang didapatnya dari mempelajari tulisan-tulisan beberapa ahli tasawuf. Dengan latihan jiwa yang berat selama sepuluh tahun yang berturut-turut dilewatinya mulai dari Damaskus, Yerussalem, Hebron, Hijaz, Iraq,Thus. Ia maju pesat di jalan sufi. Banyak rahasia-rahasia yang berhasil dibukukannya selama bertahun-tahun. Dan ia juga yakin sepenuhnya bahwa jalan sufi jalan terbaik yang pantas dilalui oleh manusia. Sikap Al Ghazali terhadap faham sufi tidak pernah berubah sampai akhir hayatnya.
 

  • Karakteristik Tasawuf Al Ghazali

Tasawuf yang dibangun oleh Al Ghazali mempunyai karakteristik yang berbeda dengan tasawufnyaAbu Yazid Al Bustami atau Abu Mansur Al Hallaj yang lebih cenderung kepada rasa cinta kepada Tuhan yang kemudian meninggalkan segalanya. Karaktertasawuf Al Ghazali adalah tasawufyang religius sunni yang bertumpupada kesucian rohani serta keluhuran budi yang merupakan perwujudan paling otentik dan valid dari religiusitas seseorang. Tasawuf yang sunni inilah kemudian diterima oleh kalangan luas dan akhirnya mempunyai pengaruh yang begitu kuat di dunia Islam.

Al Ghazali juga telah berhasil menghubungkan rumusan-rumusan dogmatic dan formal dariilmu kalam ortodoks dengan ajaran agama yang dinamis.Sehingga beliaulah pelopor yang telah berhasil dan mampu menghidupkan kembali dua disiplin tersebut dengan semangat wahyu yang orisinil. Artinya dia telah memberi pelajaran yang sangat berharga kepada golongan skolastik murni serta mampu melenturkan watak dogmatis ajaran agama dan memasukkan dimensi yang vital diantara segi-segi lahiriah ( eksoterik ) dengan segi batiniah

Dari sekian panjang perjalanan rohani yang telah dilalui oleh Al Ghazali, ada beberapa ajaran yang telah dirumuskannya dan terkodifikasi. Pertama, Ajaran itu adalah Ma’rifat, Al Ghazali menggunakan tasawuf untuk mencari apa yang diyakininya sebagai kebenaran. Kebenaran yang dicari itu didapatkan melalui pengalaman batin (dzauq).Dan dengan latihan-latihan yang panjang dan berat, didapatlah ilham yang menerangi hati dari Allah SWT sehingga dengan penerangan itu tersingkaplah kebenaran yang hakiki. Orang jikatelah memperoleh kebenaran yang hakiki inilah kemudian disebut dengan orang yang telah ma’rifat

Ilmu ma’rifat menurut Al Ghazali, bukanlah didapat semata-mata dengan akal.Karena ilmu ma’rifat merupakan ilmu yang sebenarnya mengenal tuhan, mengenal hadratrububiyah .Ujud tuhan meliputi segala wujud.Tidak ada yang ujudmelainkan Allah dan perbuatannya. Allah dan perbuatannya adalah dua bukan satu [15] .disinilah Al Ghazali berbeda dengan Al Hallaj dan ulama sufi lainnya yang berpengaruh. Ujudnya itu adalah kesatuan alam semesta (wihdatul wujud). Alam seluruhnya ini adalahmakhluq dan bukti tentang kekuasaan dan kebesarannya apabila telah jelas dalam hati ma’rifat akan tuhan dalam hatinya akan hakikat ketuhanan dan sifat-sifat serta af’al-af’al dan nikmat rahmat yang terkandung dalam kejadian dunia dan akhirat, itulah kebahagiaan yang sejati.

Sarana ma’rifat seorang sufi adalah kalbu, bukan perasaan danbukan pula akal budi. Kalbu, menurut Al Ghazali bukanlah bagian tubuh yang dikenal terdapat pada sebelah kiri dada seorang manusia, tapi ia adalah percikan rohaniah ketuhanan yang merupakan realitas hakikat manusia, terkadang ia berkaitan dengan segumpal daging manusia, namun akal budi belum mampu memahami perkaitan antar keduanya [16] . masih menurutnya,kalbu bagaikan cermin, sementarailmu adalah pantulan gambar realitas yang terdapat didalamnya. Jelasnya, jika cermin kalbu tidak bening, maka ia tidak dapat memantulkan realitas-realitas ilmu. Dan yang membuat cermin kalbu tidak bening adalah hawa nafsu tubuh.Sementara ketaatan kepada Allah serta keterpalingan dari tuntutan hawanafsu itulah yang justru membuatkalbu berlinang dan cemerlang.

Kedua, tingkatan manusia. Menurut Al Ghazali, kecerdasan dan kesanggupan akal manusia berbeda antara satu dengan yang lainnya. Akan senantiasa terdapat orang yang awam (manusia biasa) dan orang yang khowas (manusia dengan kelebihan kecerdasan). Maka kemudian beliau membagi beberapa tingkatan manusia untuk mencapai tingkat keimanandan ketaqwaan

  1. Tingkatan orang awam. Orang awam ini mempercayai kabar berita yang dibawa oleh orang yang dipercayainya.
  2. Iman orang alim. Dia mendapatkan keimanan dari membandingkan, meneliti dan memeriksa dengan segala kekuatan dan intelektualitasnya.
  3. Iman orang arifin. Dia akan tumbuh keyakinan setelah menyaksikan sendiri akan kebenaran itu dengan tidak ada sekat-sekatnya lagi.

Ketiga, kebahagiaan. Menurut Al Ghazali, kebahagiaan adalah tujuan akhir jalan para sufi sebagai buah pengenalan terhadap Allah [18] .Jalan menuju kebahagiaan itu adalah ilmu beserta amal sebagaimana beliau telah menyatakan, “Seandainya anda memandang kearah ilmu, niscaya anda akan melihatnya bagaikan begitu lezat sehingga ilmu itu dipelajari karena kemanfaatannya.Andapun niscayamendapatkannya sebagai sarana menuju akhirat serta kebahagiaan, dan juga sebagai jalan mendekatkan diri kepada Allah.Namun hal ini mustahil tercapai kecuali dengan ilmu dan amal.

Al Ghazali mendasarkan teori kebahagiaan kepada sebuah analisa psikologis, dan ia menekankan pula bahwa setiap bentuk pengetahuan itu asalnya bersumber dari semacam kelezatan dan kebahagiaan. Kebahagiaan setiap sesuatu adalah kelezatan dan keterbuaian.Maka kelezatan sesuatu itu hendaklah selaras dengan tabiatnya.Adapun kelezatan khusus kalbu adalah pengenalan terhadap Allah.Kelezatan itu sendiri merupakan buah dari pengetahuan.Sebab seandainya seseorang mengetahuisesuatu yang sebelumnya tidak diketahui, niscaya dia menjadi gembira. Begitu pula pengetahuanterhadap Allah yang melekat dalam kalbu, niscaya akan membuat gembira seorang yang arif serta membuatnya gelisah menantikan penyaksiannya.

Semakin banyak pengetahuan yang dapat diserap, semakin besarlah tingkat kepuasan dan bertambah mendalamlah rasa kebahagiaannya. Itulah sebabnya orang yang lebih luas ilmu pengetahuannya lebih merasa berbahagia daripada orang yang yang kurang pengetahuan, semakin tinggi ma’rifatullah seseorang mengenai Tuhan maka ia akan semakin bahagia

Sehingga kesempurnaan hidup manusia dapat diperoleh dengan mengaktualisasikan kesempurnaanbatin. Dan kesempurnaan batin hanya dapat ditempuh dengan jalan tasawuf dan tidak cukup dengan melalui jalan filsafat [20] .Dan disini jelaslah pandangan Al Ghazali terhadap filsafat, menurutbeliau filsafat bukanlah sesuatu yang final.Filsafat merupakan suatu upaya manusia yang tidak pernah dapat dihentikan karena memang tidak pernah selesai.Tasawuflah yang dapat mengakhiri ketidakpastian pencarian filsafat tersebut.

Orientasi umum pemikiran Imam Al Ghazali mengarah kepada konsep pengembangan kesempurnaan manusia. Suatu konsep kesempurnaan yang terlukis dalam term insane kamil atau dalam term lain dinyatakan sebagai manusia taqwa

 

  • Pengaruh Tasawuf Al Ghazali

Banyak sekali ilmu yang telah disumbangkan oleh Al Ghazali dalam rangka menambah hasanahkeilmuan agama islam. Hasil karya Al Ghazali mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam perilaku keberagamaan umat muslim setelahnya. Ini terbukti dari banyak hasil karyanya yang telahditerjemahkan kedalam beberapa bahasa sebagai respon positif atas ajaran-ajaran yang disampaikannya.

Al Ghazali juga dapat di golongkansebagai mujaddid dibidang agama karena beliau telah memberikan suatu kontribusi yang sangat spektakuler berkenaan dengan terobosannya dibidang tasawuf. Dengan formulasi tasawufnya itu, ia mampu menyatukan pandanganatau setidaknya mendekatkan persepsi antara golongan ahlu sunnah dengan golongan tasawuf itu sendiri sehingga memudarnya truth claim dari masing-masing kelompok yang sebelumnya telah sampai pada derajat pembid’ahan atau bahkan pengkafiran.

Hasil renungan-renungan brilian AlGhazali tidak hanya di konsumsi oleh kaum muslimin saja, akan tetapi banyak juga orang-orang nasrani termasuk para pendeta besar pada abad pertengahan yang mengambil referensi dari hasil pemikiran dan renungan beliau. Ini merupakan pertanda bahwa kebenaran-kebenaran yang di sampaikan oleh Al Ghazali merupakan kebenaran universal yang dapat diterima tidak saja oleh kalangan muslim, akan tetapijuga dapat diterima oleh kalangannon muslim.

Sedang secara kewilayahan, kontribusi Al Ghazali dalam pemahaman tentang konsepsi tasawuf tidak saja berkembang didearah Timur Tengah saja.Akan tetapai jiwa atau semangat ajaran beliau juga masih terasa sangat kental di Indonesia. Ini di buktikan dengan banyaknya pesantren di Indonesia yang memasukkan materi kajian Ihya’ Ulum Al Din dalam materi dasarnyameskipun mereka tidak menyatakan sebagai tasawuf sunni [22] .dan sampai saat ini pengaruh ajaran Ghazali semakin kuat karena disamaping di da’wahkan oleh para ulama-ulamabesar seperti syaikh Ar Raniri, syaikh Hasyim Asy ‘arie dan lain sebagainya, semakin banyak buku-buku karya beliau yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia.

1.4Biografi Al-Junayd al-Baghdadi

Abu AI-Qasim Al-Junayd bin Muhammad Al-Junayd AI-Khazzaz Al-Qawariri, lahir sekitar tahun 210 H di Baghdad, Iraq, la berasal dari keluarga Nihawand, keluarga pedagang di Persia, yang kemudian pindah ke Iraq. Ayahnya, Muhammad ibn Al-Junayd. Ia adalah murid dari Sirri al-Saqati dan Haris al-Muhasibi.

Al-Junayd pertama kali memperoleh didikan agama dari pamannya (saudara ibunya), yang bernama Sari Al-Saqati, seorang pedagang rempah-rempah yang sehari-harinya berkeliling menjajakan dagangannya di kota Baghdad. Pamannya ini dikenal juga sebagai seorang sufi yang tawadhu dan luas ilmunya. Berkat kesungguhan dan kecerdasan Al-Junayd, seluruh pelajaran agama yang diberikan pamannya mampu diserapnya dengan baik. Dan ia meninggal tahun 297 H / 298 M. dan dianggap sebagai perintis dari tasawuf yang bercorak ortodoks.

1.4.1Pengertian tasawuf meneurut Junayd al-Baghdadi dan tokoh lainnya

Mengenai penegertian tasawuf, Al-Junayd al-Baghdadi mengatakan bahwasanya tasawuf ialah bahwa engkau bersama Allah tanpa penghubung.[3] Sementara menurut Basyuni mendefinisikan tasawuf ialah kesadaran murni yang mengarahkan jiwa kepada amal dan perbuatan yang sungguh-sungguh, menjauhkan diri dari kehidupan dunia dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah untuk mendapatkan perasaan berhubungan erat dengan-Nya.

Akan tetapi Al-Junayd al-Baghdadi, lebih memperinci lagi. Ia  membagi definisi tasawuf ke dalam empat  bagian,  yaitu:

  1. Tasawuf adalah Mengenal Allah, sehingga hubungan antara kita dengan-Nya tiada perantara.
  2. Tasawuf adalah Melakukan semua akhlak yang baik menurut sunah rasul dan meninggalkan akhlak yang buruk.
  3. Tasawuf adalah  Melepaskan hawa nafsu menurut kehendak Allah.
  4. Tasawuf adalah Merasa tiada memiliki apapun, juga tidak di miliki oleh sesiapa pun kecuali Allah SWT.

Sehingga dari definisi-definisi taswuf diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwasanya tasawuf  ialah  upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, dengan jalan menyucikan diri dari segala sesutu yang dapat mencegah untuk dekat kepadaNya. Baik yang berupa perintah maupun yang dilarang oleh Allah SWT.

 1.4.2Pemikiran dan Ciri Tasawuf Al-Junayd al-Baghdadi

Sebelum ajaran tasawuf Al-Junayd al-Baghdadi, terdapat Pandangan-pandangan para sufi cukup radikal, memancing para yuris (fukaha) atau ahli fikih untuk mengambil sikap. Sehingga muncul pertentangan antara para pengikut tasawuf dan ahli fikih.Ahli fikih memandang pelaku tasawuf sebagai orang-orang zindik, yang mengaku Islam tapi tidak pernah menjalankan syariatnya.Hal ini karena, banyak pelaku tasawuf yang secara lahir meninggalkan tuntunan-tuntunan syari’at.Sebaliknya, tokoh zuhud-tasawuf memandang tokoh-tokoh fikih sebagai orang-orang yang hanya memperhatikan legalitas suatu persoalan, banyak penyelewengan dilakukan untuk mendapatkan hal-hal yang sebenarnya dilarang.

Dari adanya hal itu, Al-Junayd al-Baghdadi memberikan penegasan lebih lanjut akan pentingnya amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Menurut al-Junayd,  tasawuf adalah pengabdian kepada Allah dengan penuh kesucian. Oleh karena itu, barang siapa yang membersihkan diri dari segala sesuatu selain Allah, maka ia adalah sufi.

Karena penekanan pada aspek amaliah inilah, maka tasawuf Al-Junayd al-Baghdadi terkesan berusaha menciptakan keseimbangan antara syari’at dan hakikat. Ini merupakan kecenderungan yang berbeda sama sekali dengan tasawuf yang berorientasi pada pemikiran atau falsafah. syari’at yang tidak diperkuat dengan hakikat akan tertolak, demikian pula hakikat yang tidak diperkuat dengan syari’at juga akan tertolak. Syari’at datang dengan taklif kepada makhluk sedangkan hakikat muncul dari pengembaraan kepada yang Haq (Allah).[6] Hal itu berarti kedekatan kepada Allah dapat dicapai manakala orang telah melaksanakan amaliah lahiriah berupa syari’at dan kemudian dilanjutkan dengan amaliah batiniah berupa hakikat.

Al-Junayd dikenal pemikirannya beraliran salaf.la tidak bersikap radikal dalam menghadapi setiap persoalan. la lebih berkonsentrasi pada ajaran tasawufnya yang bersandarkan pada Al Quran dan Hadis.

Dimana, pada umumnya orang memahami Zuhud sebagai sikap hidup para sufi yang meninggalkan kebahagiaan duniawi. Mereka membekali diri untuk mengejar kehidupan dan kebahagiaan akhirat semata, seolah tidak peduli dengan urusan duniawi atau urusan orang lain di sekitarnya. Jangankan urusan duniawi orang lain, untuk kebutuhan hidupnya sendiri pun terkadang ia tidak  terlalu peduli.

Karena diakuiatau tidak bahwasanya Tasawuf sebenarnya telah ada sejak Rasulullah, akan tetapi Rasulullah tidak secara langsung meneyebutkannya dengan tasawuf secara gamlang. Hal itu dapat terlihat dari pola hidup serta tata cara beliau dalam segala bentuk hidupnya yang menampilkan dengan penuh kesederhanaan. Namun pada perkembangan selanjutnya tasawwuf mengalami kemajuan yang dikembangkan oleh masing-masing tokoh tasawuf  dengan model masing-masing.

Begituhalnya mengenai masalah hulul dan ittihad yang tetap melandasinya dengan apa yang terdapat didalam ajaran al-Qur’an dan hadis. Artinya tasawuf  Junaid  al-Baghdady ini tetap memandang bahwa pentingnya syariat demi mencapai akhirat. Dimana, ajaran tasawuf al-Junaid ini sama dengan ajaran tasawuf Al-Muhibbi yang memberi tekanan besar pada disiplin diri  atau lebih sepesifik pada disiplin kalbu. Ia memperjelas antara  orientasi ukrawi dan moralitas.

Dari ajaran tasawuf  Al-Junayd al-Baghdadi ini sangat jelas bahwasanya, orang sufi itu tetap diwajibkan menjalankan syari’at untuk mencapai kehadirat Ilahi Rabbi. Tanpa menjalankan syari’at, seseorang tidak akan sampai kepada Allah SWT.

 

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dalam bidang aqidah kita meyakini ada 2 tokoh dalam bidang tersebut yaitu Al-Asy’ari dan Al-Maturidi yang mana keduanya memiliki pemikiran yang berbeda-beda. Yang mana al­asy’ari mengikuti mazhab al­syafi’i, sedangkan al­maturidi mengikuti mazhab hanafi keduanya sama-sama menyebarkan ajaran islam namun dengan cara pandang mereka sendiri.

Sedangkan dalam bidang fiqh kita memiliki 4 mazhab yaitu mazhab imam syafi’i, mazhab imam hanafi, mazhab imam hambali, dan mazhab imam maliki. Yang mana munculnya perbedaan mazhab ini muncul karena adanya perbedaan pendapat dikalangan ahli hukum islam mengenai aspek-aspek ajaran islam.

Berkat kerja keras yang dilakukan oleh Al Ghazali, telah banyak terobosan-terobosan baru bagi kehidupan keagamaan di masa beliau maupun setelahnya.Sikap toleransi, saling menghormati, dan keselamatan jiwa merupakan ajaran yang secara tersirat beliau sampaikan kepada umat manusia. Sesungguhnya semua hal yang telah dilakukan oleh beliau merupakan hasil dari proses pencarian kebenaran mutlaq yangbeliau idamkan selama hidup.

Sementara penegrtian tasawuf menurut Al-Junayd al-Baghdadi adalah Tasawuf adalah Mengenal Allah, sehingga hubungan antara kita dengan-Nya tiada perantara.Ajarannya dengan melakukan semua akhlak yang baik menurut sunah rasul dan meninggalkan akhlak yang buruk dan melepaskan hawa nafsu menurut kehendak Allah serta Merasa tiada memiliki apapun, juga tidak di miliki oleh sesiapa pun kecuali Allah SWT.Adapun ciri tasawuf  Al-Junayd al-Baghdadi yaitu adanya keterkaitan antara syari’at dan hakekat yang dilandasi dengan ajaran-ajaran dari al-Qur’an dan Hadis.Sementara para pengikut al­Asy’ari sendiri sesudahnya, lebih cenderung mengikuti pendekatan ta’wil, meskipun pendekatan ini berbeda dengan pendekatan ta’wil versi Mu’tazilah.

3.1 Saran

Kita sebagai orang islam harus memiliki rasa percaya pada salah satu m,azhab yang kita anut seperti yang dianut oleh Ahlussunnah wal jamaah yaitu mazhab Syafi’i dan mengikuti ajaran tassawuf dari al-Ghazali. Hendaknya kita percaya pada Allah dan para rasul dan juga para khulafaur rassyidin yang telah memberi tahu kita mengenai sejarah Islam.

 

DAFTAR PUSTAKA

Anshor, D. M. (2012). Bahth Al-Masail Nahdlatul Ulama. Yogyakarta: Teras.

Suyatno. (2011). Dasar-Dasar Ilmu Fiqh Dan Ushul Fiqh. Jogjakarta: Ar-Ruz Media.

 

 

PERJALANAN ASWAJA KE NUSANTARA

MAKALAH AGAMA 2

PERJALANAN ASWAJA KE NUSANTARA

Pengampu : Bapak Nur Rohman

 index

 

Disusun oleh :

  1. NILA KRISTANTI (151120001623)
  2. SISKA NOFITA HARDIYATI (151120001629)
  3. TRI HANDAYANI (151120001677)

 

 

Prodi Akuntansi

Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Universitas Islam Nahdlatul Ulama Jepara

Jln.Taman Siswa (pekeng) Tahunan Jepara Telp.(0291)595477

2016

 

KATA PENGANTAR

 

Puji syukur kehadirat Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam pemahaman masuknya Aswaja ke Nusantara ini.

Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.

Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki sangat kurang. Oleh karena itu kami harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

 

Jepara,27 Maret 2016

Penyusun

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

Wali Songo adalah ulama yang sangat berjasa dalam penyebaran agama Islam di Indonesia, khususnya di pulau Jawa. Siapapun tahu bahwa mereka adalah ulama-ulama penganut faham Ahlussunnah wal Jama’ah yang telah berhasil menanamkan  ajaran Islam mengikuti faham Ahlussunnah wal Jama’ah dalam dada masyarakat muslim Indonesia.

Fakta bahwa mayoritas umat Islam Indonesia sejak dulu hingga sekarang menganut faham Ahlussunnah wal Jama’ah, dengan mengikuti madzhab Syafi’i dalam bidang fiqh.  Sudah tentu mereka mendapatkan faham tersebut dari ulama dan para da’i yang mengajak dan mengajarkan tentang agama Islam kepada mereka. Sesuatu yang sangat mustahil jika orang yang menyebarkannya tidak menganut faham Aswaja sementara yang diajak adalah penganut setia faham Ahlussunnah wal Jama’ah.

Di sisi lain semua sepakat bahwa da’i yang menyebarkan agama Islam ke Nusantara khususnya di pulau Jawa adalah wali songo. Karena itu dapat dikatakan bahwa wali songo adalah penganut Aswaja, kecuali jika ada fakta sejarah yang menunjukkan bahwa ajaran Aswaja masuk ke Indonesia dan mengubah faham keagamaan yang telah berkembang terlebih dahulu. Tetapi kenyataannya, tidak ada data sejarah yang menjelaskan hal tersebut.”Kata Sunan adalah sebutan mulia yang diperuntukkan bagi para raja dan para tokoh da’i Islam di Jawa. Dan akan dijelaskan nasab mereka hingga bersambung sampai ke Imam al-Muhajir. Dan sungguh telah kami fahami dari apa yang mereka ajarkan, bahwa mereka semua adalah ulama pengikut madzhab Syafi’i dan sunni dasar dan aqidah keagamaannya. Mereka kemudian lebih terkenal dengan sebutan “wali songo.” (Al-Imam al-Muhajir,174).

Materi yang akan kami bahas dalam makalah ini yaitu:

1.Momen-momen berasejarah dalam penyebaran Islam

2.Penyebaran Islam Masa Pra-Walisongo

3.Penyebaran Islam Masa Walisongo

4.Penyebaran Islam Masa Pasca Walisongo

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

  1. Momen-momen bersejarah dalam penyebaran Islam

Ada kesinambungan antara alur geosospol dengan sejarah Islam di Nusantara.Memang banyak perdebatan tentang awal kedatangan Islam di Indonesia ada yang berpendapat abad ke-18 dan ke-13 M. Namun yang pasti tonggak kehadiran Islam di Indonesia sangat tergantung kepada dua hal yaitu pertama kesultanan pasai di Aceh yang terdiri sekitar abad ke 13 dan kedua walisongo di Jawa yang mulai hadir pada akhir abad ke 15 bersamaan dengan runtuhnya Majapahit. Namun dalam perkembangan islam selanjutnya yang lebih berpengaruh adalah walisanga yang Dakwah Islamnya tidak hanya terbatas diwilayah Jawa saja tetapi menggurita di seluruh pelosok Nusantara yang penting untuk dicatat pula semua sejarawan sepakat bahwa Walisanga-lah yang dengan cukup brilian mengkonteskan Aswaja dengan kebudayaan masyarakat Indonesia, sehingga lahirlah Aswaja yang khas Indonesia yang sampai hari ini menjadi basis bagi golongan tradisonalis.

 

No Periode Momensejarah
1 Islam awal prawalisanga Masyarakat muslim bercorak maritim pedagang berbasis diwilayah pesisir.

Mendapat hak istemewa dari kerajaan Hindu yang pengaruhnya semakin kecil.

Fleksibelitas politik.

Dakwah dilancarkan kepada paraelit penguasa setempat.

2 Walisanga Konsolidasi kekuatan pedagang muslim membentuk konsorsium bersama membidani berdirinya kerajaan Demak dengan egalitarianisme Aswaja sebagai dasar Negara.

Sistem kasta secara bertahap dihapus.

Islamisasi dengan media kebudayaan.

Tercipta asimilasi dan pembauran Islam dengan kebudayaan lokal bercorak Hindu Budha.

Usaha mengusir Portugis gagal

3 Pasca-walisanga-kolonialisme Penyatuan Jawa oleh Trenggana menyebabkan dikuasainya jalur laut Nusantara oleh Portugis,kekuatan Islam masuk kepedalaman.

Kerajaan Mataram melahirkan corak baru Islam Nusantara yang bersifat agraris sinkkretik

Mulai terbentuknya struktur masyarakat feodal yang berkelindan dengan struktur kolonial mengembalikan struktur kasta dengan gaya baru.

Kekuatan tradisionalis terpecahbelah akibat banyaknya pesantren yang menjadi miniatur kerajaan feodal.

Kekuatan orisinil Aswaja hadir dalam bentuk perlawanan agama rakyat dan perjuangan menentang penjajahan.

Arus pembaruan Islam muncul di Minangkabau melalui perang Padri.

Politik etis melahirkan kalangan terpelajar pribumi, ide nasionalisme mengemuka.

Kekuatan islam mulai terkonsolidir dalam serikat islam (SI).

Muhammadiyah berdiri sebagai basis muslim modernis.

B.Masa Pra-Walisongo

1.Zaman Abu Mansur Al Maturidy

Nama lengkap beliau Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Al samarqandi Al Maturidi Al Hanafi.Beliau lahir di Maturid sebuah kota kecil di Samarkand.Nama Almaturidi nisbatkan dari dari tempat kelahirannya Maturid. Maturid adalah sebuah kota kecil di wilayah Asia Tengah, daerah yang sekarang disebut Usbekistan. Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abadke-3 Hijriyah. Gurunya dalam bidang Fiqih dan teologi adalah Nasyr bin Yahya Al Balakhi. Al Maturidi hidup pada masa khalifah Al Mutawakil yang memerintah tahun 232 – 274/847 – 861 M. Al Maturidi Wafat tahun 333 H, 9 tahun setelah Wafatnya Imam Asy’ari.

Karir pendidikan Al Maturidi lebih dikosentrasikan untuk menekuni bidang teologi daripada Fiqih. Ini dilakukan untuk memperkuat pemahaman terhadap teologi yang banyak berkembang di masyarakat pasa saat itu. Teologi-teologi yang berkembang pada saat itu lebih banyak yang tidak sesuai dengan kaidah yang benar sesuai dengan akal dan syara’.

Al Maturidy mendasarkan fikiran-fikirannya dalam soal-soal kepercayaan kepada fikiran-fikiran imam abu hanifah yang tercantum dalam kitabnya “al fiqh al akbar” dan “al fiqh al absat”. Pengikut Maturidi juga adalah orang-orang hanafiah. Sebagai pengikut Abu hanifah yang banyak memakai rasio dalam pandangan keagamaannya, Al Maturidi banyak pula memakai akal dalam system teologinya.

Pemikiran-pemikiran Al Maturidi banyak dituangkan dalam bentuk tulisan, diantaranya ialah Kitab Tauhid, Ta’wil Al Quran, Makhaz Asy-Syara’I, Al Jadl, Al Ushul fi Ushul ad Din, Maqalat fi Al Ahkam Radd Awa’il Al Abdillah li Al Ka’bi, Radd Al Ushul Al Khamisah li Abu Muhammad Al Bahili, Radd Al Imamah li Al Ba’ad Ar Rawafid, dan Kitab Radd ‘ala Al qaramatah. Selain itu ada pula karangan-karangan yang diduga ditulis oleh Al Maturidi, yaituRisalah fi Al ‘Aqaid dan Syarh Fiqh Al Akbar.

  • Sejarah lahirnya aliran maturidiyyah

Al-Maturidiyah merupakan salah satu aliran sunni yang dinisbatkan kepada penggagasnya bernama Muhammad bin Muhammad bin Mahmud, yang dikenal dikalangan masyarakat dengan nama Abu Mansur Al Maturidy. Belum ada catatan yang dapat menunjukkan dengan pasti kapan tokoh ini lahir, tapi para ulama banyak yang berpendapat bahwa beliau lahir pada pertengana abad ke tiga di daerah samarkand dan wafat pada tahun 333 H.. Abu mansur merupakan salah seorang ulama yang mempelajari Usulul Fiqh hanafi. Pada masa itu terjadi pergolakan pemikiran khususnya seputar fiqh wa usuluhu khususnya antara Hanafiyah dan Syafi’iyah. Di saat badai perdebatan terjadi di antara para fuqaha dan muhadditsin, serta ulama-ulama mu’tazilah baik dalam bidang ilmu kalam ataupun fiqh dan usulnya pada kondisi itulah Abu Mansur Al Maturidy hidup. Beliau dikenal sebagai ulama yang beraliran madzhab Hanafi. Sebagaina disebutkan oleh kalangan ulama hanafiah, bahwa Abu Mansur memiliki arus pemikiran teologi yang sama persis dengan Abu Hanifah.

Abu Mansur Al-Maturidy yang terkenal dengan julukan Imâm Al Huda. Pernyataan ini membuktikan begitu besar pengaruh beliau dalam masyarakat yang heterogen dengn segudang pendapat dan aliran dalam beragama. Untuk memperkokoh kedudukannya dibidang teologi beliau banyak menulis,diatanranya adalah Kitab Ta’wil Al- Qur’an, Kitab Ma’khud As Syarâ’I, Kitab Al Jidal, Kitab Al Ushul fi Usul Ad Din, Kitab Al Maqâlât fi Al Kalâm, Kitab At Tauhîd dan masih banyak lagi kitab yang lainnya.

Latar belakang lahirnya aliran ini, hampir sama dengan aliran Al-Asy’ariyah, yaitu sebagai reaksi penolakan terhadap ajaran dari aliran Mu’tazilah, walaupun sebenarnya pandangan keagamaan yang dianutnya hampir sama dengan pandangan Mu’tazilah yaitu lebih menonjolkan akal dalam sistem teologinya.

Pemahaman teologi yang muncul pada saat itu membuat Al Maturidi lebih mendalami teologi. Apalagi pada ajaran-ajaran dari aliran Mu’tazilah yang menurutnya mulai nampak keburukan-keburkannya dan tidak sesuai dengan jalan pemikirannya, kendatipun demikian Al Maturidi juga masih mengikuti ajaran mu’tazilah meskipun tidak utuh.

Sejarah menunjukkan peranan dan pengaruh mu’tazilah mulai menurun setelah khalifah Mutawakil membatalkan aliran mu’tazilah sebagai mazhab negara. Posisi mu’tazilah dimusuhi penguasa dan mayoritas umat. Sehingga lahirlah teolog yang diterima oleh masyarakat banyak yang berpegang pada Al Quran dan hadits dan kaum mayoritas. Inilah yang dimaksud dengan ahlusunnah wal jama’ah.

  • Pokok-pokok pemikiran Imam Al Maturidi

Abu Mansur Al Maturidy hidup sejaman dengan Abu Hasan Al- Asy Arie, keduanya sama-sama berupaya menegaggak panji Ah Lussunnah Wal jamaah ditengah kabutn pertikaian ideologi antar sekte dan aliran Islam. Meskipun pada saat itu derah abu Mansur tidak sepanas Basrah dalam pergolakan pemikiran antar sekte, akan tetapi di Samarkand juga ada berberapa ulama yang berkiblat pada Muktazilah di Irak, merekalah yang menuai hantaman pemikiran dari al Maturidi.

Perbedaan antara pemikiran Al- Asy Arie dengan Al Maturidy akan tetapi perbedaan itu sangat sedikit sekali, bahkan dapat dikatakan bahwa antara Al Asyarie dan Al Maturidy nyaris meiliki kesamaan kalau tidak bisa di sebut sama. Bahkan Muhammad Abduh mengatakan bahwa perbedaan antara Al Maturidiyah dan Al Asyariyah tidak lebih dari sepuluh permasalahan dan perbedaan di dalamnya pun hanyalah perbedaan kata-kata (al  Khilâf Al Lafdziyu). Akan tetapi ketika kita mengkaji lebih dalam aliran asy- Ariyah dan Maturidiyah maka perbedaan-berdeakan tersebut semakin terlihat wujudnya. Tak dapat dipungkiri bahwa keduanya berupaya menentukan akidah berdasarkan ayat-ayat tuhan yang terangkum dalam al- Qur’an secara rasional dan logis. Keduanya memberikan porsi besar pada akal dalam menginterpretasikan al- Qur’an dibandingkan yang lainnya. Menurut Al-Asyariyah untuk mengetahui Allah wajib dengan syar’i sedangkan Maturidiyah sependapat dengan Abu Hanifah bahwa akal berperan penting dalam konteks tersebut. Hal itu merupakan salah satu contoh perbedaan keduanya.

Metodologi yang diterapkan Maturidiyah meletakkan akal dengan porsi besar, sedangkan asyariyah lebih berpegang pada naql, sehingga para pengkaji mengklaim bahwa Asyariyah berada pada titik antara Muktazilah dan Ahlul Fiqh wal Hadist, adapun Maturidiah barada pada posisi antara Muktazilah dan Al Asyariyah. Maka dengan demikian ada sekte Muktazilah, Ahlul Hadist, kemudian Muktazilah Maturidiyah dan Al Muhadtsun Al Asyairah.

Sekte Maturidiyah berpegang pada akal berdasarkan petunjuk dari syariat, berbeda dengan Ahlul Fiqh dan Hadist yang berpegang teguh pada naql tidak yang lain, khawatir terjadi kesalahan pada pandangan akal sehingga dapat menyesatkan. Pendapat Ahlul Hadist ini hantam dengan hujjah dalam kitab tauhid bahwa ini merupkan gaungguan syaithan. Urgensi analisa tidak bisa diganggu gugat, bagaimana mungkin mengingkari akal yang berfungsi untuk menganalisa, sedangkan Allah menyeru hambanya untuk selalu berfikir, bertafakkur dalam melihat dan menganalisa seluruh apa yng terjadi di alam ini, maka ini adalah bukti konkret bahwa berfikir dan bertafakkur adalah sumber ilmu. Merkipun demikian maturidiah mengambil hukum berdasarkan akal yang tidak bertentangan dengan syariat, jikalau terjadi pertentangan antar keduanya maka yang diambil adalah hukum syariat. Jelas meskipun akal dijadikan landasan berpikir dalam menentukan hukum akan tetapi semua itu harus bermuara dari nash.

Al Maturidiyah berpendapat bahwa segala sesuatu pasti memiliki value, maka akal tentu dapat membedaan mana nilai yang baik (good value) atau buruk (bad value) dari sesuatu itu. Menurut mereka materi itu ada tiga. Pertama, yang mengandung nilai baik (good value), kedua, mengandung nilai buruk (bad value) dan yang ketiga, mengandung nilai baik maupun buruk, adapun syariat menjadi penentu utama dalam menentukan bad value atau good value itu. Pendapat ini seirama dengan Muktazilah, hanya saja muktazilah condong lebih tegas, mereka menyatakan bahwa good value yang diketahui oleh akan menjadi suatu kewajiban yang harus dilakukan begitupun dengan bad value yang diakui akal harus ditinggalkan. Jadi yang paling menentukan di sini menurut Muktazilah adalah akal. Sedangkan Maturiyah sedikit “malu” berpendapat sejelas Muktazilah, murut mereka jika akal mengetahui bahwa sesuatu itu adalah benar salah maka yang menentukan hal itu harus dilakukan atau tidak adalah syariat bukan akal, karena akal tidakbisa menentukan syariat agama, yang menentuka syariat agama hanyalah Allah yang Maha Tahu. Pendapat maturidiah ini tentu bersebrangan dengan keyakinan Asy Ariayah, menurut mereka kebenaran itu dengan syariat berupa perintah dan keburukan itu dengan syariat berupa larangan. Kebaikan adalah suatu kebaikan karena Allah memerintah untuk melakukannya dan keburukan tetaplah menjadi keburukan karena allah melarang untuk melakukannya. Dengan demikian maka pendapat Maturidiah menengahi pendapat Muktazilah dan Al Asyariyah.

 

2.Zaman Al-Asy’ari

Nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al-Asy’ari,seorang sahabat Rasulullah saw. Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada namanya sehingga dengan demikian ia menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah.

Abul Hasan Al-Asya’ari dilahirkan pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 324 H/935 M, ketika berusia lebih dari 40 tahun. Ia berguru kepada Abu Ishaq Al-Marwazi, seorang fakih madzhab Syafi’i di Masjid Al-Manshur, Baghdad. Ia belajar ilmu kalam dari Al-Jubba’i, seorang ketua Muktazilah di Bashrah.

Al-Asy’ari yang semula berpaham Mu’tazilah akhirnya berpindah menjadi Ahli Sunnah. Sebab yang ditunjukkan oleh sebagian sumber lama bahwa Abul Hasan telah mengalami kemelut jiwa dan akal yang berakhir dengan keputusan untuk keluar dari Muktazilah. Sumber lain menyebutkan bahwa sebabnya ialah perdebatan antara dirinya dengan Al-Jubba’i seputar masalah ash-shalah dan ashlah (kemaslahatan).

Sumber lain mengatakan bahwa sebabnya ialah pada bulan Ramadhan ia bermimpi melihat Nabi dan beliau berkata kepadanya, “Wahai Ali, tolonglah madzhab-madzhab yang mengambil riwayat dariku, karena itulah yang benar.” Kejadian ini terjadi beberapa kali, yang pertama pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, yang kedua pada sepuluh hari yang kedua, dan yang ketika pada sepuluh hari yang ketiga pada bulan Ramadhan. Dalam mengambil keputusan keluar dari Muktazilah, Al-Asy’ari menyendiri selama 15 hari. Lalu, ia keluar menemui manusia mengumumkan taubatnya. Hal itu terjadi pada tahun 300 H.

Al-Asy’ari menganut faham Mu’tazilah hanya sampai ia berusaha 40 tahun. Setelah itu, secara tiba-tiba ia mengumumkan di hadapan jamaah masjid bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan faham Mu’tazilah dan menunjukkan keburukan-keburukannya. Menurut Ibn Asakir, yang melatarbelakangi Al-Asy’ari meninggalkan faham Mu’tazilah adalah mengakuan Al-Asy’ari telah bermimpi bertemu Rasulullah Saw. sebanyak tiga kali, yaitu pada malam ke-10, ke-20, dan ke-30 bulan Ramadhan. Dalam tiga mimpinya itu, Rasulullah memperingatkannya agar meninggalkan faham Mu’tazilah dan membela faham yang telah diriwayatkan dari beliau.

Setelah itu, Abul Hasan memposisikan dirinya sebagai pembela keyakinan-keyakinan salaf dan menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase ini, karya-karyanya menunjukkan pada pendirian barunya. Dalam kitab Al-Ibanah, ia menjelaskan bahwa ia berpegang pada madzhab Ahmad bin Hambal.

Abul Hasan menjelaskan bahwa ia menolak pemikirian Muktazilah, Qadariyah, Jahmiyah, Hururiyah, Rafidhah, dan Murjiah. Dalam beragama ia berpegang pada Al-Qur’an, Sunnah Nabi, dan apa yang diriwayatkan dari para shahabat, tabi’in, serta imam ahli hadits.

Madzhab Asy’ari bertumpu pada al-Qur’an dan al-sunnah.Mereka mata teguh memegangi al-ma’sur.”Ittiba”lebih baik dari pada ibtida’ (Membuat bid’ah).

Dalam mensitir ayat dan hadist yang hendak di jadikan argumentasi, kaum Asy’ariah bertahap, yang ini merupakan pola sebelumnya sudah di terapkan oleh Asy’ariah. Biasanya mereka mengambil makna lahir dari anas (Teks al-quran dan al-Hadist), mereka berhati-hati tidak menolak penakwilan sebab memang ada nas-nas tertentu yang memiliki pengertian sama yang tidak bias di ambil dari makna lahirnya, tetapi harus di takwilkan untuk mengetahui pengertian yang di maksud.

Kaum asy’ariah juga tidak menolak akal, karena bagaimana mereka akan menolak akal padahal Allah menganjurkan agar Ummat islam melakukan kajian rasional.

Pada prinsipnya kaum Asy’ariah tidak memberikan kebebasan sepenuhnya kepada akal seperti yang di lakukan kaum mu’tazilah, sehingga mereka tidak memenangkan dan menempatka akal di dalam naql (teks agama).akal dan nql saling membutuhkan.naql bagaikan matahari sedangkan akal laksana mata yang sehat.dengan akal kita akan bias meneguhkan naql dan membela agama.

  1. Masa Walisongo

Dalam catatan sejarah, islam disiarkan ke Indonesia oleh dua petugas, yaitu para pedagang dan para sufi yang datang dari Gujarat. Sebagai pedagang, tentu bukan hanya kontak jual beli barang yang bisa dilakukan. Dalam saling hubungan, disampng berdagang sering ada waktu sela yang bisa dimanfaatkan. Misalnya, memanfaatkan waktu untuk menunaikan shalat atau kewajiban agama lain termasuk menyiarkan agama yang dipeluknya kepada pihak lain.

Menurut pemberitaan di Tiongkok, pada tahun 1416 itu di tanah Jawa sudah banyak didatangi orang islam. Para pendatang Islam itu bukan penduduk asli tanah Jawa atau Nusantara, melainkan berasal dari luar, yaitu orang-orang Gujarat yang berasal dari India sebelah barat.

Maulana Malik Ibrahim adalah seseorang yang diduga keras berasal dari Gambay di Gujarat yang hidup hingga tahun 822 H atau tahun 1419. Yang berarti dia hidup dan menyebarkan agama islam di Jawa khususnya Jawa Timur di kalangan para sultan, menteri, rakyat yang fakir dan miskin, hingga sekitar tahun 1419 itu. Kalau Islam dimasa sekarang sudah menjadi mayoritas penduduk di Jawa, maka itu tidak lepas dari jasa Malik Ibrahim sebagai salah seorang dari Walisongo.

Islam masuk ke tanah Jawa melalui para wali, yang kemudian dikenal dengan sebutan walisongo. Penyiarannya berlangsung dengan suasana yang damai. Ajaran Islam tidak disebarkan dengan pertumpahan darah, melainkan didakwahkan secara bijaksana oleh para wali.

Adapun sebab-sebab yang membawa islam dapat disebarkan dalam suasana damai, antara lain sebagai berikut :

  1. Penyiar-penyiar Islam yang datang mula-mula adalah terdiri dari para pedagang dan sufi.
  2. Metode penyampaian dakwah Islam adalah sudah sejalan dengan ketentuan ajaran Al-Quran. Yaitu agar disampaikan dengan cara hikmah (bijaksana), dengan cara memberi pengajaran yang baik, serta dengan cara bertukar pikiran secara sebaik-baiknya.
  3. Kebijaksanaan para mubaligh yang datang, yang telah dapat menyelami dan memahami watak bangsa Indonesia.

Walaupun demikian, perjuangan para walisongo di Jawa dalam penyebaran dan penyiaran agama islam mengalami periode perjuangan, yaitu :

  1. Periode Gresik, yaitu periode yang berupa menyampaikan ajaran-ajaran islam kepada masyarakat luas dan mempergiat pembentukan kader-kader.
  2. Periode Demak, yaitu periode yang segala tenaga dan pikiran telah dicurahkan utuk menyusun kekuatan dan kekuasaan.

Kedua dari periode diatas, berlangsung dalam waktu yang lama. Artinya, keduanya berlangsung dengan memakan waktu yang tidak sekaligus. Dikedua periode ini, dakwah islam disampaikan dengan memakan waktu yang puluhan tahun. Penyiaran dan penyebaran Islam di Jawa pada zaman dahulu dipelopori oleh para wali. Namun yang sangat dikenal dalam peloporan penyiaran agama islam dari sekian banyak wali tersebut dikenal dengan sebutan Walisongo, yaitu wali yang berjumlah sembilan. Walisongo tersebut adalah sebagai berikut :

  1. Maulana Malik Ibrahim ( Sunan Gresik )

Maulana Malik Ibrahim dikenal dengan nama Maulana Maghribi atau Syekh Maghribi. Silsilah keturunannya berasal dari Zainul Abidin bin Sayyidina Hasan bin Sayyidina Ali bin Abu Thalib menantu dari Nabi Muhammad SAW. Maulana Malik Ibrahim datang ke Indonesia pada tahun 750 H/1379 M, bersama rombongan untuk mengislamkan raja Majapahit dan masyarakatnya. Raja Majapahit waktu itu adalah Hayam Wuruk, menerima dengan baik kedatangan rombongan Maulana Malik Ibrahim. Ia diterima sebagaimana layaknya tamu kerajaaan. Setelah berada di kerajaan Majapahit, Maulana Malik Ibrahim mengenalkan agama Islam kepada para raja Majapahit. Namun karena raja Majapahit sangat fanatik terhadap agama Hindu, dan di Jawa raja dianggap keturunan dewa yang harus dijunjung tinggi dan ditaati, maka usaha Maulana Malik Ibrahim mengislamkan raja Majapahit tidak berhasil. Tetapi hal tersebut tidak menjadi penghalang bagi Maulana Malik Ibrahim karena ia malah dipersilahkan untuk tetap tinggal di Majapahit dan di beri kebebasan untuk berdakwah menyebarkan agama islam.

Maulana Malik Ibrahim mengambil daerah Jawa Timur, tepatnya di gresik untuk menetap dan sebagai tempat untuk tinggal dan mengembangkan agama islam. Langkah pertama yang diambil adalah ikut bersama-sama masyarakat berdagang. Melalui perdagangan inilah ia sedikit demi sedikit memperkenalkan agama islam kepada masyarakat. Dari waktu ke waktu, pemeluk agama islam semakin bertambah, sehingga ia menganggap perlu untuk membangun tempat peribadahan dan lembaga pendidikan. Ia mendirikan masjid dan pondok pesantren. Melalui masjid dan pondok pesantren inilah ia dapat mengembangkan agama islam kepada santri-santrinya yang berasal dari Gresik sendiri ataupun yang berasal dari daerah lain.

  1. Raden Rahmat ( Sunan Ampel )

Raden Rahmat lahir di Champa pada tahun 753 H/1401 M. Setelah berusia 20 tahun oleh ayahnya, Ibrahim Asmarakandi, ia diperintahkan pergi ke Majapahit untuk mengislamkan Raja Majapahit yang masih saudara sepupunya. Dalam perjalan, Raden Rahmat singgah di palembang yang diperintah oleh Adipati Arya Damar. Sesampainya di Majapahit, ia mengajak raja Majapahit untuk masuk islam. Sekalipun raja tidak mau masuk islam Raden Rahmat diterima dengan baik dan diberi ijin untuk menyiarkan agama islam lalu diberi tempat di Ampel Denta yang waktu itu masih merupakan rawa-rawa.

Di Ampel inilah Raden Rahmat mendirikan pesantren untuk mendalami ilmu-ilmu agama dan sebagai tempat berdakwah. Dan Raden Rahmat inilah yang menjadi sesepuh Walisongo. Ia juga menjadi penasehat kerajaan islam. Bahkan ia ikut serta membangun masjid Demak tahun 1479 dan menjadi penganjur berdirinya kerajaaan Demak. Karena itu, Raden Rahmat mendapat gelar “ Sunan Ampel “.

  1. Raden Paku ( Sunan Giri)

Sunan Giri adalah salah seorang diantara Walisongo, yang hidup pada abad ke-15 Masehi. Nama aslinya adalah Raden Paku. Ada juga yang menyebutnya dengan Prabu Satmata, atau Sultan Abdul Fakih. Jadi, Sunan Giri itu memiliki tiga buah nama.

Raden Paku ini diberi gelar dengan Sunan Giri, sebab jasa-jasanya dalam mendirikan pesantren dan mengajar santri di daerah Giri, Gresik. Dalam upaya memperoleh ilmu agama, ia mengusahakannya dengan tekun belajar. Mula-mula ia memperoleh dari ayahnya sendiri, Maulana Ishak, kemudian ia belajar dari Sunan Ampel, serta belajar dari beberapa ulama didaerah Pasai (Aceh) dan tanah suci Makkah. Dalam penyebaran agama islam, Sunan Giri mengirimkan beberapa muridnya untuk menyebarkan agama islam seperti ke Sulawesi, Maluku, Madura, dan Nusa Tenggara. Sebagai penyebar agama islam ke tengah-tengah masyarakat, Sunan Giri dikenal sangat sabar dan telaten pada berbagai kalangan. Bahkan dalam menyampaikan tugas-tugas sucinya, ia sering memanfaatkan kreativitasnya dalam menciptakan lagu-lagu ke tengah-tengah masyarakat.

  1. Raden Maulana Makdum Ibrahim ( Sunan Bonang )

Nama asli Sunan Bonang adalah Raden Maulana Makdum Ibrahim, dan sering disebut Raden Makdum. Ia putra Sunan Ampel (Raden Rahmat )dari perkawinannya dengan Dewi Candrawati. Sunan Bonang menerima pendidikan agama islam pertama kali dari orang tuanya sendiri, yaitu Sunan Ampel. Setelah menginjak dewasa da dasar-dasar ilmu agama yang diajarkan oleh orang tuanya dianggap sudah memadai, ia dikirim oleh orang tuanya bersama Raden Paku, putera Maulana Ishak, untuk belajar ke Pasai ( Aceh ), dan selanjutnya ke Mekkah, disampng untuk menunaiakan ibadah haji.

Setelah beberapa tahun lamanya mendalami berbagai ilmu agama islam di Makkah, ia kembali ke tanah air dan mengembangkan ajaran agama islam kepada masyarakat di Jawa Timur. Ia mengambil daerah Tuban untuk tempat tinggal dan tempat dakwahnya. Sebagaimana ayahandanya, Sunan Ampel, ia mendirikan pondok pesantren sebagai tempat pendidikan bagi orang yang hendak menuntut ilmu pengetahuan agama islam kepadanya dan juga ia mendirikan masjid untuk tempat ibadah shalat santri-santrinya.

Ada salah satu kitab hasil karyanya bernama Suluk Sunan Bonang yang berisikan pelajaran agama islam yang ditulis dengan prosa Jawa Tengahan. Kepribadian yang luhur dan kedalaman ilmunya membuat nama Sunan Bonang dikenal dimana-mana.

  1. Syekh Ja’far Shadiq ( Sunan Kudus )

Nama Sunan Kudus adalah Syekh Ja’far Shadiq. Nama aslinya Raden Amir Haji putera Raden Usman Haji ( Sunan Ngudung ) penghulu dan panglima perang kerajaan Demak. Pada masa mudanya, Raden Amir Haji pernah menjabat panglima perang kerajaan Demak, menggantikan ayahnya. Semasa kecilnya, ia sudah terdidik di lingkungan yang patuh menjalankan agama dan rajin mempelajari ajaran islam. Maka ketika berhenti dari jabatan panglima perang, ia langsung bergerak dalam dunia dakwah.

Ia mengajarkan agama islam di sekitar daerah Kudus dan Jawa Tengah pesisir utara. Sebagai guru dan Ulama Besar yang mengajarkan ilmu Tauhid, hadist, usul, sastra, mantiq terutama ilmu hukum islam ( syariat ) dan peradilan.

Cara Sunan Kudus menyiarkan agama islam, juga seperti yang dilakukan wali-wali lainnya. Yaitu dengan cara yang bijaksana. Ia pernah mengikat seekor lembu yang sangata dihormati orang hindu. Lembu itu diikat disekitar masjid. Sehingga banyak rakyat yang masih memeluk agama hindu waktu itu berbondong-bondong. Setelah mereka hadir, lalu Sunan Kudus bertabligh. Dengan cara ini banyak diantara mereka yang memeluk agama islam.

  1. Raden Mas Syahid ( Sunan Kalijaga )

Sunan Kalijaga adalah salah seorang Walisongo yang cukup terkenal. Ia terkenal karena lima kelebihan utama, yaitu berjiwa besar, toleran, berpandangan tajam, budayawan dan seniman, serta pujangga.Atas kemampuan yang dimiliki Sunan Bonang, ia kemudian berkeinginan kuat untuk menjadi muridnya. Drai pernyataan keinginannya, Sunan Bonang hanya mau menerimanya menjadi murid ika ia sanggup menjaga tongkat yang ia tancapkan di tepi sungai. Kemudian terjalinlah hubungan Guru-Murid antara Sunan Bonang dan Raden Mas Syahid (Sunan Kalijaga).Dengan setianya, selaku murid, Raden Mas Syahid menaati janjinya dala menjaga tongkat ditepi sungai itu. Dari waktu ke waktu dijagalah tongkat itu dengan setia sehingga ia memenuhi persyaratan yang diminta sang guru. Diisnilah ada dua istilah penting yaitu “Kali” dan “Jaga”. Kali adalah Sungai dan Jaga adalah penjaga. Jika ditambah dengan Sunan akan menjadi sunan penjaga (tongkat dekat) kali.

Waktu itu ia termasuk salah seorang wali yang berkewajiban menyediakan salah satu tiang dari empat tiang pokok (Sakaguru). Tiang tersebut ia buat dari tatal yaitu serpihan dari kayu sisa. Dari situlah Sunan Kalijaga itu mempunyai peranan yang sangat penting dalam pendirian masjid Demak itu.

Sebagai tokoh yang kuat rasa toleran dan berpandangan tajam,Dakwah Sunan Kalijaga adalah khas.Menurut pendapatnya, menyampaikan ajaran islam perlu disesuaikan dengan keadaan setempat, dan sedikit demi sedikit. Kepercayaan, adat istiadat, dan kebudayaan lama tidak harus dihapuskan, tetapi diisi dengan unsur keislaman.Dikemudian hari ada kesepakatan pendekatan dakwah, bahwa dakwah itu perlu ada yang dari atas juga ada yang dari bawah.

Sebagian budayawan dan seniman Sunan Kalijaga banyak mencipta yang menggambarkan pendiriannya itu. Ia menciptakan dua perangkat gamelan yaitu Nagawilaga dan Guntur Madu. Ia juga menciptakan sebuah wayangyang dilukiskan diatas kertas yang lebar disebut wayang beber. Selain itu ia juga menciptakan sebuah karya desain baju yang disebut dengan baju “takwo” (dari bahasa al-Qur’an ibasut takwa),dan baju batik yang bermotifkan burung.Ada juga karyanya dalam bidang seni suara, ia menciptakan lagu Dandanggula salah satu jenis lagu Macapat.

  1. Fatahillah (Sunan Gunung Jati)

Sunan Gunung Jati atau Fatahillah adalah salah seorang walisanga yang melaksanakan misinya untuk mengislamkan JawaBarat. Ia berhasil mendirikan dua buah kerajaan islam Banten dan Cirebon, dan menguasai Sunda Kelapa, pelabuhan terpenting bagi kerajaan Hindu, kerajaan Pakuan (Bogor).Karena pada tahun 1521 Pasai ditaklukan oleh Portugis, maka ia meninggalkan negerinya untuk melakukan ibadah haji ke Makkah. Ia tidak mau kembali ke negerinya, melainkan ke keraton Demak di Jawa.Ia ke Cirebon lebih dahulu,baru kebanten sekitar 1525, dan berhasil menyingkirkan Bupati Sunda dikota itu.

Tahun 1527, kota pelabuhan yang sangta penting bagi perdagangan kerajaan Hindu Pajjaran, yaitu Sunda Kelapa, berhasil ia rebut denga cara melalui perjuangan yang cukup sengit mengingat letaknya yang tidak jauh dari pusat kerajaan Pakuan (Bogor).Karena keberhasilannya Sultan Trenggana menghadiahkan sepucuk meriam(1528) yang dibubuhi tahun tersebut. Ia tidak berusaha untuk menaklukan Pakuan,tetapi memperluas kekuasaannya atas kota-kota pelabuhan yang semula termasuk Pajajran. Pada saat usianya lebuh dari 60 tahun Ftahillah pindah ke Cirebon dan mendirikan Masjid besar dengan gaya Masjid Demak dan memperluas tempat-tempat ibadah. Darisitulah Ftahilllah yang besar jasanya terhadap penyebaran islam di Jawabarat itu dikenal oleh orang-orang dengan sebutan Sunan Gunung Jati.

  1. Syarifuddin (Sunan Drajat)

Nama asli Sunan Drajat adlah Syarifuddin, sering juga disebut dengan nama Raden Qasim. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Condrowati. Raden Qasim yang sudah mewariskan ilmu dari ayahnya kemudian diperintah untuk berdakwah disebelah barat Gresik.Raden Qasim memulai perjalannya dengan naik perahu dari Gresik sesudah singgah di tempat Sunan Giri.Dalam perjalannya kearah bart itu, perahunya tiba-tiba dihantam ombak uyang besar sehingga menabrak karang dan hancur. Namu pada saat kecelakaan itu, secara kebetulan seekor ikan besar yaitu ikan talang datang untuk menolong Raden Qasim dan ia menaiki punggung ikan tersebut dan akhirnya Radqn Qasim dapat selamat hingga ketepi pantai. Ikan talang itu membawa Raden Qasim hingga ketepi pantai yag termasuk wilayah desa Jela. Sekarang desa itu termasuk wilayah Banjarwati, kecamatan Paciran. Ditempat itu Raden Qasim disambut masyarakat setempat dengan senang.Didesa Jelag itu, Raden Qasim mendirikan pesantren. Karena caranya menyiarkan agama islam yang unik, maka banyaklah orang yang datng berguru kepadanya. Setelah satu tahun menetap di desa Jelag, Raden Qasim mendapat ilham supaya menuju kearah selatan dan disana ia mendirikan surau untuk berdakwah. Tiga tahun kemudian secara mantap ia mendapat petunjuk agar membangun tempat berdakwah yang strategis yaitu ditempat ketinggian yang disebut Dalem Dhuwur.

Raden Qasim adalah pendukung aliran putih yang dipimpin oleh Sunan Giri. Artinya dalam berdakwah menyebarkan agama islam ia menganut jalan lurus dan benar sesuai ajaran Nabi yang tidak boleh dicampur baur dengan adat dan kepercayaan lama. Meski demikian ia juga mempergunakan kesenian rakyat sebagai alat dakwah.

Diantara ajaran Sunan Drajat yang terkenal adalah sebagi berikut:

Menehana teken marang wong wuto

Menehana mangan marang wong kang luwe

Menehana busana marang wong kang wudo

Menehana ngiup marang wong kang kudanan

Demikianlah ajaran Sunan Drajat yang sangat berguna sebagai pedoman manusia dalam menjalani hidup.

  1. Raden Umar Said (Suanan Muria)

Raden Umar Said merupakan salah seorang Dai deretan walisongo ia dikenal dengan Sunan Muria. Sebab daerah oprasi penyiaran islamnya berada disekitar gunung muria, yaitu sekitar 18 KM sebelah utara kota Kudus.Rden Umar Said adalah putra Sunan Kalijga dengan Dewi Saroh. Dalam kegiatan dakwahnya Sunan Muria termasuk kalangan wali-wali yang memutuskan untuk memindahkan pesantren Ampel Denta sepeninggal Sunan Ampel yaitu memindah pesantren Ampel Denta ke Demak dibawah pimpinan Rden Patah. Sunan Muria disebut sebut sebagai wali yang rajin berdakwah. Dakwahnya memasuki pelosok-pelosok pedesaan dan gunung-gunung. Dalam berdkwah,ia memakai sarana yang menarik dibuat tontonan dan tuntunan, seperti melalui gamelan,wayang, dan tembang. Dari kreasinya, Sunan Muria telah menciptakan tembang macapat yakni “sinom” dan “kinanthi”.Ynang pertama adalah sinom yang digunakan untuk melukiskan suasana ramah tamah dan nasehat. Yang kedua adalah kinanthi yangbernadakan gembira atau kasih sayang. Tetapi, ia juga dipakai untuk mengajarkan keagamaan,nasehat, dan filsafat hidup.

 

4.Masa pasca walisongo

1).Sultan Hadlirin

            Sultan Hadliriadalah gelar dari Kerajaan Demak kepada Sultan Kerajaan Kalinyamat yang bernama Toyib. Dia di beri gelar Sultan Hadlirin karena dia adalah pendatang yang hadir ke Jepara untuk menyebarkan Agama Islam. Sultan Hadliri mempunyai Istri yang berasal dari Kearajaan Demak yaitu Putri Sultan Trenggono yang bernama Retna Kencana yang mempunyai gelar Ratu Kalinyamat.Pangeran Kalinyamat berasal dari luar Jawa. Terdapat berbagai versi tentang asal-usulnya. Masyarakat Jepara menyebut nama aslinya adalah Win-tang, seorang saudagar Tiongkok yang mengalami kecelakaan di laut. Ia terdampar di pantai Jepara, dan kemudian berguru pada Sunan Kudus.

Versi lain mengatakan, Win-tang berasal dari Aceh. Nama aslinya adalah Pangeran Toyib, putera Sultan Mughayat Syah raja Aceh (1514-1528). Toyib berkelana ke Tiongkok dan menjadi anak angkat seorang menteri bernama Tjie Hwio Gwan. Nama Win-tang adalah ejaan Jawa untuk Tjie Bin Thang, yaitu nama baru Toyib.Win-tang dan ayah angkatnya kemudian pindah ke Jawa. Di sana Win-tang mendirikan desa Kalinyamat yang saat ini berada di wilayah Kecamatan Kalinyamatan, sehingga ia pun dikenal dengan nama Pangeran Kalinyamat. Ia berhasil menikahi Retna Kencana putri bupati Jepara, sehingga istrinya itu kemudian dijuluki Ratu Kalinyamat. Sejak itu, Pangeran Kalinyamat menjadi anggota keluarga Kerajaan Demak dan memperoleh gelar Pangeran Hadiri.

2).Al-Habib Ali bin Abu Bakar As-Seggaf                            

Selain dikenali orang sebagai seorang wali beliau juga salah seorang tokoh ulama yang kenamaan. Beliau sering memberitahukan apa yang tersembunyi dalam hati murid-murid beliau.

Salah seorang murid beliau yang bernama Soleh Bahramil berkata: “Pada suatu kali ketika aku sedang sibuk berzikir di tengah majlis beliau, tibatiba di hatiku tergerak sesuatu yang mengganggu zikirku. Beliau menoleh padaku sambil berkata: “Berzikir itu jauh lebih penting dari apa yang tergerak di hatimu”.

Seorang wanita yang bernama Nahyah binti Mubarak Barasyid pernah tergerak dalam hatinya: “Jika hajatku dikabulkan oleh Allah, ia akan membuatkan sehelai selimut dengan tangannya sendiri untuk Sayid Ali bin Abu Bakar As-Seggaf. Setelah Allah mengabulkan ia terlupa dengan niat dalam hatinya. Sayid Abu Bakar As-Seggaf mengutus salah seorang untuk mengingatkan niat yang tersimpan dalam hati wanita itu. Dengan malu wanita itu membuatkannya segera selimut yang akan dihadiahkan pada Sayid Ali.

Seorang murid beliau berkata: “Pernah aku keluar dari kota Tarim untuk menghantarkan seorang temanku yang hendak berpergian. Temanku itu menitipkan padaku seratus Uqiyah. Dalam perjalananku pulang ke Tarim, wang seratus Uqiyah itu terjatuh ke tengah jalan tanpa kuketahui. Aku datang menemui Sayid Ali, kuadukan kejadian itu. Jawab beliau: “Kembalilah kamu di jalanan yang telah kamu melalui sebelumnya”. Waktu aku keluar menyusuri jalanan yang kulalui, kudapatkan wang seratus Uqiyah itu berada di bawah sebuah tembok di pinggir jalanan.

Seorang muridnya pernah berkata: “Pernah sebiji mata anak perempuan saudaraku terkeluar. Aku datang kepada Sayid Ali As-Seggaf dengan membawa anak perempuan yang keluar matanya itu. Beliau pegang mata itu kemudian dikembalikan pada tempatnya semula. Dengan izin Allah mata yang keluar itu sembuh seperti semula. Aku minta pada beliau mendoakan untuk anak wanita itu agar dapat cepat kahwin. Dengan izin Allah wanita itu segera dipinang orang setelah hidup membujang dalam waktu yang lama”.

Salah seorang kawan beliau berkata: “Pernah aku kehilangan perhiasan yang dibuat dari emas. Aku datang menghadap Sayid Ali As-Seggaf minta doa agar perhiasanku yang hilang itu kutemukan kembali. Beliau berdoa. Waktu pagi hari anehnya kudapati perhiasan itu berada di bawah pohon kurma”.Sayid Ali bin Abu Bakar As-Seggaf wafat pada tahun 895 H. Jenazahnya dimakamkan di perkuburan Zanbal, Hadramaut.


BAB III

PENUTUP

 

KESIMPULAN

Aswaja masuk ke Indonesia dibawa melalui beberapa tokoh penyebaran agama islam di Nusantara. Diantaranya adalah peranan walisongo dalam menyiarkan dan mempelopori islam di kalangan masyarakat Jawa. Sejak islam yang ada di Jawa Timur, Jawa Tengah ataupun yang ada di Jawa Barat, jejaknya dapat ditelusuri melalui dakwah para walisongo. Para walisongo menulis didesa dan menghasilkan karya.Mereka hadir di desa-desa untuk membuka masyarakat pada wawasan keislaman dan kenusantaraan sekaligus.Kegiatan tulis-menulis adalah awal membangun peradaban tersebut.Selain untukmerawat tradisi yang sudah berkembang dikalangan masyarakat, juga untuk memelihara segenap potensi dan kekuatan peradaban bangsa ini. Perdaban ini dijaga dan dilestarikan melalui kegiatan kebudayaan dan kesastraan, dalam bentuk tulis menulis, yang kemudian melahirkan sejumlah karya dan khazanah keilmuan.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

http://www.scribd.com/doc/51987652/SEJARAH-PERKEMBANGAN-ASWAJA#scribd

blog.umy.ac.id/ghea/files/…/Alur-perjalananaswaja-dalam-geosospol.do…

 Ahmad Baso. Pesantren Studies 2a. Tangerang Selatan:Pustaka Afid.

Hamdani Mu’in, dkk.1999.Materi Dasar Nahdlatul Ulama(Aswaja).Semarang Jawa Tengah.

http://moslemwiki.com/Sultan_Hadlirin

Asyariyah.https://muhfathurrohman.wordpress.com/2012/11/05/pemikiran-al-maturidi-      dalam-ilmu-kalam/

 

HUJJAH AMALIYAH NAHDLIYAH II

BAB I

PENDAHULUAN

 

  • Latar Belakang

Hujjah atau Hujjat (bahasa Arab: الحجة) adalah istilah yang banyak digunakan di dalam Al-Qur’an dan literatur Islam yang bermakna tanda, bukti, dalil, alasan atau argumentasi. Sehingga kata kerja “berhujjah” diartikan sebagai “memberikan alasan-alasan”. Kadangkala kata hujjah disinonimkan dengan kata burhan[1], yaitu argumentasi yang valid, sehingga dihasilkan kesimpulan yang dapat diyakini dan dipertanggungjawabkan akan kebenarannya.

Amaliyah Nahdliyah adalah amal perbuatan lahir, baik yang berhubungan dengan Ibadah, Mu’amalah maupun Akhlaq; yang biasa dilakukan oleh kaum Nahdliyyin, bisa jadi secara formal warga Jam’iyyah Nahdlatul Ulama atau bukan.

Nahdlatul Ulama memperjuangkan berlakunya Ajaran Islam ala Ahlussunnah wal Jama’ah, oleh karena itu menurut NU, cara berfikir dan bentindak, cara bertheologi maupun beramal, yang benar didasarkan pada Ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama’ah. Menurut NU, Islam adalah ahlussunnah wal jama’ah, maka kaum nahdliyyin tidak mendasarkan perbuatannya kecuali pada ahlusunnah wal jama’ah.

Secara praktis, amaliyah ahlussunnah wal jama’ah NU di dasarkan pada cara bertheologi menurut madzhab theologi Al-Asy’ary dan Al-Maturidy, dalam bidang fiqh mengikuti salah satu madzhab empat, yaitu : Hanafy, Maliky, Syafi;y dan Hambaly; serta mengamalkan tasawuf sesuai dengan cara tasawuf Imam al-Junaid al-Baghdady dan Imam Al-Ghazaly.

 

  • Rumusan Masalah

Apa hujjah amaliyah nahdliyah tentang :

  1. Tradisi Yasinan
  2. Tradisi Maulid Nabi
  3. Tradisi Manaqiban dan Haul
  4. Tradisi Bulan Syura
  5. Tradisi Bulan Sya’ban, Ruwahan, dan Nyadran
  6. Tradisi Istighatsah dan Tawassul
  7. Khasiyat Ayat Al-Qur’an, Hizib, dan Do’a
  8. Shalat Sunnat Qabliyah Jum’at
  9. Ziarah Kubur
  10. Tradisi Bulan Shafar

 

  • Tujuan Penulisan

Adapun tujuan pembahasan yaitu ingin mengetahui lebih detil mengenail hujjah amaliyah nahdliyah tentang :

  1. Tradisi Yasinan
  2. Tradisi Maulid Nabi
  3. Tradisi Manaqiban dan Haul
  4. Tradisi Bulan Syura
  5. Tradisi Bulan Sya’ban, Ruwahan, dan Nyadran
  6. Tradisi Istighatsah dan Tawassul
  7. Khasiyat Ayat Al-Qur’an, Hizib, dan Do’a
  8. Shalat Sunnat Qabliyah Jum’at
  9. Ziarah Kubur
  10. Tradisi Bulan Shafar

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

  • Tradisi yasinan

Tradisi yasinan adalah membaca surat yasin secara bersama-sama. Baik membacanya secara sendiri-sendiri ditempat yang sama, atau membacanya dipimpin oleh seorang pemandu. Biasanya tradisi yasinan dilakukan setiap malam jumat. Ada juga yang melakukn setiap malam ahad, tergantung kesepakatan anggota kelompok yasinan masing-masing.

Bacaan yasin tersebut biasanya dihadiahkan kepada orang-orang yang sudah meninggal dunia. Ada pula yang membacanya disamping orang yang menghadapi detik-detik akhir dari kehidupannya di dunia. Dan adapula yang melakukannya dimakam para ulama, orang tua atau kerabat.

Ada banyak hadits shahih yang menerangkan keutamaan surat yasin, antara lain hadist-hadist yang disebutkan oleh al-Imam Ibn Katsir, salah satu murid terbaik Syaikh Ibn Taimiyah al-Harrani, dalam tafsirnya:

“Abu Hurairah berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa membaca surat yasin pada malam harinya, maka ia diampuni pada pagi harinya,” Sanad hadist ini jayyid (shahih). (HR. Al-Hafizh Abu Ya’la).

Demikian hadist yang disebut oleh al-Imam Ibn Katsir dalam tafsirnya. Setelah menyitir hadist shahih tersebut, al-Hafizh Ibn Katsir kemudian berkata begini:

“Karena ini sebagian ulama berkata, di antara khasiat surat yasin ini adalah, bahwa apabila surat yasin dibaca ketika menghadapi persoalan yang sulit, maka Allah akan memudahkannya. Membaca surat Yasin disamping orang yang akan meninggal seakan-akan bertujuan turunnya rahmat dan berkah serta memudahkan keluarnya ruh orang tersebut. Wallahu a’lam. Imam Ahmad bn Hanbal berkata, “Abu al-Mughirah mengabarkan kepada kami, Shafwan mengabarkan kepada kami, ia (Shafwan) berkata, “Para guru selalu berkata, “apabila surat Yasin dibaca disamping orang yang meninggal, maka akan meringankan bebannya.” (Al-Hafizh Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, juz 11, hal. 342-343).

Berkaitan degan keutamaan surat Yasin ketika dibaca disamping makam kaum muslimin, Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah, murid terdekat Syaikh Ibn Taimiyah, juga berkata:

“Dari al-Husain bin al-Haitsam berkata, “Aku mendengar Abu Bakar bin al-Athrusy berkata, “Ada seorang laki-laki yang rutin mendatangi makam ibunya dan membaca surat Yasin. Pada suatu hari ia membaca surat Yasin dimakam ibunya, kemudian berkata, “Ya Allah, apabila Engkau berikan pahala bagi surat ini, maka jadikanlah pahalanya bagi semua penghuni kuburan ini. “Pada hari Jumat berikutnya, seorang wanita datang dan berkata pada laki-laki itu, “kamu fulan bin fulanah?” Ia menjawab, “Ya.” Wanita itu berkata, “aku punya anak perempuan yang telah meninggal. Lalu aku bermimpi melihatnya duduk-duduk di pinggir makamnya. Aku bertanya “kamu kok bisa duduk-duduk disini?” Putriku menjawab, “Sesungguhnya fulan bin fulanah datang ke makam ibnya. Ia membaca surat Yasin dan pahalanya dihadiahkan kepada semua penghuni makan ini. Kami dapat bagian rahmatnya. Atau kami diampuni dan semacamnya.” (Ibn Qayyim al-Jauziyyah, al-Ruh, hal 18)

 

  • Tradisi Maulid Nabi

Setiap bulan rabiul awal tiba, mayoritas kaum muslimin di berbagai belahan dunia mengadakan upacara perayaan maulid Nabi SAW. Dalam acara tersebut biasanya dibacakan sirah dan biografi kehidupan Nabi SAW, mulai kelahiran hingga wafatnya. Tidak jarang acara maulid diadakan dengan mendatangkan pembicara dari luar. Setelah acara maulid dilakukan dengan penuh khidmat, maka dilanjutkan dengan suguhan makanan yang dihidangkan kepada para peserta. Tradisi maulid ini sangat baik untuk dilestarikan, karena dapat menjadi sarana dakwah dalam menyampaikan sirah dan biografi Nabi SAW kepada umatnya. Pengetahuan sirah dan biografi Nabi SAW, akan menambah cinta kepada Nabi SAW serta memperkuat keimanan kita kepada Nabi SAW. Syaikh Ibn Taimiyah al-Harrani menanggapi tradisi maulid ini dengan sangat positif. Dalam hal ini beliau berkata dalam kitabnya, Iqtidha’ al-Shirath al-Mustaqi:

“Jadi, mengagungkan Maulid dan menjadikannya sebagai tradisi tidak jarang dilakukan oleh sebagian orang, dan ia memperoleh pahala yang sangat besar karna tujuannya yang baik serta sikapnya yang mengagungkan Rasulullah SAW sebagaiman telah aku jelaskan sebelumnya.” (Syaikh Ibn Taimiyah, Iqtidha’ al_shirath al-Mustaqim, hal 297).

Dewasa ini, dalam rangka memantapkan keyakinan kaum wahabi terhadap kebenaran dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab al-Najdi, pendiri aliran wahabi, kaum Wahabi di Saudi Arabia mengadakan acara semacam maulid atau manaqiban, yang mereka sebut dengan Usbu’ al-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab (Pekan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab). Selama satu pekan, para ulama wahabi bergantian menguraikan keutamaan dan biofgrafi Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam bentuk makalah. Kemudian makalah tersebut mereka himpun dan mereka terbitkan. Hal tersebut persis dengan tradisi maulid, haul manaqiban dikalangan kaum Sunni.

 

  • Tradisi Manqiban dan Haul

Manaqiban dan haul adalah upacara pembaca biografi dan keutamaan para wali Allah SWT yang menjadi panutan umat. Dalam acara terserbut juga delingi dengan pembacaan al-Fatihah, ayat ayat al-Qur’an dan aneka dzikir lainnya, lalu pahalanya dihadiahkan kepada wali yang bersangkutan. Di sebagian daerah dipulau jawa banyak yang mengadakan manaqiban Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, pendiri tereqat Qadiriyah, di daerah Kalimantan Selatan, banyak pula yang merayakan manqib Syaikh Muhammad bin Abdul Karim al-Samman al-Madani al-Syafi’i, pendiri tereqat al-Sammaniyah. Tradisi manaqiban ini sangat baik untuk dilakukan, agar kita dapat menghayati dan meneladani perjalanan kehidupan mereka yang sangat produktif dalam beribadah, berdakwah dan berbakti kepada agama.

Disisi lain, para ulama’ juga menjelaskan, bahwa dalam mengenang orang-orang salih, dapat menurunkan rahmat Allah swt. Dalam konteks tersebut al-iman al-mujtahid sufyan bin uyainah, salah seorang ulama salaf dan guru al-imam ahmad bin hanbal, berkata;

“muhammad bin hasan berkata,” aku mendengar sufyan bin uyainah berkata, “ketika orang-orang salih dikenang, maka rahmat Allah akan turun” (Al-Imam al-Hafizh Abu Nu’aim, Hilyah al-Auliya’, juz 7 hal 285).

Bahkan ketika tegas lagi, syaikh bin taimiyah mengakui bahwa tradidu kaum beriman, pasti merasa senang dan nyaman apabila mengenang dan menyebut para nabi dan orang-orang salih. Dalam konteks ini syaikh ibn taimiyah berkata dalam khitbahnya, al shafadiyah, sebagai berikut:

kesempurnaan diri tidak akan tercapai tanpa pengetahuan, kemampuan dan kemauan yang sumbernya adalah cinta. Ketika seseorang merasa nikmat dengan pengetahuan, maka sudah barang tentu disana ada rasa cinta terhadap apa yang dinikmatinya. Adakalanya apa yang ia ketahui, ia cinta, serta merasa nikmat dengan mengetahui dan menyebutnya. Sebagaimana orang-orang yang beriman merasa nikmat dengan ma’rifat kepada Allah dan berdzikir kepada-Nya. Bahkan orang-orang yang beriman merasa nikmat dengan mennyebut (mengenang) para nabi dan orang-orang salih. Oleh karena itu ada pameo, “ketika orang-orang salih dikenang, maka rahmat Allah akan turun”, dengan bangkitnya jiwa dan hati seseorang untuk mencintai kebaikan dan merasa senang dan nyaman melakukannya.” (syaikh ibn taimiyah,kitab al-shafadiyah, juz 2, hal 269).

 

  • Tradisi Bulan Syuro

Pada sepuluh hari pertama bulan muharram, kaum muslimin di berbagai belahan dunia banyak menunaikan ibadah puasa sunat. Terutama tanggal 9 dan 10. Di tanah air, sebagian besar kaum muslimin mengadakan aneka ragam tradisi berkaitan dengan hari Asyura’ (tanggal 10 bulan muharram) atau yang dikenal dengan nama bulan syuro (bulan sorah). Al-imam hafizh ibn al-jauzi al-hanbali menjelaskan 15 macam kebaikan yang dianjurkan dilakukan pada hari asyura.

  • Bersedekah kepada fakir miskin
  • Mengusap kepala anak yatim
  • Memberi buka orangyang berpuasa
  • Menyiramkan air
  • Mengunjungi saudara seagama
  • Mandi
  • Menjenguk orang sakit
  • Memuliakan dan berbakti kepada kedua orang tua
  • Menahan amarah dan emosi
  • Memaafkan orang yang melakukan aniyaya pada bulan asyura
  • Memperbanyak ibadah shalat, do’a, istigfar.
  • Memperbanyak dzikir kepada Allah
  • Menyingkirkan apa sja yang mengganggu orang dijalan
  • Berjabatan tangan dengan orang yang dijumpainya dimana saja
  • Memperbanyak membaca surah al-ikhlas sampai seribu kali

 

Demikian 15 anjuran pda bulan asyura yang disebutkan oleh al-imam al-hafizh ibn al-jauzi al-hambali dalam kitabnya, al-majalis hal 73-74. Dalam rangka menerapkan anjuran para ulama tentamg hari asyura, umat islam Nusantara merayakan upacara asyura dengan tradisi membuat bubur syurp (tajin sorah) yang disuguhkan kepada keluarga dan tetangga. Berkaitan dengan tradisi membuat makanan bubur syuro pada hari asyuro ini, ada dalam hadits shahih yang mendasarinya.

“Abu sa’id al-khudri berkata, “Rosulullah saw bersabda “barang siapa yang menjadikan kaya keluarganya (dalam hal belanja dan makanan) pada hari asyura, maka Allah akan menjadikan kaya selama satu tahun tersebut.” Hadits shahih. (HR. Al-thabarani dan al-baihaqi).

Berkaitan dengan hadits tersebut, al-imam al-hafizh ahmad al-ghumari menulis kitab khusus tentang keshahihannya berjudul, hidayah al-shaghra bi tashhih hadits al-tausi’ah ah ‘ala al-iyal yaumab ‘asyura’. Bahkan al-imam al-hafiz ibn rajab al-hanbali, mrid syaikh ibn qayyim al-jauziyah , berkata dalam kitabnya lathaif al-ma’arif sebagai berikut:        “Ibn Manshur berkata, “Aku berkata kepada Imam Ahmad, “Apakah Anda mendengar hadist, “Barangsiapa yang menjadikan kaya keluarganya pada hari asyura, maka Allah akan menjadikannya kaya selama setahun?” Ahmad menjawab, “Ya, Hadist tersebut diriwayatkan oleh Sufyan bin Uyainahdari Ja’far al-Ahmar, dari Ibrahim bin Muhammad, dari al-Muntasyir – orang terbaik pada masanya-, bahwa ia menerima hadist, “barangsiapa yang menjadikan kaya keluargannya pada hari Asyura, maka Allah akan menjadikannya kaya selama satu tahun penuh.” Sufyan bin Uyainah berkata, “ Aku telah melakukannya sejak 50 atau 60 tahun, dan selalu terbukti baik.” (al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali, Lathaif al-Ma’arif, hal. 137-138).

 

  • Tradisi Bulan Sya’ban, Ruwahan dan Nyadran

Bulan Sya’ban adalah bulan istimewa. Pada bulan Sya’ban semua amal manusia dilaporkan kepada Allah SWT. Nabi SAW sendiri memperbanyak puasa pada bulan Sya’ban, melebihi puasa beliau pada bulan-bulan yang lain. Berkaitan dengan keutamaan bulan Sya’ban ini, al-Imam Ibn Rajab al-Hanbali, murid terkemuka Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah, berkata dalam kitab Latahif al-Ma’arif sebagai berikut:

“Al-Imam Ahmad dan al-Nasa’i meriwayatkan dari hadist Usamah bin Zaid, yang berkata: “Rasulullah SAW terkadang berpuasa selama beberapa hari berturut-turut sehingga kami berkata, beliau tidak sarapan pagi. Beliau juga sarapan pagi selama beberapa hari sehingga hampir saja beliau tidak berpuasa kecuali dua hari dari Jum’at, apabila dua hari itu menjadi bagian dari puasanya. Kalau tidak, beliau berpuasa pada dua hari itu. Nabi SAW tidak berpuasa pada bulam-bulan yang ada seperti puasa beliau pada bulan Sya’ban. Akau berkata kepada Nabi SAW, “Wahai Rasulullah SAW, aku tidak pernah melihatmu berpuasa pada bulan-bulan sebelumnya seperti puasa Anda pada bulan Sya’ban?” Nabi SAW menjawab , “Bulan Sya’ban itu, Bulan yang dilupakan manusia antara bulan Rajab dan Ramadhan. Bulan Sya’ban itu, bulan dimana amal manusia diangkat kepada Allah SWT Tuhan semesta alam. Aku ingin, amalku diangkat ketika aku sedang berpuasa,” (Al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali, Lathaif al-Ma’arif, hal. 236).

            Dalam menghadapi bulan istimewa, dimana amal manusia dilaporkan kepada Allah SWT, umat Islam ditanah air melakukan tradisi ruwahan (memperbanyak sedekah), sehingga bulan ini disebut dengan bulan ruwah (Bulan Rabble). Para ulama juga menganjurkan agar kita memperbanyak sedekah pada momen-momen yang dianggap penting yang sedang dihadapi. Dalam hal ini al-Imam al-Hafizh al-Nawawi berkata:

“Para ulama kami berkata, “Disunahkan memperbanyak sedekah ketika menghadapi urusan-urusan yang penting.” (al-Imam al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz 6, hal. 233).

            Bahkan, berkaitan dengan anjuran peningkatan amal kebaikan pada bulan Sya’ban, al-Imam al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali berkata:

“Oleh karna Sya’ban itu merupakan pengantar lagi bulan Ramadhan, maka pada bulan Sya’ban di anjurkan hal-hal yang dianjurkan pada bulan ramadhan seperti berpuasa dan membaca al-Qur’an, sebagai persiapan menghadapi Ramadhan dan jiwa menjadi terlatih untuk taat kepada Allah. Kami telah meriwayatkan dengat sanad yang lemah dari Anas, yang berkata, “Ketika blan Sya’ban tiba, kaum Muslimin biasanya menekuni Mushhaf dengan membaca al-Qur’an. Mereka juga mengeluarkan zakat harta benda mereka agar membantu orang yang lemah dan miskin dalam menjalani puasa Ramadhan.” (Ibn Rajab al-Hanbali, Lathaif al-Ma’arif, hal. 258)

Pada bulan Sya’ban, dikalangan masyarakat kita ada pula tradisi ziarah kubur, yang sebagian daerah dikenal dengan tradisi nyadran. Rasulullah SAW juga berziarah ke makam para sahabat di Baqi’ pada malam Nifsu Sya’ban. Al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali, murid terbaik Syaikh Ibn Qayyim al-Jauhiyah, berkata dalam kitab Lathaif al-Ma’arif, berikut ini:

“Mengenai keutamaan malam nifsu Sya’ban, ada sejumlah hadist-hadist lain yang diperselisihkan oleh para ulama. Mayoritas ulama menilainya dha’if. Sebagian hadist-hadist iti dishahihkan oleh Ibn Hibban dan diriwayatkan dalam Shahih-nya. Hadist terbaik diantara hadist-hadist tersebut adalah, hadist ‘Aisyah yang berkata, “Aku kehilangan Nabi SAW lalu aku keluar mencarinya, ternyata beliau ada dimakam Baqi’, sedang mengangkat kepalanya ke langit. Beliau berkata, “Apakah kamu khawatir Allah dan Rasul-Nya berbuat sewenang-wenang kepadamu?” Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, aku mengira englau mendatangi sebagai istri-istrimu.” Lalu Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah SWT turun pada malam nifsu Sya’ban ke langit dunia, lalu mengampuni orang-orang yang jumlahnya melebihi bulu-bulu kambing suku Kalb.” Hadist ini diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad, al-Tarmidzi dan Ibn Majah.” (Al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali, Lathaif al-Ma’arif, hal. 261).

Tradisi lain juga berlangsung di tengah-tengah masyarakat pada malam nifsu Sya’ban adalah shalat sunnat secara berjamaah dan dilanjutkan dengan doa bersama. Tradisi ini berkembang sejak generasi salaf, kalangan tabi’in. Dalam hal ini, al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali berkata:

“Al-Syafi’i ra berkata, “Kami mendapat informasi bahwa doa dikabulkan pada lima malam, yaitu malam jum’at, malam hari raya, malam 1 rajab dan malam nifsu Sya’ban.” Al-Syafi’i berkata, “Aku menganjurkan semua yang diceritakan pada kelima malam ini.” Sementara tidak ditemukan pertanyaan dari Imam Ahmad mengenai malam nifsu Sya’ban. Tetapi kesunatan ibadah(shalat dan semacamnya) pada malam itu dapat di analogikan terhadap dua riwayat dari Imam Ahmad mengenai ibadah pada malam hari raya. Dalam satu riwayat, Ahmad tidak menganjurkan ibadah (shalat) berjamaah pada malam hari rayakarena tidak pernah dikutip oleh Nabi SAW dan para sahabat.dalam riwayat lain, Ahmad menganjurkan shalat sunnat berjamaah pada malam hari raya karena Abdurrahman bin Yazid bi al-Aswad – Ulama generasi tabi’in telah melakukannya. Demikian pula, shalat sunnat berjamaah pada malam nishfsu Sya’ban, tidak ada riwayat dari Nabi SAW dan para sahabat. Tetapi ada riwayat dari sekelompok Tabi’in dari tokoh-tokoh fuqaha penduduk Syam yang melakukan shalat sunnat secara berjamaah.” (Ibn Rajab, Lathaif al-Ma’arif, hal. 264).

 

  • Istighatsah Dan Tawassul

            Istighatsah dan tawassul memiliki arti yang sama. Yaitu, memohon datangnya manfaat atau terhindarnya bahaya kepada Allah SWT, dengan menyebut nama seorang nabi atau wali karena memuliakan (ikram) terhadap keduanya.

Al-Syaikh Jamil Afandi Shidqi al-Zahawi menjelaskan bahwa yang dimaksud Istighatsah dan tawassul dengan para nabi dan orang-orang yang saleh ialah menjadikan mereka sebagai sebab dan perantara dalam memohon kepada Allah SWT untuk mencapai tujuan. Pada hakikatnya Allah SWT adalah pelaku sebenarnya (yang mengabulkan do’a ).

Ada banyak dalil yang menjelaskan keutamaan tawassul. Diantaranya adalah firman Allah SWT :

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah SWT Dan carilah sebuah perantara untuk sampai kepada Allah SWT Berjanjilah kamu dijalan-Nya mudah-mudahan kamu meendapat keuntungan”. ( QS. Al-Ma’idah:35 ).

Dalam ayat yang lain, Allah SWT berfirman:

Jika mereka berbuat aniaya pada dirinya (berbuat dosa), lalu mereka dating kepadamu (hai Muhammad) dan memiinta ampunan kepada Allah SWT kemudian Rasul memohonkan ampunan untuk mereka, tentulah Allah SWT yang Maha Menerima taubat dan Yang Maha Penyayang akan menerima taubat mereka.” (QS. Al-Nisa’: 64).

Sahabat Umar ketika melakukan shalat istiqa’ juga melakukan tawassul.

Dari Anas bin Malik beliau berkata, “Apabila terjadi kemarau sahabat Ummar bin al-Khaththab bertawassul dengan Abbas bin Abdul Muththalib, kemudian berdo’a “ Ya Allah, kami pernah berdo’a dan bertawassul kepada-Mu dengan nabi SAW maka engkau turunkan hujan. Dan sekarang kami bertawassul dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan”. Anas berkata, “ Maka turunlah hujan kepada kami.” (HR. al-Bukhari [954]).

Menikapi tawassul Sayyidina Umar tersebut, Sayyidina Abbas kemudian berdo’a:

Ya Allah, sesungguhnya malapetaka itu tidak akan turun kecuali karena dosa tidak akan sirna melainkan dengan taubat. Kini kaum muslimin bertawassul kepadaku untuk memohon kepada-Mu karena kedudukanku di sisi Nabi-Mu. …..diriwayatkn oleh al-Zubair bin Bakkar. “ (al-Tahdzir minal-Ightirar, hal. 125). Pada hakekatnya tawassul yang dilakukan sayyidina Umar dengan Sayyidina Abbas merupakan tawassul dengan Nabi SAW (yang pada waktu itu telah wafat), disebabkan posisi abbas sebagai paman Nabi SAW dan karena kedududkannya di sisi Nabi SAW. (Al-tahdzir min al-Ightirar, hal. 125).

Memang dihadapan Allah SWT , semua manusia mempunyai kedudukan yang sama, semasa hidup atau stelah meninggal dunia. Al-Qur’an menegskan bahwa orang yanag saleh atau para syuhada itu tetap hidup di sisis Tuhan walaupun jasad mereka telah terkubur di dalama tanah. Sebagaiman firman Allah SWT:

Dan janganlah kamu menyangka orang-orang yang gugur di jalan Allah SWT itu mati. Bahkan mereka hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rizki. “ (QS. Ali Imran:169).

Dalam ayat lain, Allah SWT berfirman:

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalanAllah, (bahwa mereka itu) mati, bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya, “ (QS. Al-Baqarah: 154).

Syaikh Yusuf bin isma’il al-Nabhani menyatakan “Dalam hal beratawassul itu, tidak ada perbedaan antara tawassul kepada Nabi Muhammad SAW atau para nabi yang lainnya, juga kepada para wali Allah serta orang-orang saleh. Dan tidak ada perbedaan pula antara bertawassul kepda orang yang hidup ataupunorang yang telah meninggal dunia. Sebab pada hakekatnya mereka tidk dapat mewujudkan serta tidak dapat memmberi pengaruh apapun. Mereka di harapkan barokahnya karena mereka adalah para kekasih Allah SWT yan menciptakan dan yang mewujudkan (Apa yang diminta orang yang bertawassul) hanyalah Allah SWT semata.

Menurut hemat kami orang-orang yang memperbolehkan tawassul kepada orang mati tersebut, sebenarnya telah terjebkak pada kesyirikan , sebab mereka meyakini bahwa orang yang hidup dapat memberikan sesuatu (pengaruh) kepada seseorang, dan orang yang mati tidak dapat memberikan manfaat apapun. Jadi pada hakekatnya mereka adaah orang-orng yang meyakini bahwa ada mahluk selain Allah SWT yang dapat memberi pengaruh dan mewujudkan sesuatu. Maka bagaiman mungkin mereka mengklaim dirinya ebagai orang-orng yang menjaga tauhid (akidah), dan menuduh kelompok lain berbuat kesyirikan?

Memang kalau direnungkan dengan seksam, manusi itu hanya berusaha, yang menentukan segalanya adalah Allah SWT. Dalam seehari-hari kita sering mendengar kata-kata bertobatlah agar sembuh, berolaragalah agar sehat, belajarlah agar pandai. Namun pada hakekatnya yang menyembuhkan, yang meyehatkan , yang menjadikan pandai, hanyalah Allah SWT semata.

Maka begitu pula dalam hal tawasul ini. Pada hakekatnya bertawassul itu menjadikan sesuatu sebagai perantara agar doa yang dipanjatkan dapat segera diterima. Orang yang bertawassul tidak bermaksud untuk memohon atau menyembah kepada orang atau suatu benda. Karena itu mereka bukanlah termasuk orang yang mendapat peringatan Allah SWT dalam al-Qur’an:

Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya. “ (QS. Al-Zumar: 23).

Setelah memperhatikan ayat tersebut dengan cermat, Syaikh Abdul Hayyi al-Amrawi dan Syaikh Abdul Karim Murad menyatakan “ Perkataan para penyembah berhala “Kami menyembah mereka (berhala-berhala itu) supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan seedekat-dekatnya. Ayat ini menegaskan bahwa mereka menyembah berhala untuk tujuan tersebut. Sedangkan orang yang bertawassul dengan orang alim atau para rasul itu tidak menyembah mereka.

Maka jelas bedanya antara orang yang menyembah berhala yang memang benar-benar menyembah berhala, yakni dalam ungkapan mereka. Sementara orang yang bertawassul hanya meminta dan menyembah Allah SWT semata. Tidak terbesit di dalam hatinya seujung rambutpun keyakinan adaya kekuatan dan kekuasaan lain di luar kekuatan dan kekuasaan Allah SWT.

Selain itu, untuk makin memantapkan keyakinan, perlu memaparkan di sini pendapat kelompok yang sering membid’ahkan amaliah tawassul dan istighatsah. Dalam hal ini, Syaikh Ibn Taimiyah al Hararani (wahabi), berkata dalam al-Kalim al-Thayyib:

Bab tentang kaki terkena mati rasa. Dari al-Haitsam bin Hanasyy, berkata, “Kami bersama Ibn Umar. Tiba-tiba kaki beliau terkena mati rasa, maka salah seorang yang hadir mengatakan kepada beliau: “Sebutkan orang yang palin engkau cintai!” Lalu Ibn Umar berkata: “Ya Muhammad .” Maka seketika itu kaki beliau sembuh.” (Ibn Timiyah, al-Kalim al-Thayyib, hal.173).

Syaikh Ibn Taimiyah juga mennganggap tawassul dan istighatsah dengan orang saleh yang sudah wafat bukan sebagai kemungkaran dan kesalahan, apalagi sebagai kesyirikan.

 

  • Khasiat Ayat Al-Qur’an, Hizib dan Do’a

Mengamalkan do’a-do’a, hizib dan memakai azimat pada dasarnya tidak lepas dari ikhtiar seorang hamba, yang dilakukan dalam bentuk do’a kepada Allah SWT melalui amalan itu. Jadi sebenarnya, membaca  hizib dan   memakai azimat tidak lebih sebagai salah satu bentuk do’a kepada Allah SWT.Dan Allah SWT sangat menganjurkan seorang hamba untuk berdo’a kepada-Nya. Allah SWT berfirman:

Berdo’alahkamu, niscayaakuakanmengabulkannyauntukmu.” (QS. Al-Mu’min:60)

Ada beberapa dalil dari hadist Nabi SAW yang menjelaskan kebolehan ini. Di antaranya adalah:

Dari Awf bin Malik al-Asyja’I, ia meriwayatkan bahwa kepada zaman jahiliyah, kita selalu membuat ruqyah (seperti azimat dan semacamnya). Lalu kami bertanya kepada Rasulullah SAW bagaimana pendapat Engkau (ya Rasul) tentang hal itu.Rasul menjawab, “Coba tunjukkan ruqyahmu itu kepadaku. Membuat ruqyah tidak apa-apa selama didalamnya tidak terkandung kesyirikan.”(HR.Muslim [4079]).

Dari Abdullah bin Amr, bahwa Rasulullah SAW pernahbersabda, “Apabila salah satu diantara kamu bangun tidur, maka bacalah (bacaan yang artinya) “Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah SWT yang sempurna dari kemurkaan dan siksaannya, dari perbuatan jelek yang dilakukan hambanya, dari godaan setan serta dari kedatangannya padaku”. Maka setan itu tidak akan dapat membahayakan orang tersebut. Abdullah Bin Umar mengajarkan bacaan tersebut kepada anak-anaknya yang bhalig.Sedangkan yang belum bhalig, ia menulisnya pada secarik kertas, kemudian digantungkan dilehernya.” (Al-Kalim Al-Thayyib, hal.33).

Mengenaikhasiatayat-ayat Al-Qur’an danhizib yang disusunoleh para wali Allah SWT, Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyahberkata:

“Dan telah diyakini bahwa sebagian perkataan manusia memiliki sekian banyak khasiat dan aneka kemanfaatan yang dapat dibuktikan.Apalagi ayat-ayat Al-Qur’an selaku firman Allah, Tuhan semesta alam, yang keutamaannya atas semua perkataan sama dengan keutamaan Allah atas semua makhluk-Nya. Tentu saja ayat-ayat Al-Qur’an dapat berfungsi sebagai penyembah yang sempurna, pelindung yang bermanfaat dari segala marabahaya, cahaya yang memberi hidayah danrahmat yang merata. Dan seandainya Al-Qur’an itu diturunkan kepada gunung, tentu ia akan pecah karena keagungannya. Allah telah befirman: “Dan kami turunkan dari Al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beiman.” (QS.Al-Isra’:82). Kata-kata “dari Al-Qur’an”, dalam ayat ini untuk menjelaskan jenis, bukan bermakna sebagian menurut pendapat yang paling benar.”(Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah, Zad al-Ma’ad fi HadyKhair al-‘Ibad, juz 4, hal.177).

 

  • Shalat Sunnat Qabliyah Jum’at

Sebelum khutbah dikumandangkan oleh khatib dalam itu alshalat Jum’at, kaum muslimin ditanah air biasanya melakukan shalat sunnat qabliyah Jum’at.Sebagian besarmasyarakatmelakukannya dua raka’at.Tetapi banyak pula yang melakukannya 4 raka’at seperti di daerah Kalimantan Selatan.Hal tersebut dilakukan sesuai dengan pendapat yang ditegaskan oleh al-Imam al-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab.

Berkaitan dengan shalat qabliyah Jum’at ini, Syaikh Muhammad bin Ali al-Syaukani, ulama Syaikh Zaidiyah yang menjadi rujukan utama kaum Wahabi di tanah air sejak zaman dulu, telah memberikan dalil-dalilnya dalam kitab Nail al-Authar, berikut ini:

Bab shalat sunnat sebelum Jum’at selama imam belum keluar.Habis nyawaktu shalat sunnat adalah dengan keluarnya imam, kecuali shalat tahiyatal-masjid. Dari Nubaisyah al-Hudzalir.a, Nabi Muhammad SAW bersabda: “Apabila seorang muslim mandi pada hari Jum’at, lalu berangkat ke masjid tanpa mengganggu atau menyakiti orang lain. Apabila ia mendapati imam telah keluar, maka ia shalat sunnat sesuai yang telah ditetapkan. Apabila imam telah keluar, maka ia duduk mendengarkan khutbahnya sampai imam menyelesaikan jum’at dan khutbhahnya. Maka apabila semua dosa orang tersebut tidak diampuni pada Jum’at itu, maka Jum’atnya menjadi penebus dosanya sampai Jum’at beikutnya.”(HR.Ahmad).

Dari Abdullah bin Mughaffalr.a, dari Nabi Muhammad SAW bersabda: “Antara adzan dan iqamat pasti ada shalat sunnat,(3 kali), bagi orang yang hendak melakukannya.” (HR.al-Bukhari dan Muslim).

Dari Abdullah bin al-Zubairr.a berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Setiap ada shalat fardhu, maka sebelumnya ada shalat sunnat dua raka’at.” (HR. Ibn HibbandalamShahih-nya, al-Daraquthnidan al-Thabarani).

“Dari Ibn Umar r.a bahwa ia melakukan shalat sebelum Jum’at lam sekali dan melakukan shalat sesudahnya dua raka’at. Ia mengabarkan bahwa Rasulullah SAW melakukannya.”Hadist shahih.(HR. Abu Dawud).

 

  • Ziarah Kubur

Apabila kita berkunjung ke makam para wali, misalnya Wali songo, kita temukan kaum muslimin berbondong-bondong dating melakukan wisata religi dengan tujuan mencari berkah. Di samping makam para kekasih allah itu, kita saksikan kaum muslimin membaca al-Qur’an, tahlilan dan aneka dzikir lainnya dengan khusyu’ dan penuh khidmat. Kemudian diiringi dengan tawassul dan tabarruk, dengan harapan semua hajat mereka di kabulkan oleh allah swt.

Ziarah makam para wali merupakan tradisi kaum muslimin sejak generasi salaf yang shalih. Al-Imam al-Hafizh Ibn Hibban, pengarang kitab shahih Ibn Hibban, menulis dalam al-Tsiqat yang artinya:

Ali bin Musa al-Ridha meninggal di Thus oleh racun yang diminumkan oleh khalifah al-Makmun. Makamnya sangat populer, selalu diziarahi orang, terletak di Sanabadz, di luar Nuqan, di sebelah makam al-Rasyid. Aku berulang kali ziarah kesana. Setiap aku mengalami kesulitan, selama tinggal di Thus, lalu aku berziarah ke makam Ali bin Musa al-Ridha, dan aku berdo’a kepada allah agar menghilangkan kesulitan itu dariku, aku pasti dikabulkan. Hal itu berulang kali aku lakukan, dan selalu terbukti.” (Al-Imam al-Hafizh al-Hujjah Ibn Hibban al-Busti, Kitab al-Tsiqat, juz 8, hal. 457).

Al-Imam al-Hafizh Ibn Khuzaimah, penulis kitab shahih Ibn Khuzaimah,yang menyandang gelar imam al-aimmah (pemimpin para imam), juga dikenal sebagai ulama’ yang ahli ziarah kubur. Al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani berkata:

Al-Hakim pengarang al-Mustadrak berkata dalam Tarikh Naisabur, “Aku mendengar Abu Bakar Muhammad bin al-Muammal bin al-Hasan bin Isa berkata, “Kami keluar bersama pemimpin ahli hadist al-Imam Abu Bakar bin Khuzaimah dan rekannya Abu Ali al-Tsaqafi bersama beberapa orang guru kami, pada waktu itu rombongan yang menyertai banyak sekali, dengan tujuan ziara kemakam Ali bin Ibn Khuzaimah terhadap makam itu, serta ke khusyu’annya didepan makam itu sangat luar biasa, membuat kami merasa heran.” (Al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar, Tahdzib al-Tahdzib, juz 7, hal. 339).

Al-Imam al-Hakim al-Naisaburi, juga bercerita perihal kisah gurunya, al-Imam al-hafizh Abu Ali al-Naisaburi yang berziarah ke makam al-imam yahya bin yahya al-Naisaburi, ketika menghadapi kesulitan, sebagai berikut yang artinya :

Al-Imam al-Hakim berkata, “ Aku mendengar al-Imam abu Ali al-Naisaburi berkata, “ Aku mengalami kesusahan yanga berat, lalu aku bermimpi rasulullah seakan-akan berkata kepadaku, “ Datanglah ke makam Yahya bin yahya (seorang ulama’ ahli hadist), mohonlah ampunan kepada allah dan berdo’alah, hajatmu pasti terkabul.” Pagi harinya aku melakukan hal tersebut, dan hajatku pun terkabul.” (Al-Hafizh Ibn Hajar, Tahdzib al-Tahdzib, juz 11, hal. 261).

Tradisi ziarah wali, yang dewasa ini populer dengan wisata religi, dengan membaca al-Qur’an dan aneka ragam dzikir lainnya di samping para wali, lalu erdo’a dan bertawassul dengan para wali, merupakan tradisi umat islam yang berlangsung sejak generasi sahabat dan diamalkan oleh para ulama’ ahli hadits. Berkaitan engan tawassul dengan rang yang sudah meninggal dunia, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi, pendiri aliran Wahabi, menyampaikan sebuah riwayat dalam Ahkam Tamanni al-Maut berikut ini yang artinya:

Sa’ad al-zanjani meriwayatkan hadist dari Abu Hurairah secara marfu’ : “ Barangsiapa mendatangi makam lalu membaca al-Fatihah, Qul huwallahu ahad dan alhakumuttakatsur, kemudian mengatakan, “ Ya Allah, aku hadiahkan pahala bacaan al-Qur’an ini bagi kaum beriman laki-laki dan perempuan di makam ini,” maka mereka akan menjadi penolongnya kepada allah.” (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab al- Najdi, Ahkam Tamanni al-Maut, hal. 75).

 

  • Tradisi Bulan Shafar

Pada bulan shafar, banyak sekali kaum muslimin di tanah air yang melakukan tradisi bersedekah dengan membuat bubur shafar (tajin shafar). Bubur tersebut dibuat secara khas dan dibagi-bagikan kepada keluarga dan tetangga sekitar dengan tujuan menolak malapetaka. Hal tersebut dialakukan karena ada sebuah hadits shahih yang artinya :

Dari abu Hurairah r.a., rasulullah saw. Bersabda : “ Tidak ada kepercayaan datangnya sial dari bulan shafar. Tidak ada kepercayaan bahwa orang mati, rohnya menjadi burung yang terbang.” (H.R. al- Bukhari dan Muslim).

Dalam menafsirkan kalimat “walaa shafar” dalam hadits di atas, al-Imam al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali, ulama’ salafi dan murid Syaikh Ibn Qayyimal-Jauziyah, berkata yang artinya:

“ Maksud hadits diatas, orang-orang Jahiliyah meyakini datangnya sial dengan bulan shafar. Mereka berkata, Shafar adalah bulan sial. Maka Nabi saw. Membatalkan hal tersebut. Pendapat ini yang paling benar. Banyak orang awam yang meyakini datangnya sial pada bulan shafar, dan terkadang melarang berpergian pada bulan itu. Meyakini datangnya sial dengan bulan shafar termasuk jenis thiyarah (meyakini adanya pertanda buruk) yang dilarang.” (Al-Imam al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali, Lathaif al-Ma’arif, hal. 148).

Di sisi lain, agama kita juga melarang menelitiwaktu-waktu yang disangka mendatangkan kesialan dan ketidak beruntungan. Bahkan sebagai gantinya, pada saat orang lain meyakini datangnya kesialan dengan waktu-waktu waktu-waktu tertentu, agamakita menganjurkan kita agar melakukan amal kebaikan yang dapat menolak balak (sial dan ketidak beruntungan) seperti berdo’a, berdzikir, bersedekah dan lain-lain. Dalam konteks ini al-Imam al-Hafizh al-Hujjah Zainuddin Ibn Rajab al-Hanbali, ulama’ salafi dan murid terbaik Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah, berkata dalam kitabnya, Lathaif al-Ma’arif yang artinya :

Meneliti sebab-sebab keburukan seperti melihat perbintangan dan semacamnya termasuk thiyarah yang dilarang. Orang-orang yang meneliti hal tersebut biasanya tidak menyibukkan diri dengan amal-amal baik yang dapat menolak balak, bahkan mereka memerintahkan agar tidak meninggalkan rumah dan tidak bekerja. Ini jelas tidak mencegah terjadinya keputusan dan ketentuan allah. Diantara mereka ada yang menyibukkan dirinya dengan perbuatan maksiat. Hal ini jelas memperkuat terjadinya malapetaka. Ajaran yang dibawa oleh syri’at adalah tidak meneliti hal tersebut, berpaling darinya, dan menyibukkan diri dengan amal-amal yang dapat menolak balak seperti berdo’a, berdzikir, bersedekah, memantapkan tawakal kepada allah swt. Dan beriman kepada keputusan dan ketentuan allah swt. “ (Ibn Rajab, Lathaif al-Ma’arif, hal. 143).

Nah, berdasarkan hal inilah para ulama’ kita di nusantara sejak dulu menganjurkan memperbanyak bersedekah di bulan shafar untuk menolak balak. Sedekah tersebut oleh masyarakat kita ditradisikan dalam bentuk bubur shafar. Bahkan pada hari rabu terakhir bulan shafar, tidak sedikit ulama’ kita yang melakukan tradisi shalat sunah mutlak di hari Rabu Wekasan dan membuat minuman yang diberi tulisan ruqyah agar terhindar dari malapetaka. Lebih-lebih Rabu terakhir dalam setiap bulan dianggap sebagai hari terjadinya sial berdasarkan hadits yang artinya :

“ Dari Ibn Abbas r.a. Nabi saw. Bersabda: “ Rabu terakhir dalam sebulan adalah hari terjadinya sial terus.” HR. Waki’ dalam al-Ghurar, Ibn Mardawaih dalam al-Tafsir dan al-Khatib al-Baghdadi. (al-Hafizh Jalaluddin al-suyuthi, al-Jami’ al-Shagir, juz 1, hal. 4, dan al-Hafizh Ahmad bin al-Siddiq al-Ghumari al-Hasani, al-Mudawi li’llal al-Jami’ al-Shagir wa Syarhai al-Munawi, Juz 1, hal. 23).

Demikian beberapa tradisi umat islam nusantara dalam pandangan ahli hadits dan para ulama’ salafi, rujukan utama kaum wahabi, seperti al-Imam ahmad bin Hanbal, pendiri madzhab imam al-Hanbali, serta para pengikutnya, dan syaikh Ibn Taimiyah serta murid-murid dan para pengagumnya.

 

BAB III

PENUTUP

 

  • Kesimpulan

Tradisi adalah sesuatu yang terjadi berulang-ulang dengan sengaja dan bukan secara kebetulan. Hukum melanggar tradisi masyarakat adalah hal yang tidak baik selama tradisi tersebut tidak diharamkan oleh agama.

Sebagian dari tradisi tersebut adalah Tradisi Yasinan, Tradisi Maulid Nabi, Tradisi Manaqiban dan Haul,Tradisi Bulan Syura, Tradisi Bulan Sya’ban, Ruwahan, dan Nyadran, Tradisi Istighatsah dan Tawassul, Khasiyat Ayat Al-Qur’an, Hizib, dan Do’a, Shalat Sunnat Qabliyah Jum’at, Ziarah Kubur, Tradisi Bulan Shafar.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

  1. Akhyar, Miftahul, 2015, Risalah Ahlussunnah Wal Jamaah dari Pembiasan Menuju Pemahaman dan Pembelaan Akidah-Amaliah NU, Surabaya, Khalista.

 

HUJJAH AMALIYAH NAHDLIYAH I

HUJJAH AMALIYAH NAHDLIYAH

Dosen Pengampu :

NUR ROHMAN, S.Pd., M.Si.

index

 

 

Disusun oleh:

Septi Velitasari N. (151120001587)

Mukaromah (151120001588)

Nidya Fitriyani (151120001601)

Windi Tyas Oktavia (151120001603)

 

PROGRAM STUDI AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA

TAHUN 2016


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat, karunia, taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang Hujjah Amaliyah Nahdliyah ini dengan baik meskipun banyak kekurangan di dalamnya. Dan juga kami berterima kasih kepada Bapak Nur Rohman, S.Pd., M.Si. selaku Dosen mata kuliah Agama II (Ahlussunnah Wal Jama’ah) yang telah memberikan tugas ini kepada kami.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai Ahlussunnah Wal Jama’ah. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya makalah yang telah kami susun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan.

 

 

Jepara, Juni 2016

Penyusun

 

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.. i

DAFTAR ISI. ii

BAB I PENDAHULUAN.. 1

1.1 Latar Belakang Masalah. 1

1.2 Rumusan Masalah. 2

1.3 Tujuan. 2

BAB II PEMBAHASAN.. 3

2.1      Pengertian. 3

2.2 Membedah Tradisi 3

  1. Makna Sebuah Tradisi 3
  2. Hukum Melanggar Tradisi Masyarakat 3

2.3 Macam-macam Tradisi dan dalilnya. 4

  1. Tradisi Ngapati, Mitoni dan Tingkepan. 4
  2. Mengiringi Jenazah dengan Bacaan Tahlil 5
  3. Hukum Melakukan Talqin Mayit 5
  4. Talqin saat sakaratul maut 5
  5. Talqin saat pemakaman jenazah. 5
  6. Hukum Selamatan 7 Hari Kematian. 7
  7. Jamuan Makan Kepada Para Penta’ziyah. 8
  8. Tahlil Fida’ (Tebusan) 9
  9. Membaca Al-Qur’an di Kuburan. 10
  10. Dzikir Bersama dan Mengeraskan Suara. 11
  11. Tradisi Tahlilan. 12

BAB III PENUTUP. 16

3.1 Simpulan. 16

3.2 Saran. 16

DAFTAR PUSTAKA.. 17

 

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Tradisi adalah sesuatu yang terjadi berulang-ulang dengan disengaja, dan bukan secara kebetulan. Banyak tradisi yang telah berkembang di tengah-tengah masyarakat seperti, ngapati, mitoni, tingkepan, tahlil, talqin, ziarah kubur, dan lain-lain. Tradisi tersebut tidak terjadi secara kebetulan, namun terdapat hadits-hadits yang menguatkannya. Sebenarnya tradisi yang berkembang di kalangan masyarakat Islam khususnya Ahlussunnah Wal Jama’ah sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Namun banyak dari umat Muslim tidak mengetahui sejarah adanya tradisi yang ada.

Untuk itu dalam makalah ini kami akan membahas mengenai hadits-hadits yang membedah tradisi yang sudah menjadi karakter dari Ahlussunnah Wal Jamaah. Hadits-hadits tersebut sebagai bukti bahwa tradisi keagamaan yang telah disebutkan tadi sesuai dengan syariat Islam dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Selain itu untuk memberikan pengetahuan kepada umat Muslim supaya memahami asal mula adanya tradisi-tradisi tersebut sehingga dapat membantah tuduhan dari kaum-kaum tertentu yang menyebut bahwa apa yang dilakukan kaum Muslim Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah bid’ah.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana dasar hukum tradisi keagamaan yang ada di masyarakat menurut syariat Islam :

  • Tradisi Ngapati, Mitoni dan Tingkepan
  • Mengiringi Jenazah dengan Bacaan Tahlil
  • Hukum Melakukan Talqin Mayyit
  • Hukum Selametan 7 Hari Kematian
  • Jamuan Makan Kepada Para Penta’ziyah
  • Tahlil Fida’ (Tebusan)
  • Membaca Al-Qur’an di Kuburan
  • Dzikir Bersama dan Mengeraskan Suara
  • Tradisi Tahlilan

1.3 Tujuan

Untuk mengetahui dasar hukum tradisi keagamaan yang ada di masyarakat menurut syariat Islam tentang :

  • Tradisi Ngapati, Mitoni dan Tingkepan
  • Mengiringi Jenazah dengan Bacaan Tahlil
  • Hukum Melakukan Talqin Mayyit
  • Hukum Selametan 7 Hari Kematian
  • Jamuan Makan Kepada Para Penta’ziyah
  • Tahlil Fida’ (Tebusan)
  • Membaca Al-Qur’an di Kuburan
  • Dzikir Bersama dan Mengeraskan Suara
  • Tradisi Tahlilan

 


BAB II
PEMBAHASAN

 

Pengertian

Hujjah atau Hujjat berasal dari (bahasa Arab الحجة ) adalah istilah yang banyak digunakan dalam Al-Qur’an dan literature Islam yang bermakna tanda, bukti, dalil, alasan, atau argumentasi. sedangkan Amaliyah artinya berkaitan dengan amal, dan Nahdliyah artinya warga NU. Jadi Hujjah Amaliyah Nahdliyah adalah tanda bukti yang berupa dalil yang berkaitan dengan tradisi amalan kaum NU.

2.2 Membedah Tradisi

  1. Makna Sebuah Tradisi

Tradisi merupakan sesuatu yang terjadi berulang-ulang dengan disengaja dan bukan terjadi secara kebetulan. Sesuatu tradisi telah menjadi keputusan atas pemikiran banyak orang dan diterima oleh orang-orang yang memiliki karakter normal.

  1. Hukum Melanggar Tradisi Masyarakat

Melanggar tradisi masyarakat adalah hal yang tidak baik kecuali tradisi tersebut diharamkan oleh agama. Dalam hal ini al-Imam Ibn Muflih al-Hanbali, berkata:

وَقَالَ ابْنُ عَقِيلٍ فِي الْفُنُونِ لَا يَنْبَغِي الْخُرُوجُ مِنْ عَادَاتِ النَّاسِ إلَّا فِي الْحَرَامِ فَإِنَّ الرَّسُولَ صلى (لَوْلَا حِدْثَانُ قَوْمِكِ الْجَاهِلِيَّةَ)الله عليه وسلم تَرَكَ الْكَعْبَةَ وَقَال

وَقَالَ عُمَرُ لَوْلَا أَنْ يُقَالَ عُمَرُ زَادَ فِي الْقُرْآنِ لَكَتَبْتُ آيَةَ الرَّجْم

. وَتَرَكَ أَحْمَدُ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ لِإِنْكَارِ النَّاسِ لَهَا، وَذَكَرَ فِي الْفُصُولِ عَنْ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ وَفَعَلَ ذَلِكَ إمَامُنَا أَحْمَدُ ثُمَّ تَرَكَهُ بِأَنْ قَالَ رَأَيْت النَّاسَ لَا يَعْرِفُونَهُ، وَكَرِهَ أَحْمَدُ قَضَاءَ الْفَوَائِتِ فِي مُصَلَّى الْعِيدِ وَقَالَ: أَخَافُ أَنْ يَقْتَدِيَ بِهِ بَعْضُ مَنْ يَرَاهُ . (الإمام الفقيه ابن مفلح الحنبلي، الآداب الشرعية، ٢/٤٧)

“Imam Ibn ‘Aqil berkata dalam kitab al-Funun, “Tidak baik keluar dari tradisi masyarakat, kecuali tradisi yang haram, karena Rasulullah SAW telah membiarkan Ka’bah dan berkata, “Seandainya kaummu tidak baru saja meninggalkan masa jahiliyah… “ Sayyidina Umar berkata: “Seandainya orang-orang tidak akan berkata, Umar menambah al-Qur’an, aku akan menulis ayat rajam didalamnya.”Imam Ahmad bin Hanbal meninggalkan dua raka’at sebelum maghrib karena masyarakat mengingkarinya. Dalam kitab al-Fushul disebutkan tentang dua raka’at sebelum maghrib bahwa Imam kami Ahmad bin Hanbal pada awalnya melakukannya, namun kemudian meninggalkannya, dan beliau berkata, “Aku melihat orang-orang tidak mengetahuinya.”Ahmad bin Hanbal juga memakruhkan melakukan qadha’ shalat di mushalla pada waktu dilaksanakan shalat id (hari raya). Beliau berkata, “Saya khawatir orang-orang yang melihatnya akan ikut-ikutan melakukannya.” (Al-Imam Ibn Muflih al-Hanbali, al-Adab al-Syar’iyyah,juz 2, hal. 47).

2.3 Macam-macam Tradisi dan dalilnya

  1. Tradisi Ngapati, Mitoni dan Tingkepan

Ngapati atau Ngupati adalah upacara selametan ketika kehamilan menginjak pada usia 4 bulan. Sedangkan Mitoni atau Tingkepan adalah upacara selametan ketika kandungan berusia 7 bulan. Upacara selametan tersebut dilakukan dengan tujuan agar janin yang ada dalam kandungan nantinya lahir dalam keadaan sehat wal afiyat serta menjadi anak yang salih.

Al-Qur’an al-Karim menganjurkan kita agar selalu mendoakan anak cucu kita, kendatipun mereka belum lahir. Dalam al-Qur’an dikisahkan tentang Nabi Ibrahim a.s yang mendoakan anak cucunya yang masih belum lahir

رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُسْلِمَةً لَكَ.

“Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di Antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau.”(QS. Al-Baqarah:128).

Di sisi lain, Nabi SWT juga mendoakan janin sebagian sahabat beliau.

“Anas bin Malik AS berkata: “Abu Thalhah memiliki seorang anak laki-laki yang sedang sakit. Kemudian ia pergi meninggalkan keluarganya. Kemudian anak kecil itu meninggal dunia. Setelah AbuThalhah pulang, beliau bertanya kepada isterinya, Ummu Sulaim, “Bagaimana keadaan anak kita?” Ummu Sulaim menjawab, “Dia sekarang dalam kondisi tenang sekali.” Kemudian Ummu Sulaim menyiapkan makan malam, sehingga Abu Thalhah pun makan malam. Selain makan malam, keduanya melakukan hubungan layaknya suami isteri. Setelah selesai, Ummu Sulaim menyuruh orang-orang agar mengubur anak laki-lakinya itu. Pagi harinya, Abu Thalhah mendatangi Rasulullah saw dan menceritakan kejadian malam harinya. Nabi sabertanya, “Tadi malam kalian tidur bersama?” Abu Thalhah menjawab, “Ya.” Lalu Nabi saw berdoa, “Ya Allah, berkahilah keduanya.” Lalu Ummu Suliam melahirkan anak laki-laki.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Selain itu, para ulama menganjurkan agar kita selalu bersedekah ketika mempunyai hajat yang kita inginkan tercapai. Dalam hal ini al-Imam al-Hafizh al-Nawawi, seorang ulama ahli hadits dan fikih madzhab al-Syafi’I, berkata:

وَقَال أَصْحَابُنا: يُسْتَحَب اْلإِكْثَار مِن الصَّدَقَة عِنْداْلأُمُوْر الْمُهِمَّةَ(المجموع شرح المهذب233\6)

“Para ulama kami berkata,’Disunnahkan memperbanyak sedekah ketika menghadapi urusan-urusan yang penting.”(al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab,juz 6, hal. 233)

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa upacara selametan pada masa-masa kehamilan seperti ngapati ketika kandungan berusia 4 bulan atau tingkepan ketika kandungan berusi 7 bulan, tidak dilarang oleh agama, dan substansinya dianjurkan dan pernah dilakukan oleh keluarga al-Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri madzhab Hanbali, madzhab resmi kaum Wahabi di Saudi Arabia.

 

  1. Mengiringi Jenazah dengan Bacaan Tahlil

Mengiringi jenazah dengan bacaan tahlil adalah boleh, bahkan ada riwayat yang menyebutkan bahwa hal tersebut dilakukan oleh Rasulullah saw. berdasarkan hadits berikut ini:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: لَمْ يَكُنْ يُسْمَعُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَهُوَ يَمْشِي خَلْفَ الْجِنَازَةِ، إلَّا قَوْلُ: لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ، مُبْدِيًا، وَرَاجِعًا[1]

 

Ibn Umar berkata, “Tidak pernah terdengar dari Rasulullah saw. ketika mengantarkan jenazah kecuali ucapan La Ilaaha Illallaah, pada waktu berangkat dan pulangnya.”

  1. Hukum Melakukan Talqin Mayit

Ada dua jenis talqin yang dianjurkan dalam Islam, yaitu talqin saat sakaratul maut dan talqin saat pemakaman jenazah. Penjelasan dan dalil masing-masing jenis talqin tersebut adalah sebagai berikut.

  1. Talqin saat sakaratul maut

Yakni mentalqin orang yang akan meninggal dunia sebelum nafasnya sampai di tenggorokan, dan hal itu disunnahkan. Berdasarkan hadits yang terdapat dalam Shahih Muslim dan lainnya:

“Dari Abi Sa’id al-Khudri, Rasulullah saw. bersabda, “Talqinkanlah orang yang akan mati diantara kamu dengan ucapan La ‘Ilaaha Illallah.” (HR. Muslim [1523])

  1. Talqin saat pemakaman jenazah

Imam al-Nawawi dalam al-Aldzkar menjelaskan bahwa membaca talqin untuk mayit setelah dimakamkan adalah perbuatan sunnah. Didasarkan pada sabda Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Abi Umamah:

 

“Dari Abi Umamah r.a. beliau berkata,”Jika aku kelak telah meninggal dunia, maka perlakukanlah aku sebagaimana Rasulullah saw. memperlakukan orang-orang yang wafat diantara kita. Rasulullah saw. memerintahkan kita, seraya bersabda, “Ketika diantara kamu ada yang meninggal dunia, lalu kamu meratakan tanah di atas kuburannya, maka hendaklah salah satu diantara kamu berdiri pada bagian kepala kuburan itu seraya berkata, “Wahai Fulan bin Fulanah”. Orang yang berada dalam kubur pasti mendengar apa yang kamu ucapkan, namun mereka tidak dapat menjawabnya. Kemudian (orang yang berdiri di kuburan) berkata lagi, “Wahai Fulan bin Fulanah”, ketika itu juga si mayyit bangkit dan duduk dalam kuburannya. Orang yang berada di atas kuburan itu berucap lagi, “Wahai Fulan bin Fulanah”, maka si mayyit berucap, “Berilah kami petunjuk, dan semoga Allah akan selalu memberi rahmat kepadamu. Namun kamu tidak merasakan (apa yang aku rasakan di sini).” (Karena itu) hendaklah orang yang berdiri di atas kuburan itu berkata,”Ingatlah sewaktu engkau keluar ke alam dunia, engkau telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan Nabi Muhammad adalah hamba serta Rasul Allah. (Kamu juga telah bersaksi) bahwa engkau akan selalu ridha menjadikan Allah sebagai Tuhanmu, Islam sebagai agamamu, Muhammad sebagai Nabimu, dan al-Qur’an sebagai imam (penuntun jalan)mu. (Setelah dibacakan talqin ini) malaikat Munkar dan Nakir saling berpegangan tangan sambil berkata, “Marilah kita kembali, apa gunanya kita duduk (untuk bertanya) di muka orang yang dibacakan talqin”. Abu Umamah kemudian berkata, “Setelah itu ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw. “Wahai Rasulullah, bagaimana kalau kita tidak mengenal ibunya?” Rasulullah menjawab, “(Kalau seperti itu) dinisbatkan saja kepada ibu Hawa, “Wahai Fulan bin Hawa.” (HR. al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir [7979], Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab juga mengutip hadits tersebut dalam kitabnya Ahkam Tamanni al-Mawt hal. 9 tanpa ada komentar).

 

Mayoritas ulama mengatakan bahwa hadits tentang talqin ini termasuk hadits dha’if, karena ada seorang perawinya yang tidak cukup syarat untuk meriwayatkan hadits. Namun dalam rangka fadha’il al-a’mal, hadits ini dapat digunakan.

Kaitannya dengan firman Allah SWT :

وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِي الْقُبُورِ (٢٢)

 

“Dan engkau (wahai Muhammad) sekali-kali tiada sanggup menjadkan orang yang di dalam kubur dapat mendengar.” (QS. Fathir:22).

Yang dimaksud dengan kata man fi al-qubur (orang yang berada di dalam kubur) dalam ayat ini ialah orang-orang kafir yang diserupakan orang mati karena sama-sama tidak menerima dakwah. Kata mati tersebut adalah metaforis (bentuk majaz) dari hati mereka yang mati. (Tafsir al-Khazin, juz V, hal. 347).

Dengan demikian dapat dipahami bahwa orang yang beriman itu di dalam kubur bisa mendengar suara orang yang membimbing talqin tersebut dengan kekuasaan Allah SWT. Hal ini dapat diperkokoh dengan kebiasaan Rasulullah SAW apabila berziarah kekuburan selalu mengucapkan salam. Seandainya ahli kubur tidak mendengar salam Rasulullah SAW, tentu Rasulullah SAW tidak melakukan sesuatu yang sia-sia, dan itu tidak mungkin.

Hadits tentang kesunnahan mentalqin mayyit juga dikutip oleh Syaikh Ibn Taimiyah al-Harrani dalam Majmu’ al-Fatawa dan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi dalam kitabnya Ahkam Tamanni al-Maut. Hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam imam al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir dan al-Imam Ibn Mandah tersebut adalah:

 

“Al-Thabarani telah meriwayatkan dalam al-Mu’jam al-Kabir dan Ibn Mandah, dari Abu Umamah dari Rasulullah SAW, Bersabda: “Apabila salah seorang saudara kamu meninggal dunia, lalu kalian meratakan tanah diatas makamnya, maka hendaklah salah seorang kamu berdiri di bagian kepalanya,dan katakanlah, “Wahai fulan bin fulanah”, maka sesungguhnya ia mendengar dan menjawab panggilan itu. Kemudian katakana, “Wahai fulan bin fulanah”, maka ia kan duduk dengan sempurna. Kemudian katakana, “Wahai fulan bin fulanah”, maka sesungguhnya ia berkata , “Berilah kami petunjuk, semoga Allah mengasihimu”, tetapi kalian tidak menyadarinya. Lalu katakanlah, “Ingatlah janji yang kamu pegang ketika keluar dari dunia, yaitu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, bahwa Muhammad utusan Allah, bahwa kamu rela menerima Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, Muhammad sebagai Nabi dan al-Qur’an sebagai pemimpin.” Maka pada saat itu, Malaikat Munkar dan Nakir akan saling berpegangan tangan dan berkata, “Mari kita pergi. Kita tidak duduk di samping orang yang telah dituntun jawabannya. “Nantinya Allah yang akan memberikan jawaban terhadap kedua Malaikat itu.” Seorang laki-laki berkata bertanya “Wahai Rasulullah, jika ibu mayit itu tidak diketahui?” Beliau menjawab, “Nisbatkan kepada Hawwa, “Wahai Fulan bin Hawwa.”

  1. Hukum Selamatan 7 Hari Kematian

Di kalangan masyarakat kita da tradisi, ketika ada orang meninggal, maka pihak keluarga mengadakan selamatan selama 7 hari, yang dihadiri para tetangga , kerabat dan handai taulan dengan ritual bacaan yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang meninggal itu. Selamatan tersebut dilakukan pula pada ke-40, 100, dan 1000 harinya. Lalu diadakan setiap tahunnya yang diistilahkan dengan haul. berkaitan dengan tradisi selamatan selama 7 hari, ada atsar (riwayat) dari ulama salaf berikut ini :

عَنْ سُفْيَانَ قَالَ طَاوُوْسُ إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُوْنَ فِي قُبُوْرِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوا يَسْتَحِبُّوْنَ أَنْ يُّطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ الْاَيَّام

. (رواه الإمام أحمد في كتاب الزهد, الحاوي للفتاوى, 2/178)

“Dari Sufyan, berkata, “Imam Thawus berkata, “Sesungguhnya orang yang meninggal akan diuji di dalam kubur selam tujuh hari, oleh karena itu mereka (kaum salaf) mengajurkan bersedekah makanan untuk keluarga yang meninggal selama tujuh hari tersebut.”

Syaikh Nawawi al-Bantani seorang ulama mutaakhkhirin, menjelaskan penentuan sedekah melalui tradisi tahlil pada hari-hari tertentu itu merupakan kebiasaan masyarakat (al-‘adah). Difatwakan oleh Sayyid Ahmad Dahlan. “Sungguh telah berlaku di masyarakat adanya kebiasaan bersedekah untuk mayyit pada hari ke tiga dari kematian, hari ke tujuh, dua puluh dan ketika genap empat puluh hari serta seratus hari. Setelah itu dilakukan setiap tahun pada hari kematiannya. Sebagaimana disampaikan oleh Syaikh kita Yusuf al-Sunbulawini.”

Bahkan, menyikapi atsar Imam Thawus yang diriwayatkan dari Sufyan tersebut daiatas, Imam Ahmad bin Hanbal r.a, dalam kitab al-Zuhd menyatakan bahwa bersedekah selama tujuh hari itu adalah perbuatan sunnah. Lebih lanjut, Imam al-Suyuthi menilai hal tersebut merupakan perbuatan sunnah yang telah dilakukan secara turun temurun sejak masa sahabat.

 

“Kesunnahan memberikan sedekan makanan selama tujuh hari merupakan perbuatan yang tetap berlaku hingga sekarang (zaman Imam al-Suyuthi, abad X Hijriyah) di Mekkah dan Madinah, Yang jelas, kebiasaan itu tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat Nabi SAW sampai sekarang saat ini, dan tradisi itu diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama (masa sahabat SAW).

Dari sini dapat disimpulkan bahwa kebiasaan masyarakat tentang penentuan hari dalam tahlilan itu dapat dibenarkan.

  1. Jamuan Makan Kepada Para Penta’ziyah

Dalam masyarakat kita da tradisi, ketika ada orang meninggal, maka pihak keluarga menyiapkan hidangan makanan yang disuguhkan kepada para penta’ziyah. Tradisi ini sesuai dengan atsar dari ulama salaf di atas. Selain itu, juga sesuai dengan hadits mauquf dari Sayyidina Umar r.a berikut ini :

 

“Al-Ahnaf bin Qais berkata, “Aku pernah mendengar Umar r.a berkata: “Apabila seseorang dari suku Quraisy memasuki satu pintu, pasti orang lain akan mengikutinya.” Aku tidak mengerti perkataan ini, sampai akhirnya Umar r.a ditikam, lalu beliau berwasiat agar Shuhaibyang menjadi Imam shalat selama tiga hari dan agar menyuguhkan makanan pada orang-orang yang ta’ziyah. Setelah orang-orang pulang dari mengantarkan jenazah (Umar r.a, ternyata hidangan makanan telah disiapkan, tetapi mereka tidak jadi makan, karena duka cita yang tengah menyelimuti mereka.

Sealain itu, bolehnya menyuguhkan makanan kepada orang yang bertakziah, didasarkan pada hadits:

 

“Dari Abdullah bin Amr r.a, “Ada seseorang yang bertanya pada Nabi SAW, “Perbuatan apakah yang paling baik?” Rasulullah SAW menjawab, “Menyuguhkan makanan dan mengucapkan salam, baik kepada orang yang kamu kenal atau tidak.” (HR. al-Bukhari [11]).

Lebih jelas lagi, menyuguhkan makanan kepada orang yang bertakziyah itu dijelaskan dalam hadits Nabi SAW berikut ini:

 

“Diriwayatkan oleh Ashim bin Khulayd dari ayahnya dari salah seorang sahabat Anshar, ia berkata, “Saya pernah bersama Rasulullah SAW pulang, beliau diundang oleh seorang perempuan (istri yang meninggal). Rasulullah SAW memenuhi undangannya, dan saya ikut bersama beliau,. Ketika beliau datang, lalu makananpun dihidangkan. Rasulullah SAW mulai makan dan diikuti oleh para undangan. Pada saat beliau akan mengunyah makanan tersebut, beliau bersabda, “Aku merasa daging kambing ini diambil dengan tanpa izin pemiliknya”. Kemudian perempuan tersebut bergegas menemui Rasulullah SAW sembari berkata, “Wahai Rasulullah SAW saya sudah menyuruh orang pergi ke Baqi”, (suatu tempat penjualan kambing), untuk membeli kambing, namun tidak mendapatkannya. Kemudian saya menyuruhnya menemui tetangga saya yang telah membeli kambing, agar kambing itu dijual kepada saya dengan harga yang umum, akan tetapi ia tidak ada. Maka saya menyuruh menemui isterinya dan ia pun mengirimkambingnya pada saya. Rasulullah SAW kemudian bersabda, “Berikan makanan ini pada para tawanan.”

Berdasarkan hadits inilah, Syaikh Ibrahim al-Halabi berkata. “Hadits ini menunjukkan kebolehan keluarga mayit membuat makanan dan mengundang orang untuk makan. Jika makanan itu disuguhkan kepada fakir miskin, hal itu baik. Kecuali jika salah satu ahli warisnya ada yang masih kecil, maka tidak boleh diambilkan dari harta waris si mayit.”

Mengenai keputusan Rasulullah SAW memberikan makanan kepada para tawanan itu tidak dapat dijadikan alasan memgharamkan menyuguhkan makanan kepada orang yang berta’ziyah. Rasulullah SAW menyuruh memberikan makanan kepada para tawanan karena orang yang akan dimintai ridhanya atas daging itu belum ditemukan sedangkan makanan itu takut basi. Maka sudah semestinya jika Rasulullah SAW memberikan makanan tersebut kepada para tawanan. Dan isteri mayit pun telah mengganti harga kambing yang disuguhkan tersebut.

  1. Tahlil Fida’ (Tebusan)

Ada tradisi di sebagian masyarakat kita, ketika ada keluarga yang meninggal dunia, maka dibacakan tahlil (la ilaha illallah) sebanyak 70.000 kali dan pahalanya dihadiahkan kepada mayit agar terbebas dari siksa neraka. Hal tersebut diistilahkan dengan tahlil fida’ atau tebusan. Hal demikian itu boleh dilakukan, sebagaiamana ditegaskan oleh Syaikh Ibn Taimiyah, panutan utama kaum wahabi, dalam Majmu’ al-Fatawa-nya berikut ini:

 

وَسُئِلَ: عَمَّنْ “هَلَّلَ سَبْعِيْنَ أَلْفَ مَرَّةٍ وَأَهْدَاهُ لِلْمَيِّتِ يَكُوْنُ بَرَاءَةً لِلْمَيِّتِ مِنَ النَّارِ” حَدِيْثٌ صَحِيْحٌ؟ أَمْ لاَ؟ وَاِذَا هَلَّلَ الْانْسَانُ وَاَهْدَاهُ إِلَى الْمَيِّتِ يَصِلُ إِلَيْهِ ثَوَابُهُ اَمْ لَا؟ فَأَجَابَ: إِذَا هَلَّلَ الْاِنْسَانُ هَكَذَا: سَبْعُوْنَ اَلْفًا اَوْ اَقَلَّ اَوْ اَكْثَرَ. وَاُهْدِيَتْ اِلَيْهِ نَفَعَهُ اللهُ بِذَلِكَ وَلَيْسَ هَذَا حَدِيْثًا صَحِيْحًا وَلَا ضَعِيْفًا. وَاللهُ أَعْلَمُ. (مجموع فتاوى ابن تيمية, 24/323).

“Syaikh Ibn Taimiyah ditanya, tentang orang yang membaca tahlil 70.000 kali dan dihadiahkan kepada mayit, agar menjadi tebusan baginya dari neraka, apakah hal itu hadits shahih atau tidak? Dan apabila seseorang membaca tahlil lalu dihadiahkan kepada mayit, apakah pahalanya sampai atau tidak?” Beliau menjawab, “Apabila seseorang membaca tahlil sekian, 70.000 atau kurang, dan atau lebih, lalu dihadiahkan kepada mayit, maka hadiah tersebut bermanfaat baginya, dan ini bukan hadits shahih dan bukan hadits dha’if. Wallahu a’lam.”

  1. Membaca Al-Qur’an di Kuburan

Menjelang bulan suci Ramadhan maupun menjelang lebaran ada tradisi yang dilakukan kaum Muslimin, yaitu ziarah kubur. Baik berziarah ke makan para wali atau tokoh terkenal lainnya maupun makam orang tua atau sanak famili yang telah meninggal. Lalu mereka membaca al-Qur’an di sisi makam tersebut. Hal itu diperbolehkan dan baik untuk dilakukan. Membaca al-Qur’an di kuburan merupakan tradisi kaum salaf (sejak generasi sahabat). Al-Imam Ibn Qayyim al-Jauziyah murid terdekat Ibnu Taimiyah, berkata:

 

“telah disebutkan dari sekelompok ulama salaf, bahwa mereka berwasiat agar dibacakan al-Qur’an di sisi makam mereka ketika pemakaman. Imam Abdul Haqq berkata, diriwayatkan dari Ibn Umar bahwa beliau berwasiat agar dibacakan surat al-Baqarah di sisi makamnya. Di antara yang berpendapat demikian adalah al-Mu’alla bin Abdurrahman. Al-Khallal berkata, “al-Hasan bin Ahmad al-Warraq mengabarkan kepadaku, “Ali bin Musa al-Haddad mengabarkan kepadaku, dan dia seorang yang dipercaya. Ia berkata, “aku bersama Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Qudamah al-Jauhari, ketika mendengar jenazah. Setelah mayit dimakamkan, seorang laki-laki tuna netra membaca al-Qur’an di samping makam itu. Lalu Ahmad berkata kepadanya, “ Hai laki-laki sesungguhnya membaca al-Qur’an di samping makam itu bid’ah.” Setelah kami keluar dari makam, Muhammad bin Qudamah berkata kepada Ahmad bin Hanbal, “wahai Abu Abdillah, bagaimana pendapat Anda tentang Mubasysyir al-Halabi?” ia menjawab, “dia perawi yang tsiqah (dapat dipercaya).” Muhammad bin Qudamah berkata, “anda menulis riwayat darinya?” Ahmad menjawab, “ya.” Muhammad bin Qudamah berkata, “Mubasysyir mengabarkan kepadaku, dari Abdurrahman bin al-‘Ala’ al-Lajlaj, dari ayahnya, bahwasanya ia berwasiat, apabila ia dimakamkan, agar dibacakan permulaan dan penutup surat al-Baqarah di sebelah kepalanya. Ia berkata, “aku mendengar Ibn Umar berwasiat demikian.” Lalu Ahmad berkata kepada Muhammad bin Qudamah, “kembalilah, dan katakan kepada laki-laki tadi, agar membaca al-Qur’an di samping makam itu.” Al-Hasan bin al-Shabah bin al-Za’farani berkata, “ aku bertanya kepada al-Syafi’I tentang membaca al-Qur’an di samping kuburan, lalu ia menjawab, tidak apa-apa.” Al-Khallal meriwayatkan dari al-Sya’bi yang berkata, “kaum Anshar apabila keluarga mereka ada yang meninggal, maka mereka selalu mendatangi makamnya untuk membacakan al-Qur’an di sampingnya.”

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab juga menyampaikan beberapa riwayat membaca al-Qur’an ketika di makam kaum Muslimin dalam kitabnya Ahkam Tamanni al-Maut berikut ini:

 

“Sa’ad al-Zanjani meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah secara Marfu’: “barang siapa mendatangi kuburan lalu membaca surat al-Fatihah, al-Ikhlas, dan al-Takatsur, kemudian mengatakan: “Ya Allah, aku hadiahkan pahala bacaan al-Qur’an ini bagi kaum beriman laki-laki dan perempuan di kuburan ini,” maka mereka akan menjadi penolongnya kepada Allah.” Abdul Aziz –murid al-Imam al-Khallal-, meriwayatkan hadits dengan sanadnya dari Anas bin Malik secara marfu’: “Barangsiapa mendatangani kuburan, lalu membaca surah Yasin, maka Allah akan meringankan siksaan mereka, dan ia akan memperoleh pahala sebanyak orang-orang yang ada di kuburan itu.”

  1. Dzikir Bersama dan Mengeraskan Suara

Sebuah tradisi yang ada di tengah-tengah masyarakat apabila berdzikir yaitu dilakukan secara bersama-sama dan mengeraskan suara. Baik dzikir setelah shalat maupun dalam acara tahlilan dan lain-lain. Hal tersebut tidak mengurangi pahala dzikir, bahkan dianjurkan dan terus ditradisikan. Dalam kitab al-Ijtima’ala al-Dzikr wa al-Jahr bihi yang telah menyitir sekian banyak ayat al-Qur’an tentang dzikir, al-Imam al-Syaukani berkata:

 

ini adalah himpunan ayat-ayat al-Qur’an kekita melihat pertanyaan ini. Dalam ayat-ayat tersebut tidak ada pembatasan dzikir dengan cara mengeraskan atau memelankan, meninggikan atau merendahkan suara, bersama-sama atau sendirian. Jadi ayat-ayat tersebut memberi pengertian anjuran dzikir dengan semua cara tersebut.”

Bahkan berkaitan dengan dzikir yang mengeraskan suara setelah shalat fardhu, ada hadis shahih berikut ini:

 

Dari Abu Ma’bad, bahwa Ibn Abbas r.a mengabarkan kepadanya, bahwa mengeraskan suara dalam berdzikir ketika selesai shalat fardhu berjamaah terjadi pada zaman Nabi S.A.W. Ibn Abbas berkata, “aku mengetahui selesainya shalat fardhu itu, ketika aku mendengar suara keras mereka dalam berdzikir.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Berkaitan dengan dzikir secara berjamaah, ada sekian banyak hadits yang menganjurkannya, antara lain hadits berikut ini:

 

“Syaddad bin Aus r.a berkata, “kami bersama Rasulullah SAW tiba-tiba beliau berkata, “apakah di antara kalian ada orang asing (ahli kitab)?” kami menjawab, “tidak ada wahai Rasulullah.” Lalu beliau memerintahkan agar mengunci pintu dan berkata, “angkatlah tangan kalian, lalu katakan La ilaha illallah!” kami mengangkat tangan beberapa saat, kemudian Rasulullah meletakkan tangannya. Lalu bersabda, “Alhamdulillah. Ya Allah sesungguhnya Engkau mengutusku membawa kalimat tauhid ini, Engkau memerintahkannya kepadaku dan menjanjikanku surga karenanya, sesungguhnya Engkau tidak akan menyalahi janji.” Kemudain beliau bersabda, “bergembiralah, sesungguhnya Allah telah mengampuni kalian.” (HR. Ahmad, al-Hakim, al-Tabarani dan al-Bazzar).

  1. Tradisi Tahlilan

Tahlilan merupakan tradisi yang telah diamalkan secara turun temurun oleh mayoritas umat Islam Indonesia. Meskipun format acaranya tidak diajarkan secara langsung oleh Rasulullah SAW, namun kegiatan tersebut dibolehkan karena tidak ada unsur yang bertentangan dengan ajaran Islam, misalnya pembacaan surat Yasin, Tahlil, Tahmid, Tasbih, dan semacamnya. Oleh karena itu, pelaksanaan tahlilan secara esensial merupakan perwujudan dari tuntutan Rasulullah SAW.

Imam al-Syaukani mengatakan bahwa setiap perkumpulan yang di dalamnya dilaksanakan kebaikan, misalnya membaca al-Qur’an, dzikir, dan doa itu adalah perbuatan yang dibenarkan meskipun tidak pernah dilaksanakan pada masa Rasulullah SAW. Begitu pula tidak ada larangan untuk meghadiahkan pahala membaca al-Qur’an atau lainnya kepada orang yang telah meninggal. Bahkan ada beberapa jenis bacaan yang didasarkan pada hadits shahih seperti, hadits “Bacalah surat Yasin kepada orang mati di antara kamu.” Tidak ada perbedaan baik dilakukan secara bersama-sama di dekat mayit atau di dekat kuburannya, dan membaca al-Qur’an secara keseluruhan atau sebagian, baik dilakukan di Masjid atau di rumah.

Kesimpulan al-Syaukani ini memang didukung oleh banyak hadits Nabi SAW. Di antaranya adalah:

عن ابي سعيد الخدري قال ول الله صلّى الله عليه سلّم: لا يقعد قوم يذكرون الله عزوجلّ الاّخفَّتهم الملائكة وغشيتهم الرحمة ونزلت عليهم السكينة وذكرهم الله فيمن عنده (رواه مسلم4868)

“Dari Abi Sa’id al-Khudri, ia berkata, Rasulullah bersabda “Tidaklah berkumpul suatu kaum sambil berdzikir kepada Allah, kecuali mereka akan dikelilingi malaikat, dan Allah akan memberikan rahmat-Nya kepada mereka, memberikan ketenangan hati dan memujinya di hadapan makhluk yang ada di sisi-Nya.” (HR. Al-Muslim [4868]).

Imam al-Syafi’i memang pernah menyatakan : “Dan ku tidak senang pada “ma’tam” yakni adanya perkumpulan, karena hal itu akan mendatangkan kesusahan dan menambah beban.”

Perkataaan Imam al-Syafi’i ini sering dijadikan dasar melarang acara tahlilan, karena dianggap sebagai salah satu bentuk ma’tam yang dilarang tersebut. Padahal apa yang dimaksud dengan ma’tam itu tidak sama dengan tahlilan. Ma’tam adalah perkumpulan untuk meratapi mayit yang dapat menambah kesusahan dan kesedihan keluarga yang ditinggalkan.

Ma’tam yang tidak disenangi oleh Imam al-Syafi’i adalah perkumpulan untuk meratapi kepergian mayit, yang mencerminkan kesedihan mendalam karena ditinggal oleh orang yang dicintai. Seolah-olah tidak diterima terhadap apa yang telah diputuskan oleh Allah. Dan itu sama sekali tidak terjadi bagi orang yang melakukan tahlilan yang di dalamnya terdapat dzikir dan doa untuk orang yang meninggal dunia. Sehingga tepat jika tahlilan itu disebut sebagai majlis al-dzikir.

Bagi shahibul mushibah (orang yang terkena musibah), tahlilan itu merupakan pelipur lara dan penghapus duka karena ditinggal mati oleh orang yang mereka sayangi, bukan penambah kesusahan dan derita. Sebagai bukti, semakin banyak orang yang tahlil, maka tuan rumah semakin senang. Justru tuan rumah akan kecewa dan tambah bersedih jika yang datang untuk tahlilan sangat sedikit.

Dari sisi sosial, keberadaan tradisi tahlilan mempunyai manfaat yang sangat besar untuk menjalin ukhuwah antar anggota masyarakat. Dalam sebuah penelitan ilmiah yang dilakukan oleh Zainuddin Fananie MA dan Atiqo Sabardila MA dosen Universitas Muhammadiyyah Surakarta didapat kesimpulan bahwa tahlil merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan keagamaan. Di samping itu tahlil juga merupakan salah satu alat mediasi (perantara) yang paling memenuhi syarat yang bisa dipakai sebagai komunikasi keagamaan dan pemersatu umat serta mendatangkan ketenangan jiwa.

Terkait susunan tahlil, sebagaimana maklum, terdiri darin beberapa ayat Al-Qur’an, tahlil, tasbih, tahmid, shalawat dan lain-lain. Komposisi bacaan tahlilan yang terdiri dari beragam dzikir ini telah berlangsung sejak berabad-abad yang lalu. Syaikh Ibn Taimiyah al-Harrani, ulama panutan utama kaum Wahabi, pernah ditanya tentang ritual seperti tahlilan tersebut, dan beliau membenarkan serta menganjurkannya. Dalam hal ini Ibn Taimiyah berkata :

 

“Ibn Taimiyah ditanya, tentang seseorang yang memprotes ahli dzikir (berjamaah) dengan berkata kepada mereka, “Dzikir kalian bid’ah, mengeraskan suara yang kalian lakukan juga bid’ah.” Mereka memulai dan menutup dzikirnya dengan al-Qur’an, lalu mendoakan kaum Muslimin yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Mereka mengumpulkan antara tasbih, tahmid, tahlil, takbir, hauqalah (laa haula wa laa quwwata illaa billaah) dan shalawat kepada Nabi”. “Lalu Ibn Taimiyah menjawab : “Berjamaah dalam berdzikir, mendengarkan al-Qur’an dan berdoa adalah amal shaleh, termasuk qurbah dan ibadah yang paling utama dalam setiap waktu. Dalam Shahih al-Bukhari, Nabi bersabda, “sesungguhnya Allah memiliki banyak Malaikat yang selalu berpergian di muka bumi. Apabila mereka bertemu dengan sekumpulan orang yang berdzikir kepada Allah, maka mereka memanggil, “silahkan sampaikan hajat kalian”, lanjutan hadits tersebut terdapat redaksi, “kami menemukan mereka bertasbih dan bertahmid kepada-Mu” … Adapun memelihara rutinitas aurad (bacaan-bacaan wirid) seperti shalat, membaca al-Qur’an, berdzikir atau berdoa, setiap pagi dan sore serta pada sebagian waktu malam dan lain-lain, hal ini merupakan tradisi Rasulullah dan hamba-hamba Allah yang salih, zaman dulu dan sekarang”.(Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, Juz 22, hal 520).

Pertanyaan Syaikh Ibn Taimiyah di atas memberikan kesimpulan bahwa dzikir berjamaah dengan komposisi bacaan yang beragam antara ayat al-Qur’an, tasbih, tahmid, tahlil, shalawat, dan lain-lain seperti yang terdapat dalam tradisi tahlilan adalah amal shaleh dan termasuk qurbahdan ibadah yang paling utama dalam setiap waktu.

Dalam tradisi tahlilan, tuan rumah biasanya menyuguhkan makanan setelah doa dipanjatkan. Dilihat dari sisi sedekah, bahwa dalam bentuk apapun, hal ini merupakan sesuatu yang sangat dianjurkan. Memberikan makanan kepada orang lain adalah perbuatan yang sangat terpuji. Sabda Nabi :

 

“Dari Amr bin Abasah, ia berkata, saya mendatangi Rasulullah kemudian saya bertanya, “Wahai Rasul, apakah Islam itu ?” Rasul menjawab, “ Bertutur kata yang baik dan menyuguhkan makanan.” (HR. Ahmad [18617]).

Kaitannya dengan sedekah untuk mayit, pada masa Rasulullah, jangankan makanan, kebun pun (harta yang sangat berharga) disediakan dan pahalanya diberikan kepada si mayit. Dalam sebuah hadits shahih disebutkan :

 

“Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya ada seorang laki-laki bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, apakah ada manfaatnya jika aku bersedekah untuknya ?” Rasulullah menjawab, “Ya”. Laki-laki itu berkata, “Aku memiliki sebidang kebun, maka aku mempersaksikan kepadamu bahwa aku akan mempersedekahkan kebun tersebut atas nama ibuku”. (Ibnu al-Qayyim, al-Ruh, hal 142).

Ibnu Qayyim al-Jawziyah dengan tegas mengatakan bahwa sebaik-baiknya amal yang dihadiahkan kepada mayit adalah memerdekakan budak, sedekah, istighfar, doa, dan haji. Adapun pahala membaca al-Qur’an secara sukarela dan pahalanya diberikan kepada mayit, juga akan sampai kepada mayit tersebut. Sebagaimana pahala puasa dan haji. (Ibnu al-Qayyim, al-Ruh, hal. 142).

Jika kemudian perbuatan tersebut dikaitkan dengan usaha untuk memberikan penghormatan kepada para tamu, maka itu merupakan perbuatan yang dianjurkan dalam Islam. Sabda Rasulullah :

 

“Dari Abi Hurairah, ia berkata, “Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah menyakiti tetangganya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata dengan kebaikan atau (jika tidak bisa), diam.” (HR. Muslim [5559]).

Seorang tamu yang keperluannya hanya urusan bisnis atau sekedar ngobrol dan main catur harus diterima dan dijamu dengan baik, apabila tamu yang datang untuk mendoakan keluarga kita di akhirat, sudah seharusnya lebih dihormati dan diperhatikan.

Hanya saja, kemampuan ekonomi harus tetap menjadi pertimbangan utama. Tidak boleh memaksakan diri untuk melakukan acara tahlilan dengan berhutang ke sana sini atau sampai mengambil harta anak yatim dan ahli waris yang lain. Hal tersebut jelas tidak dibenarkan. Dalam kondisi seperti ini, sebaiknya perjamuan itu diadakan ala kadarnya.

Lain halnya jika memiliki kemampuan ekonomi yang sangat memungkinkan. Selama tidak israf (berlebih-lebihan dan menghamburkan harta) atau sekedar menjaga gengsi, suguhan istimewa yang dihidangkan, dapat diperkenankan sebagai suatau bentuk penghormatan serta kecintaan kepada keluarga yang telah meninggal dunia.

Dan yang tak klaah pentingnya masyarakat yang melakukan tahlilan hendaknya menata niat di dalam hati bahwa apa yang dilakukan itu semata-mata karena Allah. Dan jika ada bagian dari ucapan tahlil itu yang menyimpang dari ketentuan syara’ maka tugas para ulama untuk meluruskannya dengan penuh bijaksana.

 

BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan

Tradisi ngapati, mitoni dan tingkepan, mengiringi jenazah dengan bacaan tahlil, hukum melakukan talqin mayyit, hukum selametan 7 hari kematian, jamuan makan kepada para penta’ziyah, tahlil fida’ (tebusan), membaca al-qur’an di kuburan, dzikir bersama dan mengeraskan suara, dan tradisi tahlilan merupakan ciri khas dari Ahlussunnah Wal Jama’ah yang tidak bertentangan dengan syariat Islam karena dapat dibuktikan dengan dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits.

 

3.2 Saran

Melalui makalah ini diharapkan pembaca dapat memahami dasar hukum tradisi kaum NU yang berada di tengah-tengah masyarakat sehingga dapat membantah berbagai argumen dari golongan-golongan tertentu yang menyatakan bahwa tradisi-tradisi yang dilakukan kaum NU adalah Bid’ah. Serta diharapkan pembaca dapat melestarikan tradisi-tradisi tersebut.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

(Buku Risalah Ahlussunnah Wal-Jama’ah)

http://sagitariusismyzodiak.blogspot.co.id/2013/03/ahlu-al-sunnah-wa-al-jamaah.html

http://www.piss-ktb.com/2015/03/3978-hukum-mengiringi-jenazah-seraya.html

 

 

PERSPEKTIF ASWAJA TENTANG BID’AH

PERSPEKTIF ASWAJA TENTANG BID’AH

 index

Agama 2 (Ahlussunnah Wal Jamaah)

Pembimbing: Nur Rohman, S.Pd., M.Si

Disusun oleh:

Yulicha Ariyati                                  151120001719

Tiara Setia Rosa                                 151120001740

Dian Novita Dewi                               151120001744

PROGRAM STUDI AKUNTANSI

UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA JEPARA

TA 2015/2016

 

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah, Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya, sehingga dapat tercipta sebuah makalah guna memenuhi tugas mata kuliah Aswaja(Ahlussunnah Wal Jamaah)

Makalah ini takkan terwujud tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu saya mengucapkan terima kasih kepada:

  1. Bapak Nur Rohman, S.Pd., M.Si selaku dosen mata kuliah Agama 2
  2. Orang tua saya yang telah memberi motivasi, serta memfasilitasi dalam berjalannya penyusunan makalah ini, dan tentunya yang selalu mendo’akan demi kesuksesan anaknya ini.
  3. Seluruh rekan-rekan yang telah membantu, memotivasi dalam penyusunan makalah ini.

Dalam makalah ini,kami bermaksud menuturkan materi yang akan dikaji dalam kegiatan belajar mengajar. Makalah ini bukanlah makalah yang sempurna, jadi tidak lepas dari kesalahan. Oleh karena itu, kami memohon kritik dan saran yang dapat membangun untuk masa yang akan datang.

Jepara,30 Mei 2016

Penyusun

 

 

DAFTAR ISI

 

KATA PENGANTAR

BAB 1   PENDAHULUAN

1.1         LATAR BELAKANG

1.2         RUMUSAN MASALAH

1.3         TUJUAN PENULISAN

BAB ll   PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Bid’ah

2.2 Macam – Macam Bid’ah

2.3 Kriteria Bid’ah Hasanah

2.4 Contoh – contoh bid’ah

2.5 Pendapat ulama mengenai amalan yang tidak ada contoh sebelumnya dari Nabi SAW

2.6 Bid’ah dalam kaidah hukum / syariat

2.7 Pandangan Bid’ah dari kelompok atau aliran lain

2.8 Pandangan dan Respon NU terhadap Aksi klaim syirik tentang bid’ah dari kelompok lain

BAB lll PENUTUP

3.1       KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

  • LATAR BELAKANG

Nahdlatul Ulama sebagai salah satu kelompok umatIslam yang setia mengamalkan sejumlah ritual-ritual keagamaan seperti tahlil, ziarahkubur, maulid, kerap dijadikan sasaran kelompok lain dengan klaim syirik, murtad, taqlid dan melakukan bid’ah. Dan hal itu yang menyebabkan keresahan di warga NU.

hal ini menjadikan warga NU memberikan respon terhadap aksi radikalisme yang diakukan oleh wahabi dan warga NU melakukan penetrasi sebagai alternatif penanganan radiklisme yang menyesatkan bid’ah bagi kalangan wahabiNU sendiri membantah adanya hal tersebut hal ini dikerenakan tidak adanya dali yang menerangkan bahwa Bid’ah tidak sesat karena didalam bid’ah kita memecahkan masalah yang belum ada sebelumnya atau belum ada dialquran maupun hadis dan NU selalu mengambil posisi di garda terdepan dalam upaya membela tradisi-tradisi keagamaan lokal tersebut dari serangan kaum Wahabi. Selain itu juga menyelenggarakan Kampanye anti-Wahabisme ini tampaknya bukan saja bergema di kalangan struktutal NU, melainkan juga telah menjadi isu utama di kalangan kelompok kultural NU.Kalangan kaum muda NU di jalur kultural yang sebelumnya kerap bersebrangan dengan kalangan kaum tua yang ada di struktur dan pesantrenpesantren, kini tampak kompak dan bertemu dalam isu besar anti-Wahabisme.

Begitu pula sumberdaya struktural berupa kelengkapan organisasi yang dimiliki

oleh NU mulai dari tingkat pusat (PBNU) hingga tingkat Ranting yang berada

di pedesaan, dimobilisir untuk membendung ekspansi dakwah Wahabi. Rasa

keterancaman terhadap Wahabisme seolah telah membangkitkan kembali soliditas

dan solidaritas gerakan sosial NU yang sebelumnya banyak diwarnai oleh konflikkonflik internal akibat keterjebakan mereka dalam kubangan politik praktis.

Selain itu juga adanya rekonsolidasi dan revitalisasi terhadap semua sumberdaya, baik yang bersifat diskursif seperti aqidah dan amalaiyah, maupun terhadap semua aset

yang dimiliki NU. Berikut ini akan digambarkan beberapa respon yang diberikan

oleh kalangan NU, baik dari struktural maupun dari kelompok kultural, terhadap

fenomena ekspansi gerakan Wahabisme kontemporer.

 

  • RUMUSAN PEMBAHASAN
  1. Bagaimana perspektif Aswaja tentang bid’ah ?
  2. Bagaimana Respon NU terhadap kelompok lain yang menyatakan bid’ah sesat dan menganggap bid’ah bagian dari tasyrik/syirik
    • TUJUAN PEMBAHASAN
  3. Menjelaskan perspektif Aswaja tentang bid’ah
  4. Menjelaskan Respon NU terhadap kelompok lain yang menyatakan bid’ah sesat dan menganggap bid’ah bagian dari tasyrik/syirik

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

  • Pengertian Bid’ah

Kata bid’ah berasal dari kata bada’ah. Kata ini memiliki pengertian. “membuat sesuatu yang baru, yang tidak pernah ada sebelumnya.Bid’ah secara bahasa semua perkara baru yang belum pernah ada sebelumnya.Adapun bid’ah dalam hukum Islam ialah segala sesuatu yang diada-adakan oleh ulama’ yang tidak ada pada zaman Nabi SAW. Jadi dapat disimpulkan bahwa bid’ah adalah sesuatu perkara baru yang belum ada sebelumnya yang diadakn oleh ulama yang belum ada sumbernya dari hadis dan alqur’an.Pengertian tersebut di atas didapati pada antara lain 1.Firman Allah, Q.S. al-An’am : 101 ;

بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ أَنَّى يَكُونُ لَهُ وَلَدٌ وَلَمْ تَكُنْ لَهُ صَاحِبَةٌ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Artinya : Dia (Allah) adalah Pencipta langit dan bumi, bagaimana Dia mempunyai anak, padahal Dia tidak mempunyai isteri. Dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.(Q.S. al-An’am : 101)

  • Dalil tentang bid’ah adalah sebagai berikut : وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا بِدْعَةٌ، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ.

Artinya :

“Sesungguhnya ucapan yang paling benar adalah kitab Allah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad SAW, dan seburuk-buruk perkara adalah perkara baru, setiap perkara baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu tempatnya di neraka.” (HR. An-Nasa’i)

 

  • Macam – macam Bid’ah

Bid’ah terbagi dua, yaitu :

  1. Bid’ah hasanah

Yaitu : Perkara baru yang termasuk baik (hasanah), tidak bertentangan dengan Al Qur’an, Sunnah, pendapat sahabat atau Ijma

Contohnya sholat tarawih , pengumpulan mushaf

  1. Bid’ah dhalalah Perkara baru yang bertolak belakang dengan Al Qur’an, Sunnah, pendapat sahabat atau Ijma, maka itu termasuk bid’ah yang sesat.
    • Kriteria bid’ah hasanah

Kriteria bid’ah hasanah antara lain :

  1. termasuk dalam katagori urusan agama yang bersifat ibadah, bukan urusan-urusan ‘adiyah dan urusan kehidupan yang tidak bersifat ibadah
  2. masuk di bawah pokok-pokok, maqashid syari’at atau perintah yang bersifat umum dari syari’at. Misalnya perayaan maulid Nabi SAW. Ini termasuk dalam pokok-pokok agama yang menganjurkan zikir kepada Allah dan memperbanyak shalawat kepada Nabi-Nya.
  3. tidak bertentangan dengan nash-nash syari’at. Oleh karena itu, bid’ah hasanah tidak dapat dituduh sebagai sesuatu yang hanya didasarkan kepada hawa nafsu manusia.
  4. dianggap oleh kaum muslimin sebagai perbuatan yang baik.
    • Contoh-contoh bid’ah hasanah

Adapun Contoh-contoh bid’ah hasanah antara lain :

  1. Melaksanakan shalat Tarawih dengan berjama’ah. Izzuddin Abdussalam telah memasukkan shalat Tarawih secara berjama’ah ini dalam kelompok ibadah katagori bid’ah hasanah, yakni kelompok bid’ah mustahabbah.
  2. Pembukuan Al-Qur’an pada masa Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq atas usul Sayyidina Umar ibn Khattab.
  3. Utsman ibn Affan menambah azan untuk hari Jumat menjadi dua kali.
  4. Membangun perkumpulan dan madrasah-madrasah dan berjabatan tangan setelah Shalat Subuh dan Ashar.
  5. Belajar ilmu Bahasa Arab yang tergantung padanya pemahaman kitab dan sunnah seperti Nahu, Sharaf, Ma’ani, Bayan, lughat, setiap kebaikan yang tidak dikenal pada zaman awal dan pembahasan yang mendalam dalam ilmu Tasau
  6. Memperingati maulid Nabi Muhammad SAW
  7. Shalat Tasbih dengan berjama’ah.
  8. Amalan Ibnu Abbas menjihar al-Fatihah dalam shalat jenazah
  9. Membaca shadaqallahuh ‘adhim setelah selesai membaca al-Qur’an. Perbuatan ini telah terjadi di lingkungan kebanyakan kaum muslimin. Perbuatan ini meskipun tidak ada dalil khusus dari syara’
  10. Membaca Innallaha wa malaikatahu yushaalluna ‘alannabi ……dst sebelum khutbah Jum’at.
  11. Membaca shalawat dan salam atas Nabi SAW sesudah azan
  12. Menulis nama-nama surat, jumlah ayat, tanda waqaf dan lainnya dalam mashaf al-Qur’an

 

  • Pendapat ulama mengenai amalan yang tidak ada contoh sebelumnya dari Nabi SAW

Pendapat ulama mengenai amalan yang tidak ada contoh sebelumnya dari Nabi SAW

  1. Imam Syafi’i membagi bid’ah kepada dua macam sebagaimana pernyataan beliau :

“Setiap perbuatan yang diadakan kemudian dan menyalahi kitab, sunnah, ijmak dan atsar adalah bid’ah yang sesat dan setiap perbuatan yang baik diadakan kemudian, tidak menyalahi sesuatupun dari demikian adalah bid’ah terpuji

  1. Ibnu Mulaqqan mengatakan :

Bid’ah adalah mengada-adakan sesuatu yang tidak ada sebelumnya. Maka yang menyalahi sunnah adalah bid’ah dhalalah dan yang sepakat dengan sunnah adalah bid’ah al-hudaa (terpetunjuk/benar.

  1. Syaikh Abu Muhammad bin Abdussalam dalam Kitabnya, al-Qawa’id membagi bid’ah dalam lima pembagian, yaitu : wajib, haram, makruh, mustahabbah dan mubah. Sayyed ad-Dimyathi setelah mengutip pernyataan Ibnu Abdussalam di atas, memberikan contoh-contoh bid’ah, yaitu sebagai berikut : contoh wajib : membukukan al-Qur’an dan syari’at apabila dikuatirkan hilang, contoh haram : bid’ah-bid’ah yang dilakukan oleh orang-orang dhalim seperti memungut pajak, contoh makruh : menghiasi mesjid dan mengkhususkan ibadah malam hanya malam Jum’at, contoh mustahabbah : melaksanakan Shalat Tarawih dengan berjama’ah, membangun perkumpulan dan madrasah-madrasah dan contoh mubah : berjabatan tangan setelah Shalat Subuh dan Ashar

Dengan demikian, maka bid’ah hasanah dengan makna sebagaimana disebut sebelum ini tidak termasuk dalam katagori bid’ah dengan makna ini, alias termasuk sunnah. Karena bid’ah hasanah menurut ulama yang membagi bid’ah kepada hasanah dan dhalalah, mempunyai dalil atau qawaid agama yang bersifat umum yang menjadi pendukungnya, meskipun amalan tersebut tidak ada contoh dari Rasulullah SAW.

Berdasarkan uraian ini, maka perbedaan penafsiran hadits diatas antara dua kelompok ulama ini bukanlah merupakan perbedaan yang substansial. Karena kedua kelompok ini sepakat bahwa amalan yang tidak ada contoh dari Rasulullah SAW tetapi didukung oleh dalil dan qawaid agama yang bersifat umum termasuk dalam katagori amalan yang diterima pada syara’. Mereka hanya berbeda pendapat dalam penamaannya saja. Kelompok pertama menamakan sebagai bid’ah hasanah, sedangkan kelompok kedua menamakannya sebagai amalan sunnah, tidak termasuk dalam katagori bid’ah. Ulama kelompok kedua ini mengatakan bahwa yang dimaksudkan dengan bid’ah pada hadits di atas adalah bid’ah syar’i sebagaimana makna yang disebutkan. Sedangkan bid’ah yang dibagi oleh ulama berdasarkan hukum syara’ yaitu wajib, sunnat, haram, makruh dan mubah adalah merupakan bid’ah secara bahasa sebagaimana tergambar pada keterangan ulama di bawah ini :

  1. Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan :

Yang dimaksud dengan sabda Nabi SAW, “setiap bid’ah adalah sesat” adalah sesuatu yang diada-adakan dan tidak ada dalil secara khusus atau umum dari syara’.”[52]

  1. Menurut Sayyed Alwi bin Ahmad As-Saqaf, setiap perkataan atau perbuatan ataupun keadaan yang tidak dukung oleh dalil syari’at yang sah adalah bid’ah yang tertolak. Pelakunya adalah orang yang tertipu, maksudnya adalah bid’ah menurut syara’ sebagaimana disebutkan dalam al-Fatawa al-Haditsah. Adapun bid’ah menurut bahasa terbagi dalam hukum yang lima, yaitu :
  2. wajib kifayah seperti belajar ilmu Arabiyah yang tergantung padanya pemahaman kitab dan sunnah seperti Nahu, Sharaf, Ma’ani, Bayan, loghat, tidak termasuk ‘Arudh dan Qawafii dan lainnya.
  3. haram seperti semua sikap ahli bid’ah yang berselisih dengan Ahlussunnah wal Jama’ah
  4. sunat seperti setiap kebaikan yang tidak dikenal pada zaman awal dan seperti pembahasan yang mendalam dalam Tasauf
  5. makruh seperti menghiasi mesjid dan menghiasi mashaf
  6. mubah seperti berlapang-lapang pada melezatkan makanan dan minuman.[53]

Sayyed Alwi bin Ahmad As-Saqaf sebagaimana uraian di atas, meskipun berpendapat bahwa bid’ah menurut syara’ hanya terbatas bid’ah dhalalah, namun beliau tetap mengakui bahwa perbuatan yang tidak ada contoh dari Nabi SAW terbagi sesuai dengan hukum syara’, yaitu wajib, mubah, haram, sunnah dan makruh. Bid’ah yang terbagi lima ini menurut Sayyed Alwi bin Ahmad As-Saqaf adalah bid’ah menurut bahasa. Penjelasan Sayyed Alwi bin Ahmad As-Saqaf ini pada hakikatnya juga mengakui adanya pembagian bid’ah kepada bid’ah dhalalah dan bid’ah hasanah.

  1. Ibnu Katsir membagi bid’ah menjadi dua, yaitu :
  2. Bid’ah menurut syar’i , seperti sabda Nabi SAW :

“Setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.”

  1. Bid’ah secara bahasa, seperti ucapan Umar r.a. berkenaan dengan shalat taraweh berjama’ah pada bulan Ramadhan , beliau berkata :

“Sebaik-baik bid’ah adalah perbuatan ini.”[54]

  1. Berkata Ibnu Hajar al-Asqalany :

Yang dimaksud dengan “muhdatsaat” adalah sesuatu yang diada-adakan dan tidak ada dalilnya pada syara’ dan dinamakannya pada ‘uruf syara’ sebagai bid’ah. Sesuatu yang ada dalil yang ditunjuki syara’ atasnya, maka tidak termasuk bid’ah. Oleh karena itu, maka bid’ah pada ‘uruf syara’ merupakan tindakan tercela, berbeda halnya bid’ah secara bahasa, maka setiap yang diada-adakan dengan tanpa contoh dinamakan sebagai bid’ah, baik ia terpuji maupun yang tercela.[55]

Pada kali lain, Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan :

Yang dimaksud dengan sabda Nabi SAW, “setiap bid’ah adalah sesat” adalah sesuatu yang diada-adakan dan tidak ada dalil secara khusus atau umum dari syara’

  1. termasuk dalam katagori urusan agama yang bersifat ibadah, bukan urusan-urusan ‘adiyah dan urusan kehidupan yang tidak bersifat ibadah
  2. masuk di bawah pokok-pokok, maqashid syari’at atau perintah yang bersifat umum dari syari’at. Misalnya perayaan maulid Nabi SAW. Ini termasuk dalam pokok-pokok agama yang menganjurkan zikir kepada Allah dan memperbanyak shalawat kepada Nabi-Nya.
  3. tidak bertentangan dengan nash-nash syari’at. Oleh karena itu, bid’ah hasanah tidak dapat dituduh sebagai sesuatu yang hanya didasarkan kepada hawa nafsu manusia.
  4. dianggap oleh kaum muslimin sebagai perbuatan yang baik.

2.6 Bid’ah dalam kaidah hukum / syariat

  • Bid’ah wajib
    Seperti mempelajari ilmu nahwu dan sharaf (gramatika bahasa Arab) yang dengannya dapat memahami kalam Ilahi dan sabda Rasulullah. Ini termasuk bid’ah wajib, karena ilmu ini berfungsi untuk menjaga kemurnian syariat, sebagaimana dijelaskan dalam kaidah fikih,

‎مَا لاَيَتِمُّ الوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
“Sesuatu yang tanpanya kewajiban tidak akan berjalan sempurna maka sesuatu itu pun menjadi wajib hukumnya.”

  • Bid’ah haram
    Seperti pemikiran sekte Al Qadariyah, sekte Al Jabariyah, sekte Al Murji’ah dan sekte Al Khawarij, paham bahwa Al Qur’an adalah produk budaya, dan paham bahwa zamantini masih jahiliyah sehingga hukum-hukum Islam belum bisa diterapkan, dan lain sebagainya.
  • Bid’ah sunah
    Seperti merenovasi sekolah, membangun jembatan, shalat tarawih secara bejamaah dengan satu imam, dan adzan dua kali pada shalat Jum’at.
  • Bid’ah makruh
    Seperti menghiasi atau memperindah Masjid dan Kitab Al Qur’an.
  • Bid’ah mubah
    Seperti, bersalaman usai shalat jamaah, tahlil, memperingati Maulid Nabi SAW, berdoa dan membaca Al Qur’an di kuburan, dzikir secara berjamaah dengan dipimpin imam usai shalat, dzikir dengan suara keras secara berjamaah, dan keanekaragaman bentuk pakaian dan makanan.

    Mengenai bid’ah mubah ini diperlukan sikap toleransi yang tinggi di kalangan umat Islam untuk menjaga persatuan dan persaudaraan yang hukumnya wajib, artinya siapa saja boleh melakukan dan meninggalkannya, jangan sampai ada pemaksaan sedikitpun dalam melakukannya apalagi saling merasa benar atau menyalahkan kelompok lainnya.

2.7 Pandangan Bid’ah dari kelompok atau aliran lain

  1. Doktrin tasyrikatau menilai sebuah amaliyah tertentu sebagai bagian dari Syirik atau menyekutukan Allah. Doktrin tasyrikini misalkan memuat larangan agar umat Islam tidak boleh mengangkat manusia, baik yang masih hidup maupun yang sudah meningal, untuk dijadikan perantara dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah.
  2. konsep yang kerap mewarnai doktrin-doktrin kaum Wahabi adalah apa

yang disebut dengan bid’ah. Bid’ahmenurut kaum Wahabi adalah praktik-praktik

keagamaan yang tidak didasarkan   atau tidak ada dasarnya dalam al-Qur’an

dan Sunnah serta otoritas sahabat Nabi. Sehingga konsep bi’dah versi Wahabi

ini biasanya dipasangkan sebagai lawan negatif dari sunnah. Dengan demikian,

menegakkan sunnah melibatkan tindakan meninggalkan bid’ah. Kaum Wahabi

tidak mengakui adanya bid’ah yang baik (bid’ah hasanah), melainkan seluruh

bid’ahitu adalah negatif dan didefinisikan secara kronologis: bid’ahadalah seluruh

praktik atau konsep keagamaan yang baru ada setelah abad ketiga Hijriyah. Dengan

demikian, periode perkembangan konsep atau praktik keagamaan baru yang bisa

diterima tidak hanya meliputi dua generasi pertama kaum Muslim, yakni generasi

sahabat dan tâbi‘în, tetapi juga periode para imam empat mazhab fikih Sunni

  1. Konsep lainnya yang banyak mendapat penekanan dari kaum Wahabi adalah

soal taklid dan hukum bermadzhab. Taklid dan bermadzhab bagi Ibnu Abdul

Wahab merupakan salah satu perbuatan yang telah mengarah pada pengkultusan

seseorang, padahal menurut Wahabi tidak ada yang patut dikultuskan kecuali

hanya Allah semata. Oleh karena itu, satu-satunya rujukan atau tempat berpaling

umat Islam itu hanyalah al-Qur’an dan Sunnah serta otoritas sahabat Nabi

2.8 Pandangan dan Respon NU terhadap Aksi klaim syirik tentang bid’ah dari kelompok lain

  • Respon dari Kalangan NU Struktural

Agenda programatik tersebut ada yang bersifat kelembagaan dan ada juga

yang bersifat praksis gerakan. Untuk yang kelembagaan, Musykerwil tahun 2012

mengagendakan untuk melakukan konsolidasi organisasi melalui Turba (turun ke

bawah) ke PCNU-PCNU di lingkungan DIY. Turba ini dilakukan dengan tujuan

untuk:

1) Sebagai upaya transformasi pengetahuan tentang peta gerakan keagamaan

yang berkembang di Indonesia belakangan ini, termasuk di dalamnya tentang

Wahabisme.

2) Sebagai upaya penyegaran terhadap gerak langkah organisasi dalam

upaya pembentengan warga atau anggota NU dari infiltrasi kelompok-kelompok

yang berusaha mengancam akidah NU, khusunya dari pengaruh Wahabi

dalam hal praksis gerakan, Musykerwil PWNU tahun 2012,

melalui lembaga dan lajnah yang ada di bawahnya telah   menyusun sejumlah program strategis untuk merespon gerakan Wahabisme yang semakin marak muncul

di Yogyakarta. Program-program stretegis itu antar lain adalah:

1) Mendirikan sejumlah Radio Komunitas (Rakom) di 5 PCNU di DIY.

2) Menerbitkan kembalimajalah “Bangkit” sebagai media silaturrahim dan sekaligus kampanye bagi ajaranajaran NU.

3). Membuat wibsite resmi PWNU DIY.

4). Membangun kerjasama dengan media-media populer di Jogja untuk kampanye Islam ala NU.

5). Penguatankapasitas guru-guru Aswaja yang ada di sekolah-sekolah LP Ma’arif NU.

6).Melakukan pendataan sekaligus pendampingan terhadap masjid-masjid NU.

7).Menerbitkan sejumlah buku yang menjelaskan tentang dalil-dalil amaliyah NU.

Dan

8). Menyelenggrakan sejumlah kajian tentang peta gerakan Islam kontemporer

di sejumlah pesantren-pesantren NU di DIY.

 

Ke tujuh program di atas, dalam investigasi yang penulis lakukan, secara

jelas dan terang-terangan diarahkan untuk merespon kuatnya dakwah Wahabi di

Yogyakarta.   Radio komunitas misalkan, didirikan sebagai upaya mengimbangi

pengaruh-pengaruh radio yang dikelola oleh kelompok Wahabisme maupun

kelompok keagamaan yang bercorak Wahabi seperti Radio MTA (Majelis Tafsir

al-Qur’an). Begitu pula, majalah “Bangkit” diterbitkan kembali sebagai upaya

membentengi warga NU DIY dari pengaruh majalah-majalah yang beraliran Wahabi

yang marak sekali muncul di Yogyakarta. Sedangkan penguatan guru-guru Aswaja

adalah sebagai ihtiyar untuk memantapkan pemahaman dan keyakinan pelajarpelajar Ma’arif terhadap ideologi dan amaliyah NU yang belakangan ini banyak

dicela dan diharamkan oleh kelompok Wahabi. Demikian juga dengan pendataan

masjid-masjid yang diidentifikasi sebagai masjid NU juga sebagai respon atas

banyaknya upaya infiltrasi dari kelompok Wahabi ke dalam masjid-masjid NU maraknya dakwah Wahabi yang kerap

menyerang dan membid’ahkan amaliyah NU ini, pengurus ranting NU Sitimulyo

meresponnya dengan mengadakan sejumlah kajian yang berisi tentang penguatan

dalil-dalil amaliyah NU dan kajian kitab Aswaja pada setiap hari Sabtu Pon keliling

di rumah-rumah. Kajian ini sebenarnya sudah ada sejak lama dan sempat vakum

ketika gempa 2006 lalu. Dengan maraknya dakwah Wahabi, sejumlah orang yang

sudah sejak awal setia dengan amaliyah NU ini merasa perlu mengaktifkan lagi

dan diisi dengan kajian kitab Aswaja. Bila sebelumnya kegiatan ini hanya berupa

mujahadah, namun sekarang justru ditambah dengan kajian kitab.34

Sedangkan dikalangan ibu-ibu, kegiatan-kegiatan shalawatan justru sekarang semakin semarak. Setiap RT di desa Sitimulyo kini memiliki kelompok shalawatan yang dilantunkan oleh ibu-ibu muslim desa itu. Mereka berkelilig dari satu rumah ke rumah lainnya untuk melantunkan nyanyian berisi puji-pujian kepada Nabi Muhamamd Saw ini. Begitu pula   di kalangan pemuda dan pemudi desa Sitimulyo, shalawatan kini sudah menjadi “magnet” yang mampu mempertemukan mereka dalam forum-forum yang sebelumnya tidak mereka lakukan. Bila sebelumnya tradisi shalawatan ini hanya dilakukan oleh kaum ibu-ibu, dalam dua tahun terakhir ini Implikasi Gerakan Anti-Wahabisme NU terhadap Deradikalisasi derajat (dignity) kemanusiaan.

Respon dari Kalangan NU Kultural

  • menggelar sejumlah kajian dan ritus-ritus yang bercorak ke-NU-an seperti tahlilan, shalawatan dan semaan di lingkungan UGM
  • Sejumlah Gerakannya adalah ;

1). Menyelenggarakan dauroh KMNU di sejumlah pesantren milik kiai NU di kawasan Yogyakarta.

2). Menyelenggarakan Kajian rutin yang diberi nama KISWAH (Kajian Islam Ahli Sunnah wal Jama’ah) setiap hari minggu di Masjid Kampus UGM.

3). Menggelar sejumlah acara amaliyah NU seperti tahlilan, shalawatan dan semaan berkeliling dari satu fakultas ke fakultas yang lain di lingkungan kampus UGM.

4). Melakukan infiltrasi keejumlah masjid atau mushalla di lingkungan UGM dengan cara menjadi relawan atau takmir di masjid tersebut.

5). Pendampingan terhadap mahasiwa baru dari

kalangan santri NU agar tidak masuk ke kelompok keagamaan di luar NU

 

BAB III

PENUTUP

  • KESIMPULAN

Bid’ah merupakan suatu perkara yang belum pernah ada di zaman rasulullah SAW, bid’ah dibagi menjadi 2 yaitu bid’ah hasanah dan bid’ah dhalalah . respon terhadap klaim dari kelompok lain Nu khususnya di wilayah yogyakartab membuat berbagai program untuk mengantisipasi adanya tindak ekstrimisme dari golongan lain terhadap bid’ah. Perlu adanya gerakan – gerakan dari seluruh tatanan masyarakat nu baik dari tatanan strruktural maupun kultural guna mewujudkan warga nu yang menjunjung tinggi nilai” islamiyah.

 

Daftar Pustaka

Jurnal Anam, Choirul, Pertumbuhan,dan Perkembangan Nahdlatul Ulama, Solo: Penerbit

Jatayu, 1984.

http://www.facebook.com/von.edison.alouisci

 

PERAN NU DARI MASA KE MASA

PERAN NU DARI MASA KE MASA

 index

 

Dosen Pengampu : Nur Rohman, S.Pd., M.Si.

Nama Kelompok :

  1. Nita Ayu Fitriani (151120001581)
  2. Ery Setiawati (151120001594)
  3. Khalimatus Sa’diyah (151120001595)
  4. Nurul Isti’anah (151120001599)

Kelas : AA

UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA

Taman Siswa (Pekeng) Tahunan Jepara 59427


KATA PENGANTAR

 

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas petunjuk-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah sebagai tugas yang diberikan oleh dosen.

Meskipun makalah ini belum sempurna semoga bermanfaat bagi pembaca. Tak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini. Serta penulis selalu mengaharap kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dimasa mendatang.

 

 

Penulis

                                                                                                Jepara, Mei 2016

 

 

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.. i

DAFTAR ISI. ii

BAB I PENDAHULUAN.. 1

1.1        Latar Belakang. 1

1.2        Rumusan Pembahasan. 1

1.3        Tujuan. 1

BAB II PEMBAHASAN.. 2

2.1 Peran NU Pada Masa Penjajahan. 2

2.1.1 Masa Penjajahan Belanda. 4

2.1.2 Masa Penjajahan Jepang. 4

2.2 Peran NU Pada Masa Kemerdekaan. 5

2.3 Peran NU Pada Masa Mempertahankan Kemerdekaan. 6

2.4 Peran NU Pada Masa Orde Lama. 6

2.5Peran NU Pada Masa Orde Baruditambah kembali ke khittah. 7

2.6 Peran NU Pada Masa Reformasi 12

2.7 Peran NU Pasca Reformasi 14

BAB III PENUTUP. 17

3.1 Simpulan. 17

3.2 Saran. 17

DAFTAR PUSTAKA.. 18

 

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Dengan semakin berkembangnya zaman, NU harus dapat ikut menyesuaikan terhadap adanya perubahan tersebut. Maka dari itu, peran NU sangat penting untuk kita pelajari dari masa ke masa. Seperti peribahasa yang berbunyi “Kacang tidak lupa kulitnya” yang berarti bahwa kita sebagai warga NU seharusnya tidak melupakan sejarah berdirinya NU dan peran NU dari masa ke masa. Karena itu adalah hal yang sangat penting untuk diketahui dan dipelajari oleh semua warga NU atau yang sering disebut warga Nahdliyin.

 

1.2  Rumusan Pembahasan

  1. Bagaimana peran NU pada masa penjajahan?
  2. Bagaimana peran NU pada masa kemerdekaan?
  3. Bagaimana peran NU pada saat mempertahankan kemerdekaan?
  4. Bagaimana peran NU pada saat orde lama?
  5. Bagaimana peran NU pada saat orde baru?
  6. Bagaimana peran NU pada saat reformasi?
  7. Bagaimana peran NU pasca reformasi?

 

1.3  Tujuan

  1. Untuk mengetahui peran NU pada masa penjajahan.
  2. Untuk mengetahui peran NU pada masa kemerdekaan.
  3. Untuk mengetahui peran NU pada saat mempertahankan kemerdekaan.
  4. Untuk mengetahui peran NU pada saat orde lama.
  5. Untuk mengetahui peran NU pada saat orde baru.
  6. Untuk mengetahui peran NU pada saat reformasi.
  7. Untuk mengetahui peran NU pasca reformasi.

 

BAB II
PEMBAHASAN

 

2.1 Peran NU Pada Masa Penjajahan

Pesantren (baca: pusat pembelajaran NU) dan Madrasah (baca: pusat pendidikan formal NU yang didirikan K.H. Wahid Hasyim Asy’ari 1938) sebagai front perlawanan terhadap penjajah merupakan kenyataan sejarah yang terjadi disetiap tempat dan zaman.Perlawanan digerakkan dari pesantren dan karenanya pesantren menjadi basis perlindungan kaum pejuang kemerdekaan.Demikian halnya yang terjadi di pesantren Demangan Bangkalan yang dipimpin Kiai Cholil yang sangat kharismatik. Suatu ketika, ada beberapa pejuang dari Jawa yang bersembunyi dikompleks Pesantren Demangan yang jauh dari keramaian kota itu.

Lama-kelamaan tentara penjajah mencium gelagat itu, maka tidak ada pilihan lain kecuali harus mengerahkan tentara yang cukup besar untuk mengobrak-abrik  kompleks pesantren. Mereka begitu yakin para pejuang bersembunyi di pesantren, tetapi mereka terkejut dan  marah ketika dalam setiap penggerebekan tak menemukan apa-apa. Tidak seorang pun yang dicurigai sebagai pejuang kemerdekaan ditemukan, di antara sekian santri yanag sedang mengaji.Karena jengkel, akhirnya mereka menahan Kiai Cholil sebagai sandera.Mereka berharap, dengan menyandera Kiai Cholil yang sudah sepuh itu, para pejuang mau menyerahkan diri.

Ketika Kiai Cholil dimasukkan ke dalam tahanan, Belanda direpotkan oleh  berbagai kejadian yang aneh-aneh. Mula-mula, semua pintu tahanan tak bisa ditutup, hal itu membuat semua aparat penjajah harus berjaga siang dan malamagar tahanan yang lain tidak melarikan diri. Sementara itu para pejuang ditunggu-tunggu tidak kunjung menyerahkan diri, walaupun pimpinan mereka ditangkap.

Melihat kiainya ditahan, maka setiap hari ribuan orang dari berbagai penjuru Pulau Madura, bahkan juga dari Jawa berdatangan untuk menjenguk dan mengirim makanan kepada Kiai Cholil yang sangat mereka hormati. Tentu saja hal itu juga memusingkan pihak penjajah, karena penjara menjadi ramai seperti pasar.Akhirnya mereka mengeluarkan larangan mengunjungi Kiai Cholil.Tapi ini juga tidak menyelesaikan masalah.Masyarakat yang berbondong-bondong itu berkerumun, berjejal di sekitar rumah tahanan, bahkan ada yang minta ikut ditahan bersama Kiai Cholil.Melihat kenyataan itu akhirnya Belanda membuat pertimbangan. Dari pada dipusingkan dengan hal-hal yang tak bisa diatasi, maka akhirnya pihak penjajah membebaskan  Kiai Cholil tanpa syarat.

Penghormatan masyarakat Jawa dan Madura pada kiai yang satu ini sangat besar, selain menjadi guru hampir dari keseluruhan kiai Jawa, sejak Kiai Hasyim Asy’ari, Wahab Hasbullah, Kiai As’ad dan sebagainya, Kiai itu juga dipercaya sebagai waliyullah yang sangat makrifat. Sang Kiai memang orang yang alim dalam ilmu nahwu, fiqh dan tarekat.Ia tidak hanya menghafal Al-qur’an, tetapi juga menguasai segala ilmu Al-qur’an, termasuk qira’ah sab’ah (tujuh macam seni baca Al-qur’an).

Sebagai seorang wali maka ia dimintai restu oleh berbagai kalangan, termasuk salah satu ulama yang melegitimasi lahirnya NU adalah Kiai Cholil, sebab sebelum mendapat isyarah dari Kiai Cholil, Kiai Hasyim Asy’ari masih menunda gagasan yang dilontarkan oleh Kiai Wahab Hasbullah untuk mendirikan jam’iyah ulama itu. Baru setelah mendapat restu Kiai Cholil, melalui Kiai As’ad Syamsul Arifin, Kiai Hasyim Asy’ari segera mendeklarasikan NU sebagai organisasi sosial, yang segera disambut oleh seluruh ulama Jawa, Madura bahkan luar Jawa dan dari luar naegeri.

Menentapkan kedudukan Hindia Belanda sebagai Dar Al-Salam yang menegaskan keterikatan NU dengan nusa bangsa. Hal ini dapat dilihat pada Muktamar Nahdlatul Ulama ke-II di Banjarmasin pada tahun 1936. Sikap Nahdlatul Ulama yaitu menerapkan politik non coorporation (tidak mau kerjasama) dengan Belanda dengan menanamkan rasa benci kepada penjajah para ulama mengharamkan segala sesuatu yang berbau Belanda sehingga semakin menumbuhkan rasa kebangsaan dan anti penjajahan.

Meskipun disadari peraturan yang berlaku tidak menggunakan Islam sebagai dasarnya, akan tetapi Nahdlatul Ulama tidak mempersoalkan, karena yang terpenting adalah umat Islam dapat melaksanakan syariat agamanyadengan bebas.

 

2.1.1 Masa Penjajahan Belanda

Pada awal periode berdirinya, NU lebih mengutamakan pembentukan persatuan di kalangan umat Islam untuk melawan kolonial Belanda. Untuk mempersatukan umat islam, K.H.Hasyim Asy’ary melontarkan ajakan untuk bersatu dan mengajukanperilaku moderat. Hal ini diwujudkandalam sebuah konfederasi, MajlisIslam A’la Indonesia(MIAI) yangdibentuk pada tahun 1937. Perjuangan NU diarahkan pada duasasaran, yaitu : Pertama, NUmengarahkan perjuangannya padaupaya memperkuat aqidah dan amalibadah ala ASWAJA disertaipengembangan persepsi keagamaan, terutama dalam masalah sosial, pendidikan,dan ekonomi. Kedua,perjuangan NU diarahkan kepadakolonialisme Belanda dengan polaperjuangan yang bersifat kulturaluntuk mencapai kemerdekaan. Selain itu, sebagai organisasi sosialkeagamaan NU bersikap tegasterhadap kebijakan kolonial Balandayang merugikan agama dan umatIslam. Misalnya : NU menolakberpartisipasi dalam Milisia (wajib militer), menentang undang undangperkawinan, masuk dalam lembagasemu Volksraad, dan lain-lain.

 

2.1.2 Masa Penjajahan Jepang

Pada masa penjajahan Jepang semuaorganisasi pergerakan nasionaldibekukan dan melarang seluruhaktivitasnya, termasuk NU. Bahkan K.H.Hasyim Asy’ary(Rois Akbar)dipenjarakan karena menolak penghormatan kaisar Jepang dengancara membungkukkan badan ke arahtimur pada waktu-waktu tertentu. Mengantisipasi perilaku Jepang, NUmelakukan serangkaian pembenahan. Untuk urusan kedalam diserahkan kepada K.H.Nahrowi Thohir sedangkan urusankeluar dipercayakan kepada K.H. Wahid Hasyim dan K.H. WahabHasbullah. Program perjuangandiarahkan untuk memenuhi tigasasaran utama, yaitu : 1.)Menyelamatkan aqidah Islam darifaham Sintoisme, terutama ajaranShikerei yang dipaksakan olehJepang. 2.)Menanggulangi krisis ekonomisebagai akibat perang Asia Timur bekerjasama dengan seluruhkomponen Pergerakan Nasionaluntuk melepaskan diri dari segalabentuk penjajahan. Setelah itu, Jepang menyadarikesalahannya memperlakukan umatIslam dengan tidak adil. Beberapaorganisasi Islam kemudian dicairkanpembekuannya. 3.)Untuk menggalangpersatuan, pada bulan Oktober 1943 dibentuk federasi antar organisasiIslam yang diberi nama Majlis SyuroMuslimin Indonesia (MASYUMI). Padabulan Agustus 1944 dibentukShumubu(Kantor Urusan Agama)untuk tingkat pusat, dan Shumuka untuk tingkat daerah.

 

2.2 Peran NU Pada Masa Kemerdekaan

Pada tanggal 7 September 1944Jepang mengalami kekalahan perangAsia Timur, sehingga pemerintah Jepang akan memberikankemerdekaan bagi Indonesia. Untukitu dibentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia(BPUPKI). BPUPKI berangggotakan 62orang yang diantaranya adalah tokohNU (K.H. Wahid Hasyim dan K.H.Masykur). Materi pokok dalam diskusi-diskusiBPUPKI ialah tentang dasar danbentuk Negara. Begitu rumitnyapembahasan tentang dasar danfalsafah Negara maka disepakatidibentuk “Panitia Sembilan”. Dalam panitia kecil ini NU diwakili oleh K.H.Wahid Hasyim, hasilnya disepakatipada dasar Negara mengenai“Ketuhanan” ditambah dengankalimat “Dengan kewajibanmenjalankan Syari’at Islam bagi pemeluknya”. Keputusan ini dikenal dengan “Piagam Jakarta”. Sehari setelah Indonesia merdeka,Moh Hatta memanggil empat tokohmuslim untuk menanggapi usulankeberatan masyarkat non muslimtentang dimuatnya Piagam Jakartadalam pembukaan UUD 1945. Demi menjaga keutuhan dan kesatuanbangsa, K.H. Wahid Hasyimmengusulkan agar Piagam Jakartadiganti dengan “Ketuhanan yangMaha Esa”. Kata “Esa” berarti keesaanTuhan (Tauhid) yang ada hanya dalam agama Islam, dan usul iniditerima.

 

2.3 Peran NU Pada Masa Mempertahankan Kemerdekaan

Pada 16 September 1945 tentara Belanda (NICA) tiba kembali di Indonesia dengan tujuan ingin kembali menguasai Indonesia. Melihat ancaman tersebut, NU segera mengundang para utusan dan pengurus seluruh Jawa dan Madura dalam sidang Pleno Pengurus Besar pada 22 Oktober 1945. Pada rapat tersebut dikeluarkan “Resolusi Jihad” yang secara garis besar berisi : Kemerdekaan Indonesia wajib dipertahankan Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah wajib dibela dan diselamatkan. Musuh RI, terutama Belanda pasti akan menggunakan kesempatan politik dan militer untuk kembali menjajah Indonesia. Umat Islam terutama warga NU wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan kawan-kawannya yang hendak kembali menjajah Indonesia. Kewajiban Jihad tersebut adalah suatu jihad yang menjadi kewajiban bagisetiap muslim (Hukumnya fardlu ‘Ain). Resolusi Jihad ini benar-benar menjadi inspirasi bagi berkobarnya semangat juang Arek-Arek Surabaya dalam peristiwa 10 November 1945 yang dikenal dengan”Hari Pahlawan”.

 

2.4 Peran NU Pada Masa Orde Lama

Pada periode 1960-1966 NU tampil menjadi kekuatan yang melawan komunisme, hal ini dilakukan dengan membentuk beberapa organisasi, seperti : Banser (Barisan Ansor SerbaGuna), Lesbumi (Lembaga Seni Budaya Muslim), Pertanu (Persatuan Petani NU), dan lain-lain. Pada tanggal 5 Oktober1965 NU menuntut pembubaran PKI. Sebagai salah satu sikap perjuangan NU melawan pemerintahan kolonial Belanda adalah menolak berpartispasi dalam wajib militer, mendirikan partai politik untuk melawan Belanda, mengadakan perang gerilya, menuntut adanya pemilihan umum untuk memilih presiden, dan menolak kedatangan Jepang.

NU dalam setiap penyelenggaraan pemilu menjadi “Gadis Molek” yang diperebutkan semua kekuataan politik sejak Orde Lama sampai sekarang. NU mulai berpolitik sejak bergabung dengan entitas organisasi masyarakat keislaman lain dengan membentuk Masyumi yang diketuai oleh K.H. Wahid Hasyim. NU menjadi partai pada pemilu 1955.

Prestasi yang disandang NU, diantaranya: Pertama, penyelenggaraan Pemilu pertama diserahkan kepada sebuah panitia Pemilu yang anggotanya terdiri dari wakil-wakil partai politik. Jadi, tidak dilaksanakan oleh pemerintah. Hal yang demikian dikenang dan dicatat oleh sejarah sebagai Pemilu yang diselenggarakan berdasarkan policy Mendagri Mr. Soenarjo (dari NU). Pada Pemilu ini, NU meraih 45 kursi di parlemen (DPR). Kedua, lahirnya Peraturan Pemerintah 10: membatasi aktifitas ekonomi para pengusaha asing serta bertujuan memproteksi dan mendorong agar para pengusaha pribumi dapat berkembang. Peraturan Pemerintah ini lahir pada saat Departemen Perdagangan dipimpin oleh Drs. Rahmat Mulyoamiseno (NU). Ketiga, penggagasan berdirinya masjid Istiqlal oleh K.H. A. Wahid Hasyim (Menteri Agama saat itu) dan disetujui Presiden Soekarno. Adapun pelaksanaannya direalisasikan pada masa Menteri Agama K.H. M. Ilyas (NU). Keempat, penggagasan pendirian IAIN oleh K.H. Wahib Wahab (Menteri Agama saat itu). Kelima, realisasi penerjemahan al-Qur’an kedalam bahasa Indonesia oleh Menteri Agama Prof. K.H. Syaifuddin Zuhri (NU). Keenam, penyelenggaraan kegiatan Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) yang diprakarsai oleh Menteri Agama K.H. M. Dahlan (NU), yang di kemudian hari menjadi acara nasional, silaturrohmi para qori’ dan huffadz se-tanah air. Ketujuh, penggagalan terbentuknya “Kabinet Kaki Empat” (PNI-PKI-Masyumi-NU), perlawanan langsung terhadap aksi-aksi PKI disegala bidang. Ketika Prof. Dr. Hamka dihantam PKI, NU melalui media massa yang dimilikinya, yaitu surat kabar harian Duta Masyarakat (Dumas) secara terang-terangan membela Hamka. Puncak dari perlawanan NU terhadap PKI adalah gagalnya G30S PKI. NU tercatat sebagai partai politik pertama yang mengusulkan kepada Presiden Soekarno agar PKI dibubarkan. Sikap tegas ini dicetuskan oleh NU pada tanggal 5 Oktober 1965 ketika masyarakat Indonesia masih bersikap ragu-ragu tentang siapa yang menjadi arsitek G30S PKI.

 

2.5Peran NU Pada Masa Orde Baru

Proses NU kembali ke khittah 1926 dilalui dengan lika-liku yang panjang. Gagasan itu sebenarnya sudah muncul sejak muktamar NU 1962 di Solo. Sesudah itu dalam muktamar Bandung 1967 dan Surabaya 1971 tidak terdengar lagi isu tentang itu. Namun tidak berarti substansinya sama sekali hilang dari perhatian para pemimpin NU. Tarik menarik antara keinginan untuk menjadikan NU sebagai organisasi politik dan keinginan untuk tetap sebagai organisasi sosial keagamaan terjadi sejak lama. Muktamar Menes 1938 ketika membahas perlunya NU menempatkan wakil dalam Dewan Rakyat (Volksraad) atas usul cabang Indramayu, ditolak sidang dengan perbandingan 39, 11, dan 3. Ketika NU memutuskan keluar dari Masyumi dan membentuk dirinya menjadi partai politik, muktamar Palembang 1952 memutuskan menerima dengan perbandingan suara 61, 9, dan 7. Hal ini menggambarkan bahwa tarik menarik itu tidak berjalan mulus.

Ketika muktamar Menes berkeinginan untukmenjadi partai politik didukung 11 cabang dan 3 abstain. Dalam muktamar Palembang ada 9 cabang yang tidak menyetujui usul keluar dari Masyumi membentuk diri sebagai partai politik, 7 cabang abstain. Muktamar NU 1979 di Semarang mengisyaratkan langkah yang setengah hati. Sementara ingin memperkuat sisi jam’iyah dengan pengembangan program dasar lima tahun yang sarat dengan cita-cita luhur, tetapi tak hendak melepaskan dunia politik yang sudah digeluti sejak lama. Ibarat langkah dengan kaki sebelah, sementara kaki yang sebelah lagi ingin tetap menginjak dunia lain. Langkah yang serba pincang dan setangah hati itu bukanlah tanpa alasan. Sejarah masa lain NU dan tradisi keagamaan yang dicoba untuk dikembangkan sarat dengan pesan-pesan yang berdimensi politik. Referensi fikih yang digumuli NU tidak sepi dari pesan itu. Mulai dari bab qada (kekuasaan hukum), imamah (kekuasaan politik), imarah al-jaisy (kekuasaan militer), atau kitab al-buqhat (bab tentang pemberontakan) dan lain sebagainya, mengandung implikasi pesan politik. Semua ini pada akhirnya berpengaruh langsung maupun tidak langsung, terhadap sikap dan perilaku NU selanjutnya.

Setelah NU memasuki dunia politik lebih formal awal kemerdekaan ketika tergabung bersama organisasi Islam lain dalam Masyumi, lalu dunia politik menjadi bagian penting dari kehidupan NU. Jika pada mulanya persinggungan itu masih dilapisi jarak untuk dapat menggeluti aspek sosial keagamaan, lambat laun keterlibatan dengan politik itu semakin intens, aspek politik akhirnya menyeret NU meninggalkan kegiatan utamanya sebagai organisasi sosial keagamaan. Langkah NU setelah berubah menjadi partai politik untuk mencapai tujuan-tujuan politiknya justru mengakibatkan terabaikannya sifat pelayanan sosialnya.Kepentingan-kepentingan grup dan perorangan untuk memperebutkan jabatan atau kesempatan politik tidak terbendung lagi. Akibat kerumitan penataan distribusi politik terus mendesak, maka kegiatan-kegiatan non politik tidak terperhatikan lagi. Fenomena ini terlihat dalam muktamar NU 1971 di Surabaya. Menghadapi gagasan pemerintah untuk menyederhanakan sistem kepartaian, NU ingin tetap bertahan sebagai partai politik dan memberi kemungkinan membentuk wadah baru untuk menampung kegiatan-kegiatan nonpolitik. Ini menandai salah satu dari ketidakmampuan NU menyelesaikan garapan bidang-bidang nonpolitik karena ikatannya dengan aspek politik begitu kuatnya. Oleh karena itu ketika NU dipaksa untuk melakukan pilihan, oleh kebijaksanaan politik Orde Baru, antara tetap menjadi partai politik atau mengubah dirinya kembali menjadi jam’iyah, keputusan muktamar Surabaya ingin tetap menjadi partai politik dan menyerahkan garapan bidang nonpolitik kepada badan baru yang direkomendasikan pembentukannya. Namun keputusan itu masih disertai alternatif jika kondisi obyektif tidak memungkinkan lagi NU bertahan, muktamar menyerahkan untuk mengambil keputusan lain kepada PBNU. Benar saja realitas yang terjadi setelah kemenangan Golkar yang begitu mencolok dalam pemilihan umum 1971, gagasan penyederhanaan sistem kepartaian menjadi prioritas rencana pemerintah selanjutnya. Mulanya dengan anjuran pengelompokan partai dalam DPR selanjutnya menuju fusi antar partai. Setelah fusi itu berjalan maka undang-undang yang mengatur organisasi kepartaian ditetapkan dengan hanya mengakui dua partai politik dan satu golongan karya. Setelah fusi itu maka partai-partai Islam yang berfusi sepakat menyalurkan aspirasi dan perjuangan politik mereka melalui partai hasil fusi itu dan selanjutnya organisasi mereka mengkhususkan kegiatan dalam bidang nonpolitik. Namun tidak lantas dengan demikian persoalan-persoalan partai hasil fusi itu selesai dengan sendirinya. Konflik kepentingan antar unsur yang berfusi terus membayangi perjalanan partai itu. Menjelang akhir sepuluh tahun pertama usia partai hasil fusi, konflik terbuka pun pecah, antar unsur bekas partai yang berfusi memperebutkan kepentingan-kepentingan mereka. Akibatnya perolehan suara dalam pemilihan umum 1982 menurun dan bertambah anjlok pada pemilihan berikutnya 1987. Fusi partai-partai Islam tahun 1973 memberi keuntungan kepada NU sebab fusi itu dilakukan ketika NU berhasil memperoleh suara yang mengungguli jauh partai-partai Islam lainnya. Dengan posisi 58 kursi dari seluruh kursi partai Islam 94 kursi, berarti NU mengantongi 61,7% suara gabungan partai-partai Islam itu. Akan tetapi menjelang pemilihan umum tahun 1982, posisi itu mulai digugat unsur MI dalam PPP. Konflik pun akhirnya pecah secara terbuka. Dengan dukungan pejabat-pejabat pemerintah gugatan MI berhasil mengurangi posisi perimbangan kekuatan NU tidak lagi dominan seperti sediakala. Kekecewaan yang dialami NU akibat konflik dengan unsur lain dalam PPPberkembang menjadi salah satu faktor pendorong yang mempercepat langkah NU menuju khittah 1926.

Pada masa ini dinamika NU dalam bernegara sangat terasa, dari mendukung hingga oposisi terhadap pemerintahan. Namun NU lebih konsen karena kembali ke Khittah sebagai ormas bukan lagi partai politik. Sehingga NU lebih leluasa dalam mengambil sikap dan gerakannya terhadap pembangunan NKRI.

Setelah Kabinet Ampera terbentuk (25 Juli 1966).Menyusul tekad membangun dicanangkan UU Penanaman Modal Asing (10 Januari 1967), kemudian Penyerahan Kekuasaan Pemerintah RI dari Soekarno kepada Mandataris MPRS (12 Februari 1967), lalu disusul pelantikan Soeharto (12 Maret 1967) sebagai Pejabat Presiden sungguh merupakan kebahagiaan tersendiri bagi Gerakan Pemuda Ansor.  Luapan kegembiraan itu tercermin dalam Kongres VII GP Ansor di Jakarta.Ribuan utusan yang hadir seolah tak kuat membendung kegembiraan atas runtuhnya pemerintahan Orde Lama, dibubarkannya PKI dan diharamkannya Komunisme, Marxisme dan Leninisme di bumi Indonesia.

Bukan berarti tak ada kekecewaan, justru dalam kongres VII itulahrasa tak puas dan kecewa terhadap perkembangan politik pasca Orde lama ramai diungkapkan. Seperti diungkapkan Ketua Umum GP Ansor Jahja Ubaid SH, bahwa setelah mulai rampungnya perjuangan Orde Baru, diantara partner sesama Orde baru telah mulai melancarkan siasat untuk mengecilkan peranan GP Ansor dalam penumpasan G30SPKI dan penumbangan rezim Orde Lama. Bahwa suasana Kongres VII dengan demikian diliputi dengan rasa kegembiraan dan kekecewaan yang cukup mendalam.

Kongres VII GP Ansor berlangsung di Jakarta, 23-28 Oktober 1967.hadir dalam kongres tersebut sejumlah utusan dari 26 wilayah (Propinsi) dan 252 Cabang (Kabupaten) se-Indonesia. Hadir pula menyampaikan amanat; Ketua MPRS Jenderal A.H.Nasution; Pejabat Presiden Jenderal Soeharto; K.H. Dr. Idham Chalid (Ketua PBNU); H.M.Subchan ZE (Wakil Ketua MPRS); H. Imron Rosyadi, SH (mantan Ketua Umum PPGP Ansor) dan K.H.Moh. Dachlan (Ketua Dewan Partai NU dan Menteri Agama RI).

Kongres kali ini merupakan moment paling tepat untuk menjawab segala persoalan yang timbul di kalangan Ansor. Karena itu, pembahasan dalam kongres akhirnya dikelompokan menjadi tiga tema pokok: (1) penyempurnaan organisasi; (2) program perjuangan gerakan; dan (3) penegasan politik gerakan.

Dalam kongres ini juga merumuskan Penegasan Politik Gerakan sebagai berikut: (1) Menengaskan Orde Baru dengan beberapa persyaratan: (a). membasmi komunisme, marxisme, dan leninisme. (b) menolak kembalinya kekuasaan totaliter/Orde Lama, segala bentuk dalam manifestasinya. (c) mempertahankan kehidupan demokrasi yang murni dan (d) mempertahankan eksistensi Partijwezen; (2) Toleransi Agama dijamin oleh UUD 1945. Dalam pelaksanaannya harus memperhatikan kondisi daerah serta perasaan penganut-penganut agama lain; (3) Mempertahankan politik luar negeri yang bebas aktif, anti penjajahan dan penindasaan dalam menuju perdamaian dunia.

Rumusan penegasan politik tersebut tentu dilatarbelakangi kajian mendalam mengenai situasi politik yang berkembang saat itu.Kajian atau analisis itu, juga mengantisipasi perkembangan berikutnya.Memang begitulah yang dilakukan kongres.Perkara politik itu pula-lah yang paling menonjol dalam kongres VII tersebut. Itulah sebabnya, dalam kongres itu diputuskan: Bahwa GP Ansor memutuskan untuk ikut di dalamnya dalam penumpasan sisa-sisa PKI yang bermotif ideologis dan strategis. Kepada yang bermotif Politis, Ansor menghadapinya secara kritis dan korektif.Sedangkan yang bermotif teror, GPAnsor harus menentang dan berusaha menunjukkan kepalsuannya. Atas dasar itulah, GP Ansor mendukung dan ikut di dalamnya dalam operasi penumpasan sisa-sisa PKI di Blitar dan Malang yang dikenal dengan operasi Trisula.Bahkan GP Ansor waktu itu sempat mengirim telegram ucapan selamat kepada Pangdam VIII/Brawijaya atas suksesnya operasi tersebut.Ansor ikut operasi itu karenaoperasi di kedua daerah tersebut bermotif ideologis dan strategis.

Sesungguhnya kongres juga telah memperediksi sesuatu bentuk kekuasaan yang bakal timbul. Karena itu, sejak awal Ansor telah menegaskan sikapmenolak kembalinya pemerintahan tiran. Orde Baru ditafsirkan sebagai Orde Demokrasi yang bukan hanya memberi kebebasan menyatakan pendapat melalui media pers atau mimbar-mimbar ilmiah.Tapi, demokrasi diartikan sebagai suatu Doktrin Pemerintahan yang tidak mentolerir pengendapan kekuasaan totaliter di suatu tempat. Seperti kata Michael Edwards dalam buku Asian in the Balance, bahwa kecenderungan di Asia, akan masuk liang kubur dan muncul authoritarianism. Pendeknya, demokrasi pada mulanya di salah gunakan oleh pemegang kekuasaan yang korup hingga mendorong Negara ke arah Kebangkrutan.Lalu, sebelum meledak bentrokan-bentrokan sosial, kaum militer mengambil alih kekuasaan, dan dengan kekuasaan darurat itulah ditegakkan pemerintahan otoriter.

 

2.6 Peran NU Pada Masa Reformasi

Masa reformasi yang menjadi tanda berakhirnya kekuasaan pemerintahan orde baru merupakan sebuah momentum bagi Nahdlatul Ulama (NU) untuk melakukan pembenahan diri.Selama rezim orde baru berkuasa, NU cenderung dipinggirkan oleh penguasa saat itu.Ruang gerak NU pada masa orde baru juga dibatasi, terutama dalam hal aktivitas politiknya.

Pada masa reformasi inilah peluang Nahdlatul Ulama untuk memainkan peran pentingnya di Indonesia kembali terbuka.NU yang merupakan ormas Islam terbesar di Indonesia, pada awalnya lebih memilih sikap netral menjelang mundurnya Soeharto. Namun sikap ini kemudian berubah, setelah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengeluarkan sebuah pandangan untuk merespon proses reformasi yang berlangsung di Indonesia, yang dikenal  dengan Refleksi Reformasi.

Refleksi reformasi ini berisi delapan butir pernyataan sikap dari PBNU, yaitu :

  1. Nahdlatul Ulama memiliki tanggung jawab moral untuk turut menjaga agar reformasi berjalan kea rah yang lebih tepat.
  2. Rekonsiliasi nasional jika dilaksanakan harus ditujukan untuk merajut kembali ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan) dan dirancang kearah penataan sistem kebangsaan dan kenegaraan yang lebih demokratis, jujur dan berkeadilan.
  3. Reformasi jangan sampai berhenti di tengah jalan, sehingga dapat menjangkau terbentuknya sebuah tatanan baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
  4. Penyampaian berbagai gagasan yang dikemukakan hendaknya dilakukan dengan hati-hati, penuh kearifan dan didasari komitmen bersama serta dihindari adanya pemaksaan kehendak.
  5. Kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu harus disikapi secara arif dan bertanggung jawab.
  6. TNI harus berdiri di atas semua golongan.
  7. Pemberantasan KKN harus dilakukan secara serius dan tidak hanya dilakukan pada kelompok tertentu.
  8. Praktik monopoli yang ada di Indonesia harus segera dibasmi tuntas dalam setiap praktik ekonomi.

Pada perkembangan selanjutnya, PBNU kembali mengeluarkan himbauan yang isinya menyerukan agar agenda reformasi diikuti secara aktif oleh seluruh lapisan dan jajaran Nahdlatul Ulama. Himbauan itu dikeluarkan pada tanggal 31 Desember 1998 yang ditandatangani oleh K.H. M. Ilyas Ruhiyat, Prof. Dr. K.H. Said Agil Siraj, M.A., Ir. H. Musthafa Zuhad Mughni dan Drs. Ahmad Bagdja.

Menjelang Nopember 1998, para mahasiswa yang merupakan elemen paling penting dalam gerakan reformasi, makin menjadi tidak sabar dengan tokoh-tokoh nasional yang enggan bergerak cepat dalam gerakan reformasi ini. Pada tanggal 10 Nopember 1998 para mahasiswa merancang sebuah pertemuan dengan mengundang K.H.Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Prof.Dr. Amien Rais dan Sri Sultan Hamengkubuwono X. Tempat pertemuan ini dipilih di Ciganjur (rumah K.H. Abdurrahman Wahid), karena kondisi kesehatan K.H. Abdurrahman Wahid saat itu belum sembuh total dari serangan stroke yang menimpanya.

Keempat tokoh nasional pro reformasi tersebut membentuk sebuah kelompok yang sering disebut Kelompok Ciganjur. Kelompok ini kemudian mengeluarkan sebuah deklarasi yang dikenal dengan Deklarasi Ciganjur, yang berisi delapan tuntutan reformasi, yaitu :

1.Menghimbau  kepada semua pihak agar tetap menjunjung tinggi kesatuan dan pesatuan bangsa.

  1. 2. Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan memberdayakan lembaga perwakilan  sebagai penjelmaan aspirasi rakyat.
  2. 3. Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat sebagai asas perjuangan di dalam proses pembangunan bangsa.
  3. 4. Pelaksanaan reformasi harus diletakkan dalam perspektif kepentingan yang akan datang.
  4. 5. Segera dilaksanakan pemilu oleh pelaksana independent.
  5. 6. Penghapusan dwi fungsi ABRI secara bertahap, paling lambat 6 tahun dari tanggal pernyataan ini dibacakan.
  6. 7. Menghapus dan mengusut pelaku KKN, yang diawali dari kekayaan Soeharto dan kroni-kroninya.
  7. 8. Mendesak untuk segera dibubarkannya PAM Swakarsa

Gerakan reformasi harus dijalankan dengan cara-cara yang damai dan menolak segala bentuk tindakan kekerasan atas nama reformasi. Di berbagai wilayah Indonesia digelar istighosah yang bertujuan untuk memohon kepada Allah SWT agar bangsa Indonesia dapat segera terbebas dari krisis yang sedang melanda.Istighosah terbesar yang diselenggarakan oleh Nahdlatul Ulama diadakan di Jakarta pada bulan Juli 1999, yang dihadiri tokoh-tokoh nasional.Dengan penyelengaraan istighosah, diharapkan dapat mempererat silaturahim dan mengurangi ketegangan antar komponen bangsa.

 

2.7 Peran NU Pasca Reformasi

Dengan tidak lagi menjadi parpol, NU sebagai organisasi kemasyarakatan bisa lebih leluasa mengembangkan diri, memfokuskan pada visi dan misinya di bidang-bidang sosial, kemasyarakatan, keagamaan dan pendidikan. Makin banyak tantangan yang dihadapi, massa NU yang banyak bermukim di pedesaan terutama di Jatim dan sebagian Jawa Tengah serta beberapa daerah mulai intensif mendapatkan perhatian dari pimpinan NU. Sebagian besar nahdliyin di pedesaan tak lepas dari belitan kemiskinan, namun organisasi-organisasi otonom NU melakukan langkah-langkah lebih konkrit untuk berupaya mengatasi kemiskinan, karena bila dibiarkan terus-menerus lama-kelamaan akan menggerus massa NU. Dikhawatirkan akan banyak umat nahdliyn semakin renggang hubungan silaturahim, fungsional dan strukturnya dengan NU.

Organisasi-organisasi otonom NU adalah Muslimat NU, GP Ansor, Fatayat, IPNU dan IPPNU, juga kalangan mahasiwanya yang tergabung dalam PMII. Organisasi-organisasi otonom itu sebenarnya merupakan potensi cukup besar yang bila dikelola maksimal akan menjadikan pohon NU lebih subur, rindang dan akarnya juga semakin kuat.

Angkatan Muda NU semakin banyak yang menjadi intelektual dalam berbagai bidang, bahkan mulai ada yang sudah diperhitungkan dalam forum nasional maupun internasional. Pada 1985 mereka mendirikan Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) NU. Selain itu, sebetulnya NU memiliki kelebihan dari warganya kalangan bawah yang menjadi wiraswasta meskipun sebagian besar masih dalam skala usaha kecil. Tapi di sini sudah ada modal dasar yakni jiwa wiraswasta mereka. Bila mereka terus dibina oleh NU dengan dukungan pemerintah, mereka tidak akan sulit untuk ditingkatkan menjadi wiraswasta tingkat menengah dan kemudian tinggi.

Misi NU yang tak kurang beratnya adalah bagaimana mengantisipasi gerakan-gerakan radikal dari kalangan Islam sendiri, baik yang berasal dari luar maupun dalam negeri. Mengantisipasi hal itu pada 2012 NU membentuk Laskar Aswaja untuk merespons keresahan atas radikalisme berbasis agama.

Pegangan yang dipakai NU sejauh ini tetap mempertahankan paham ahlus sunnah wal jama’ah (aswaja) yang disesuaikan dengan kultur masyarakat dalam bingkai kebangsaan dan NKRI. Menangkal gerakan radikal lewat gerakan dakwah dan secara fisik bila dalam keadaan terpaksa dengan Laskar Aswaja. Aswaja bila ditilik pengertiannya adalah aliran yang dianut siapa pun umat Islam yang berpegang teguh pada Al Qur’an dan sunnah nabi. Dengan pengertian itu maka sebenarnya NU bukanlah satu-satunya organisasi Islam di Indonesia yang menganut paham Aswaja. Secara akidah NU menempatkan dirinya di jalan tengah, tidak mengakomodasi ekstrimisme baik radikal maupun liberal.

BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan

Pada masa penjajahan terdapat dua periode, yaitu Belanda dan Jepang. Warga NU yang mayoritas dari pesantren berjuang untuk melawan para penjajah. Pada masa kemerdekaan, salah satu tokoh NU yang tergabung dalam anggota BPUPKI ikut merumuskan dasar negara, khususnya pada sila pertama dan adanya resolusi jihad. Pada masa mempertahankan kemerdekaan, NU mengadakan Resolusi Jihat, yaitu mempertahankan kemerdekaan RI dari para penjajah. Pada masa orde lama, NU berperan dalam menyelenggarakan pemilu pertama di Indonesia. Pada masa orde baru, NU kembali ke khittah dengan tidak lagi menjadi parpol melainkan sebagai ormas Islam. Pada masa reformasi, sebagai momentum bagi NU untuk pembenahan diri. Pada masa pasca reformasi, NU melakukan pengembangan diri hingga sekarang.

 

  • 2 Saran

Sebaiknya sebagai warga NU, kita terus mempertahankan eksistensi NU dari masa ke masa. Kita juga harus mengembalikan citra NU yang sudah mulai terkontaminasi dengan organisasi-organisasi kemasyarakat lainnya.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

https://www.facebook.com/masbrow.brow.75/posts/321823691293077

http://agusmr220.blogspot.co.id/2013/12/peran-nu-dalam-kehidupan-berbangsa-dan.html

 

 

Nilai-Nilai Dasar Nahdlatul Ulama

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat, taufik , dan hidayah-Nya, sehingga dapat tercipta sebuah makalah guna memenuhi tugas mata kuliah Aswaja(Ahlussunnah Wal Jamaah)

Makalah ini takkan terwujud tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu saya mengucapkan terima kasih kepada:

  1. Bapak Nur Rohman, S.Pd., M.Si selaku dosen mata kuliah Agama 2
  2. Orang tua saya yang telah memberi motivasi, serta memfasilitasi dalam berjalannya penyusunan makalah ini, dan tentunya yang selalu mendo’akan demi kesuksesan anaknya ini.
  3. Seluruh rekan-rekan yang telah membantu, memotivasi dalam penyusunan makalah ini.

Dalam makalah ini Kami bermaksud menuturkan materi yang akan dikaji dalam kegiatan belajar mengajar. Makalah ini bukanlah makalah yang sempurna, jadi tidak lepas dari sebuah kesalahan. Oleh karena itu, Kami memohon kritik dan saran yang dapat membangun untuk masa yang akan datang.

 

 

Jepara,16 Mei 2016

Penyusun

 

 

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

BAB 1PENDAHULUAN

1.1         LATAR BELAKANG

1.2         RUMUSAN MASALAH

1.3         TUJUAN PENULISAN

BAB llPEMBAHASAN

2.1       MABADI KHOIRUL UMMAH

2.2       KHITTAH NAHDLIYAH

2.3       UKHUWAH NAHDLIYAH

BAB llIPENUTUP

3.1       KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

  • LATAR BELAKANG

Nahdlatul Ulama didirikan sebagai Jam’iyah Diniyah Ijtima’iyah (organisasi keagamaan kemasyarakatan) untuk menjadi wadah perjuangan para ulama dan pengikutnya. Tujuan didirikannya NU ini diantaranya adalah : Memelihara, Melestarikan, Mengembangkan dan Mengamalkan ajaran Islam Ahlu al-Sunnah Wal Jama’ah yang manganut salah satu pola madzhab empat: Imam Hanafi, Imam Maliki,Imam Syafi’i dan Imam Hanbali, Mempersatukan langkah para ulama dan pengikut-pengikutnya, dan Melakukan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa dan ketinggian harkat serta martabat manusia. Kendala utama yang menghambat kemampuan umat melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar dan menegakkan agama dan karena kemiskinan dan kelemahan dibidang ekonomi. Maka, muktamar mengamanatkan PBNU untuk mengadakan gerakan penguatan ekonomi warga. Para pemimpin NU waktu itu menyimpulkan bahwa kelemahan ekonomi ini bermula dari lemahnya sumber daya manusianya (SDM). Mereka lupa meneladani sikap Rasulullah sehingga kehilangan ketangguhan mental. Setelah diadakan pengkajian, disimpulkan ada beberapa prinsip ajaran Islam yang perlu ditanamkan kepada warga NU agar bermental kuat sebagai modal perbaikan sosial ekonomi meliputi Mabadi Khaira Ummah, Khittah Nahdhiyah, dan UkhuwahNahdhiyah.

  • RUMUSAN MASALAH

 

  1. Bagaimana konsep tentang Mabadi Khaira Ummah ?
  2. Bagaimana konsep tentang Khittah Nahdhiyah ?
  3. Bagaimana konsep tentang Ukhuwah Nahdhiyah?

 

  • TUJUAN PENULISAN

 

  1. Menjelaskan konsep tentang Mabadi Khaira Ummah
  2. Menjelaskan konsep tentang Khittah Nahdhiyah
  3. Menjelaskan konsep tentang UkhuwahNahdhiyah

 

BAB II

PEMBAHASAN

NILAI-NILAI DASAR AN-NAHDLIYAH

2.1 Mabadi Khaira Ummah

  1. Pengertian Mabadi Khaira Ummah

Mabadi Khaira Ummah merupakan langkah awal pembentukan langkah awal pembentukan umat terbaik. Gerakan Mabadi Khaira Ummah merupakan langkah awal pembentukan “umat terbaik” (Khaira Ummah) yaitu suatu umat yang mampu melaksanakan tugas-tugas amar ma’ruf nahi mungkar yang merupakan bagian terpenting dari kiprah NU karena kedua sendi mutlak diperlukan untuk menopang terwujudnya tata kehidupan yang diridlai Allah SWT. sesuai dengan cita-cita NU. Dan nahi mungkar adalah menolak dan mencegah segala hal yang dapat merugikan,merusak dan merendahkan,nilai-nilai kehidupan dan hanya dengan kedua sendi tersebut kebahagiaan lahiriyah dan bathiniyah dapat tercapai.

  1. Butir-butir Mabadi Khaira Ummah dan pengertiannya

Perlu dicermati perbedaan konteks zaman antara masa gerakan mabadi khaira ummah pertama kali dicetuskan dan masa kini. Melihat  besar dan mendasarnya  perubahan sosial yang terjadi dalam kurun sejarah tersebut, tentulah perbedaan konteks itu membawa konsekuensi yang tidak kecil. Demikian pula halnya denangan perkembangan kebutuhan interal NU sendiri. Oleh karena itu perlu dilakukan beberapa penyesuaian dan pengembangan dari gerakan mabadi khaira ummah yang pertama agar lebih jumbuh dalam konteks kekinian.Jika semula mabadi khaira ummah tiga butir, maka dua butir perlu ditambahkan untuk mengantisipasi persoalan kontemporer, yaitu ’adalah dan istiqamah, yang dapat pula disebut dengan al-Mabadi al-Khamsah dengaan kerincian berikut ini:

Ash-shidqu. Butir ini mengandung arti kejujuran  atau  kebenaran, kesunguhann. Jujur dalam arti satunya kata dengan perbuatan ucapan dengan pikiran. Apa yang diucapkan sama dengan  yang dibatin. Tidak memutarbalikkan fakta dan meberikan informasi yang menyesatkan, jujur saat berpikir dan bertransaksi. Mau mengakui dan menerima pendapat yang lebih baik.

Al-amanah wal wafa bil ‘ahdi. Yaitu melaksanakan semua beban yang harus dilakukan terutama hal-hal yang sudah dijanjikan. Karena itu kata tersebut juga diartikan sebagai dapat dipercaya dan setia dan tepat pada janji, baik bersifat diniyah maupun ijtimaiyah. Semua ini untuk menghindarkan berapa sikap buruk seperti manipulasi dan berkhianat. Manah ini dilandasi kepatuhan dan ketaatan pada Allah.

Al’Adalah. Berarati bersikap obyektif, proporsional dan taat asas, yang menuntut setiap orang menempatkan segala sesuatu pada tempatnya, jauh dari pengaruh egoisme, emosi pribadi dan kepentingan pribadi. Distorsi semacam itu bisa menjerumuskan orang pada kesalahan dalam bertindak. Dengan sikap adil, proporsional dan obyektif relasi sosial dan transaksi ekonomi akan berjalan lancar saling menguntungkan.

At–ta’awun. Tolong-menolong  merupakan  sendi utama dalam tata kehidupan masyarakat, manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan pihak lain. Ta’awun berarti bersikap setiakawan, gotongroyong dalam kebaikan dan dan taqwa. Ta’awaun mempunyai arti timbal balik, yaitu memberi dan menerima. Oleh karena itu sikap ta’awun mendorong orang untuk bersikap kreatif agar memiliki sesuatu untuk disumbangkan pada yang lain untuk kepentingan bersama, yang ini juga berarti langkah untuk mengkonsolidasi masyarakat.

 

Istiqamah, dalam pengertian teguh, jejeg ajek dan konsisten. Tetap teguh dengan ketentuan Allah dan Rasulnya dan tuntunan para salafus shalihin dan aturan main serta rencana yang sudah disepakati bersama. Ini juga berarti kesinambungan dan keterkaitan antara satu periode dengan periode berikutnya, sehingga kesemuanya  merupakan  kesatuan yang saling menopang seperti sebuah bangunan. Ini juga berarti bersikap berkelanjutan dalam sebuah proses maju yang tidak kenal henti untuk mencapai tujuan.

Kebangkitan kembali prinsip mabadi khaira ummah ini didorong oleh kebutuhan-kebutuhan dan tantangan nyata yang dihadapi oleh NU khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya. Kemiskinan dan kelangkaan sumber daya manusia, kemerosotan budaya dan mencairnya solidaritas sosial adalah keprihatinan yang dihadapi bangsa Indonesia umumnya dan NU pada khususnya. Sebagai nilai-nilai universal butir-butir mabadi khaira ummah dapat dijadikan sebagai jawaban langsung bagi problem-problem sosial yang dihadapi masyarakat dan bangsa ini.

2.2 Khittah Nahdliyah

  1. Pengertian Khittah Nahdiyah

Khittah artinya garis yang diikuti, garis yang biasa atau selalu ditempuh. Kalau kata khittah dirangkai dengan Nahdhatul Ulama’(selanjutnya disingkat NU), maka artinya garis yang biasa ditempuh oleh orang orang NU dalam kiprahnya mewujudkan cita cita yang dituntun oleh faham keagamaannya sehingga membentuk kepribadian khas NU.

Jadi pengertian Khitthah NU adalah landasan berfikir, bersikap, danbertindakwarga NU, secara individual maupun organisatoris. Landasan yang dimaksud adalah fahamAhlussunnah wal jama’ah yang diterapkan menurut kondisi masyarakat Indonesia.

Itulah hakikat khittah NU yang kemudian dirumuskan dalam “Khittah NU” oleh Muktamar ke-27 tahun 1984 di Situbondo.

  1. Latar Belakang Perumusan Khittah Nahdliyah

Gagasan untuk merumuskan khittah NU baru muncul sekitar tahun 1975-an, ketika NU sudah kembali menjadi jam’iyyah diniyah. (organisasi sosial keagamaan). Karena sebelumnya NU memfusikan fungsi politik praktisnya ke dalam PPP, sebagai tindak lanjut dari langkah penyederhanaan partai-partai di Indonesia(1973).

Setelah kembali menjadi jam’iyah diniyah, baru terasa bahwa NU kembali kepada garisnya yang semula, kepada khitthahnya. Terasa sekali selama ini ada kesimpangsiuran. Ada kesemrawutan di dalam tubuh dan gerak NU. Banyak yang berharap terutama kalangan ulama sepuh serta generasi muda, bahwa akan tumbuh udara segar di dalam tubuh NU sehingga ada pembenahan dalam bergerak.

Saat itulah mulai terdengar kalimat kembali kepada semangat 1926, kembali pada khitthah 1926 dan lain-lain. Makin lama gaung semboyan tersebut kian kencang. Apalagi fakta menunjukkan sesudah berfusi politik ke dalam PPP, kondisi NU bukan bertambah baik, justru kian semrawut dan terpuruk.

Tetapi gagasan “kembali pada khitthah” itu terhadang oleh kesulitan tentang bagaimana rumusannya. Apa saja yang termasuk unsur atau komponen khitthah danbagaimana rumusan redaksionalnya. Orang sudah sering mengemukakan bahwa NU sudah memiliki khitthah yang hebat. Tetapi bagaimana runtutnya dan bagaimana jluntrungnya kehebatan itu, belum dapat diketahui, dipelajari dengan mudah dan cepat.

Adapun sebab utama timbulnya kesulitan perumusan itu adalah: Pertama, Nahdliyyin melalui ketauladanan dan petunjuk yang berangsur-angsur diberikan oleh para ulama, dibanding dengan diberikan secara tertulis sekaligus legkap berupa risalah.

Kedua, aktivitas tulis-menulis di kalangan para tokoh-tokoh NU belum membudaya, masih lebih banyak merumuskan atau menyampaikan pesan secara lisan dan kesulitan ketiga, kaum nahdliyyin umumnya belum biasa menerima pesan-pesan atau pikiran- pikiran tertulis sebab budaya membaca belum tinggi.

Namun betapapun sulitnya merumuskan Khitthah NU, perumusan harus dilakukan karena hal itu sangat diperlukan. Sudah banyak generasi baru NU yang tidak sempat berguru secara intensif kepada tokoh generasi pertama. Tidak salah kalau kemudian pemahaman dan penghayatan mereka terhadap apa dan bagaimana NU secara benar, kurang mendalam dan lengkap. Padahal di antara mereka yang tidak memiliki pengetahuan cukup memadai itu sudah banyak berperan penting sebagai pengurus, wakil-wakil NU di berbagai lembaga dan lain-lain. Pada sisi lain dokumen-dokumen yang dapat dipergunakan sebagai sarana pewarisan penghayatan khitthah sangat minim atau boleh dibilang tidak ada.

Pada tahun 1979 menjelang diselenggarakannya Muktamar di semarang, Kiai Achmad Siddiq yang tergolong pemikir di antara para pemikir NU yang sedikit jumlahnya, merintis rumusan khitthah dengan menulis sebuah buku yang berjudul Khitthah Nahdliyyah. Cetakan kedua dari buku tersebut terbit pada 1980 dan merupakan cikal bakal rumusan khitthah.

Pada 12 Mei 1983 di Hotel Hasta Jakarta, ada 24 orang yang mayoritas terdiri dari tokoh- tokoh muda NU. Mereka membicarakan kemelut yang melanda NU dan   bagaimanamengantisipasinya. Meskipun mereka tidak memiliki otoritas apa-apa pada masa itu, namun kesungguhan mereka ternyata mendatangkan hasil. Mula-mula mereka menginventariskan gagasan-gagasan, kemudian membentuk ”tim tujuh untuk pemulihan khitthah” yang bertugas merumuskan, mengembangkan dan memperjuangkan gagasan. Rumusannya berjudul “Menatap NU di Masa Depan” yang kemudian “ditawarkan” kepada segenap “kelompok” di dalam NU.

Pendekatan demi pendekatan dilakukan. Hasil pertama ialah keberanian Rais Aam Kiai Haji Ali Ma’sum beserta para ulama sepuh lainnya untuk mengadakan Musyswarah Nasional Alim Ulama NU di Situbondo tepatnya di Pesantren Salafiyah Syafi’iyah asuhan KH. As’ad Syamsul Arifin tahun 1983. Panitia penyelenggara Munas adalah KH. Abdurrahman Wahid dan kawan-kawan yang sebagian juga tokoh-tokoh Tim Tujuh atau juga dikenal sebagai Majelis 24.

Ternyata Munas Alim Ulama NU kali ini benar-benar monumental, memiliki arti sejarah penting bagi NU, bahkan bagi tata kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Ada dua keputusan yang sangat penting, yaitu: Pertama, penjernihan kembali pandangan NU dan sikap NU dan Pancasila, yang dituangkan dalam dekralasi tentang hubungan Pancasila dengan Islam dan Rancangan Mukaddimah Anggaran Dasar NU. Kedua, pemantapan tekad kembali pada khatthah NU yang dituangkan dalam pokok-pokok pikiran tentang pemulihan khitthah NU 1926.

Dengan keputusan-keputusannya, terutama dua keputusan tersebut, Munas Alim Ulama NU 1983 dapat menerobos kemacetan menuju penanggulangan kemelut internal NU, sekaligus mengubah citra organisasi dalam pandangan hampir semua pihak di luar NU, terutama pihak pemerintah. NU yang selama dasawarsa ini “dijauhi”, sekarang “didekati” bahkan disanjung-sanjung.

Keberhasilan Munas ini berlanjut dengan “rujuk internal” di Sepanjang, Sidoarjo (rumah alm. KH. Hasyim Latif) beberapa waktu berselang. Dengan begitu Muktamar ke-27 setahun kemudian, dapat diselenggarakan oleh PBNU dalam kondisi sudah utuh kembali. Ketika itu NU tidak lagi dipandang sebagi kelonpok eksklusif yang sulit diajakbekerjesama, tetapi sebagai kelompok yang positif konstruktif, tidak lagi sebagai kelompok yang “harus ditinggalkan” tetapi menjadi “pihak yang selalu diperlukan”.

 

Muktamar ke-27 yang diadakan di tempat yang sama pada 1984dan dibuka oleh presiden, mendapat perhatian sangat besar dari semua pihak baik dalam maupun luar negeri, serta tidak ketinggalan masyarakst pada umumnya. Seseorang karyawan televisi Jepang menerangkan bahwa kunjungan massa sebanding dengan ketika pemakaman Presiden Aquino di Filipina dan pemakaman Gamal Abdul Naser di Mesir. Perusahaannya ingin menyuting dari udara. Tetapi sayang tidak diizinkan.

Dengan bekal semangat dan tekad kembali kepada khitthah 1926 dan dengan modal cikal bakal risalah Khitthah Nahdliyyah karya KH. Achmad Siddiq yang dikembangkan dengan menatap NU masa depan (Tim Tujuh untuk pemulihan Khitthah, 1983), serta dipadukan dengan makalah “Pemulihan Khitthah NU 1926”. (KH. Achmad Siddiq pada Munas Alim Ulama NU,1983) serta pokok-pokok pikiran tentang pemulihan khitthah NU 1926 (kesimpulan Munas), maka Muktamar ke-27 Nahdlatul Ulama pada tahun 1984 di Situbondo menetapkan rumusan terakhir “Khitthah Nahdlatul Ulama”.

Di samping itu, Muktamar juga menerima dan mengesahkan keputusan Munas Alim Ulama pada 1983, termasuk Deklarasi Tentang Hubungan Pancasila dengan Islam. Inilah perjalanan panjang tentang Khitthah NU. Para pendahulu telah berusaha memberikan alternatif bagi perjalanan NU pada masanya. Sekarang tugas generasi muda NU untuk meneruskan prestasi para ulama terdahulu dengan tetap menjaga kemurnian NU sebagai sebuah jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah seperti harapan pendiri dan para pendahulu.

 

C.  Ikhtisar(ringkasan)Khitthah

  1. Mukaddimah

NU didirikan atas kesadaran terhadap perlunya bermasyarakat untuk memenuhi kebutuhan dengan persatuan dan saling membantu.

NU adalah jam’iyyah diniyah, berfaham Islam Ahlusunnah wal Jama’ah,berhaluan salah satu madzhab empat.

NU adalah gerakan keagamaan, ikut membangun insan dan masyarakat yang bertaqwa, berakhlak, cerdas, terampil, adil, tentram, dan sejahtera.

Ikhtiyar dan faham keagamaan NU membentuk kepribadian khas NU, yang kemudian disebut khitthah NU.

2. Pengertian

Khitthah NU adalah landasan berfikir, bersikap, dan bertindak warga NU, secara individual maupunorganisatoris.

Landasan itu adalah faham Ahlussunnah wal jama’ah yang diterapkan menurut kondisi masyarakatIndonesia.

Khitthah itu juga digali dari sari sejarah perjuangan NU.

  1. Dasar FahamKeagamaan

Dasar-dasarfahamkeagamaanNU :

  1. Al-Qur’an
  2. Al-Hadits
  3. Al-ijma’
  4. Al-Qiyas

Didalam penafsiran dasar-dasar tersebut dipergunakan jalan pendekatan (madzhab);

  1. Dalam aqidah mengikuti faham yang dipelopori oleh Imam Asy’ari dan ImamMaturidzi.
  2. Dalam Fiqh mengikuti salah satu madzhabempat.
  3. Dalam tasawuf mengikuti Imam Junaid al-Baghdadi, al-Ghozali dan sebagainya.

 

  1. Sikap Kemasyarkatan
  1. A-tawassuth dan i’tidal yakni sikap tengah dengan inti keadilan dalam keadilan.
  2. At-tasamuh yakni toleran dalam perbedaan, toleran dalam urusan kemasyarakatan dan kebudayaan.
  3. At-tawazun, kesembangan antara beribadah kepada Allah SWT, dan berkhidmah kepada sesama manusia serta keselarasan masa lalu, masa kini dan masa depan.
  4. Amar ma’ruf nahi munkar, mendorong perbuatan baik dan mencegah hal yang merendahkan nilai-nilai kehidupan
  5. Perilaku Keagamaan dan Sikap Kemasyarakatan
a. Menjunjung tinggi norma atau nilai agama.
b. Mendahulukan kepetingan bersama dari pada kepetingansendiri.
c. Menjunjung tinggi keikhlasan dalam berkhidmah danberjuang.
d. Menjunjung tinggi ukhuwwah, ijtihad dan salingmengasihi.
e. Meluhurkan akhlaq dan menjunjung tinggi kejujuran.
f. Menjunjung tinggi kesetiaan kepada agama, negara danbangsa.
g. Menjunjung tinggi nilai kerja dan prestasi, sebagian dariibadah.
h. Menjunjung tinggi ilmu dan ahli ilmu.
i. Siap menyesuaikan diri dengan perubahan     yang bermanfaat dan
bermaslahat.
j. Menjunjung tinggi kepeloporan untuk mempercepat   perkembangan.

6. Ikhtiyar

  1. Silaturrahmi antarulama`
  2. Kegiatan dibidangkeilmuan
  3. Penyiaran Islam, pembangunan sarana peribadatan dan pelayanan sosial

 

  1. Fungsi Organisasi dan kepemimpinan Ulama
  1. Menggunakan organisasi struktural untuk mencapai tujuan.
  2. Menempatkan ulama (sebagai mata rantai pembawa faham Ahlussunnah wal jama`ah) pada kedudukan kepemimpinan yang amat dominan.

8. N.U dan kehidupan bernegara

  1. Dengan sadar mengambil posisi aktif ,menyatukan diri dalam perjuangan nasional.
  2. Menjadi warga Negara RI yang menjunjung tinggi Pancasila dan UUD 1945.
  3. Memegang teguh ukhuwwah dan tasamuh.
  4. Menjadi warga Negara yang sadarakan hak dan kewajiban ;tidak terikat secara teroganisatoris,dengan organisasi politik atau organisasi kemasyarakatan manapun.
  5. Warga yang tetap memiliki hak-hak politik.
  6. Menggunakan hak politiknya secara bertanggung jawab, untuk menumbuhkan sikap demokratis ,koinstitusional,taat hukum dan mengembangkan mekanisme musyawarah.

9. Khotimah

  1. Khittah NU merupakan landasan dan patokan dasar.
  2. Keberhasilan khithoh NU tergantung kepada semangat dan amal para pemimpin serta seluruh warga NU , dengan seizin Allah SWT.

 

  1. Sosialisasi Khittah Nahdliyah

Harus diakui secara jujur, bahwa sampai sekarang upaya sosialisasi Khitthah NU dikalangan warga NU belum dilakukan secara serius, terencana, terarah, dan terkoordinasi dengan baik. Anehnya, sebagian tokoh dan kader NU merasa “sudah mengerti” Khitthah. Sehingga memberikan penafsiran sendiri, tanpa “membaca naskahnya”Sesungguhnya sosialisasi Khitthah NU adalah identik dengan “kaderisasi NU” dibidang wawasan ke-NU-an. Kalau saja ada koordinasi antara badan-badan otonom yang ada dengan lembaga-lembaga (lakpesdam, RMI dan lain sebagainya) dan pesantren, Insya Allah hasilnya akan lumayan. Sayang sosialisasi yang terkoordinasi ini tidak dilakukan. Akibat dari macetnya upaya sosialisasi ini, Khitthah menjadi merana, hidup segan mati tak mau. Betapa kacaunya pemahaman terhadap Khitthah NU, dapat ditangkap oleh seorang kiai pengasuh pesantren sebagai berikut: “Di era Khitthah selama 14 tahun ini, pesantren terputus hubunganya dengan NU. Tokoh NU dilarang masuk pesantren ini. Kami hanya berhubungan dengan PPP, sampai pesantren ini dimusuhi oleh pemerintah habis-habisan. Tetapi NU sekarang sudah punya PKB secara total, tidak ada yang ketinggalan dari PPP seorang pun”.

 

  1. Mengamalkan Khittah Nahdliyah

 

Proses perumusan khittah sangat panjang, melibatkan banyak pihak, mulai dari orang tua (Munas Alim Ulama tahun 1983), sampai kepada yang muda(Majelis 24 dan Tim Tujuh), sampai kepada yang formal struktural (Muktamar 1984) dan lain sebagainya, sehingga patut dipercaya bahwa hasilnya sudah mantap, baik substansinya maupun sistematikanya.

Tujuan menjadikan Khitthah NU sebagai landasan berfikir, bersikap dan bertindak warga NU seperti yang disebutkan dalam naskah adalah untuk diamalkan dalam kehidupan sehari hari warga NU. Tetapi sampai saat ini pengamalannya masih jauh dari keinginan khittah itu sendiri. Meskipun pengamalannya merupakan perjuangan berat tetapi warga NU harus tetap berusaha semaksimal mungkin untuk mengamalkannya..

Secara garis besar, Khitthah NU yang harus direalisasikan oleh Nahdliyin, telah terbingkai dalam fungsi dan missi NU itu sendiri, yaitu:

  1. Sebagai Jam’iyyah diniyyah, wadah perjuangan bagi ulama dan pengikutnya.
  2. Sebagai gerakan keagamaan, ikut membangun insane masyarakat yang bertakwa, cerdas, terampil, berakhlak, tentram, adil dan sejahtera.
  3. Sebagai bagian tak terpisahkan dari keseluruhan bangsa dan senantiasa menyatukan diri dengan perjuangan nasional.
  4. Sebagai bagian tak terpisahkan dari umat Islam Indonesia, memegang teguh prinsip Ukkluwwah, toleransi dan hidup berdampingan, baik dengan sesama umat Islam maupun dengan sesama warga Negara yang mempunyai keyakinan maupun Agama berbeda.
  5. Sebagai Organisasi yang mempunyai fungsi pendidikan, senantiasa berusaha menciptakan warga Negara yang menyadari hak dan kewajibanya.

 

2.3 Ukhuwah Nahdliyah NU

  1. Pengertian Ukhuwah Nahdliyah NU

Secara umum, ukhuwah dapat diartikan sebagai suatu sikap yang ciderminkan rasapersaudaraan, kerukunan, persatuan, dan solidaritas yang dilakukan oleh seseorang terhadaporang lain atau suatu kelompok kepada kelompok lain, dalam interaksi sosial (Muamalahijtimaiyah). Sikap ukhuwah dalam masyarakat biasanya timbul karena dua hal, yaitu :Adanya persamaan, dalam baik masalah keyakinan/agama, wawasan, pengalaman,kepentingan, tempat tinggal maupun cita-cita.

  1. Sikap yang mempengaruhi Ukhuwah

Adanya kebutuhan yang dirasakan hanya dapat dicapai dengan melalui kerja sama,gotong royong dan persatuan. Keberlangsungan sikap ukhuwuwah dalam realisasi kehidupansosial dipengaruhi oleh beberapa sikap dasar, antara lain :

  1. Saling mengenal (Ta’aruf)
  2. Saling menghargai dan menegangkan (tasamuh)
  3. Tolong menolong (ta’awun)
  4. Saling mendukung (tadlamun)
  5. Saling menyayangi (tarahum)

 

  1. Sikap yang dapat mengganggu Ukhuwah

Sebaliknya, ukhuwah akan terganggu kelestariannya apabila terjadi sikap-sikapdestruktif (Muhlikat) yang bertentangan dengan etika sosial yang baik (akhlakul karimah),seperti :

  1. Saling menghina (Assakhriyah)
  2. Saling mencela (allamzu)
  3. Berburuk sangka (suudhan)
  4. Suka mencemarkan nama baik (ghibah)
  5. Sikap curiga yang berlebihan (Tajassus)
  6. Sikap congkak (Takabbur)

 

  1. Penjabaran Konsep Ukhuwah Nadliyah

Dalam masalah sosial (ijtimaiyah), ukhuwah dapat dijabarkan dalam beberapa kontek hubungan sebagai berikut :

  1. Persaudaraan nasioanal (ukhuwah wathoyah) yang tumbuh dan berkembang karenapersamaan aqidah/keimanan, yang baik di tingkat nasional maupaun internasional.
  2. Persatuan nasionak (ukhuwah wahtoniyah) yang tumbuh dan berkembang atas dasarkesadaran berbangsa dan bernegara.
  3. Solidaritas kemanusiaan (ukhuwah wathiniyah) yang tumbuh dan berkembang atasdasar rasa kemanusiaan yang bersifat universal.

 

Ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah wathoniyah (persatuan nasional) merupakan duasikap yang saling mendukung. Keduanya harus diupayakan keberadanaanya secara serentak,dan tidak dipertentangkan antara satu dengan yang lain. Hubungan antara keduanya adalah :Akomodatif dalam arti ada kesediaan untuk saling memahami pendapatan aspirasi dankepentingan satu dengan yang lain.Akomodatif dalam arti kesediaan untuk saling memahami pendapat aspirasi dankepentingan satu dengan yang lain.Selektif, dalam arti ada kesediaan untuk menyelesaikan dalam menyelenggarakanberbagai macam kepentingan dan aspirasi tersebut secara benar, adil, dan proposional.

Ukhuwah Islamiyah dan Ukhuwah Wathoniyah merupakan landasan dan modal dasarbagi terwujudnya Ukhuwah Basyariyah (hubungan kemanusiaan) yang universal.Ukhuwah Islamiyah dalam kehidupan sosial, khususnya dalam kehidupan berbangsadan bernegara merupakan salah satu kondisi yang diperlukan dalam kehidupan peroranganmaupun masyarakat, disamping mampu memberikan kemantapan, ketentraman dankegairahan dalam mengenai berbagai tantangan yang dapat mengganggu kehidupan sosialdan stabilitias nasional. Kondisi yang masyarakat dalam proses pencapaian tujuan bersamadan pada giliran selanjutnya dan batiniyah yang lebih mutu persatuan bangsa dalammenggalang keutuhan umat dalam rangka stabilitas nasional dan solidaritas Islam, sertapengalaman agama yang bertujuan mencapai kesejahteraan hidup dunia dan kebahagiaanhidup akhirat.Akan tetapi proses pengembangan wawasan ukhuwah tersebut kerap kali mengalamihambatan-hambatan yang disebabkan berbagai hal, seperti :Adanya kebanggaan kelompok yang berlebihan yang mudah menumbuhkan sikapapriori dan fanatisme yang tidak berkontrol.

 

Sempitnya cakrawala berpikir, baik yang disebabkan oleh keterbatasan tingkatpemahaman masalah keagamaan dan kemasyarakatan, maupun yang kepemimpinan umatdalam mengembangkan budaya ukhuwah baik dalam memberikan teladan pada bawahanmaupun dalam mengatasi gangguan kerukunan yang timbul dalam kehidupan umat maupunorganisasi.

Menurut Nahdlatul Ulama, penerapan konsep dan wawasan ukhuwah,dapat dilakukan melalui bermacam cara, antara lain :Ukhuwah Islamiyah seyogyanya dimulai dari lingkungan yang paling kecil(keluarga), kelompok atau warga suatu jamiyah, kemudian dikembangkan dalam lingkunganyang lebih luas (antar jamiyah, aliran, dan bangsa).

Perlu adanya keteladanan yang baik (uswah hasanah) dari pimpinan umat, dankhususnya bagi Nahdlatul Ulama di perlukan keteladanan dari para pengurus untuk menampilkan sikap ukhuwah yang dapat dijadikan contoh oleh warganya dan umat Islampada umumnya, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan fungsionalnya.Mengembangkan perluasan cakrawala berpikir dalam masalah keagamaankemasyarakatan, dalam rangka lebih meningkatkan pengertian dan saling memahamiwawasan pihak lain dan mengembangkan sikap terbuka dalam menghadapi masalah-masalah sosial.

Terbentuknya lembaga-lembaga atau pranata-pranata yang menumbukan kerukunan,persatuan, dan solidaritas warga dan umat, seperti koperasi badan pengembangan ekonomi,lembaga-lembaga bantuan, badan-badan dan konsultasi dan lain sebagainya, sesuai denganperkembangan dan kerukunan umat.Mendayagunakan semua lembaga dan sarana yang sudah tersedot yang diadakan olehpemerintah maupun oleh swadaya masyarakat sendiri MUI, pesantren, sekolah, dan kampus Perguruan Tinggi, sebagai pengembangan persaudaraan Islam dan persatuan nasional.Mendayagunakan pesantren dan lemabaga-lembaga pendidikan lainnya dimiliki olehNahdlatul Ulama Khususnya, agar lebih berperan pengambangan wawasan ukhuwah, baik melalui program kurikuler, maupun ekstra kurikuler.Menciptakan suatu mekanisme yang baik yang baik dan efektif dalam keluarga jamiah Nahdlatul Ulama yang mampu berperan dalam menyelesaikan masalah jika terjadiperbedaan pandapat dalam pergaulan interen pengurus atau mengatasi perbedaan pandapatdengan pihak lain. Dalam hubungan ini difungsikan mekanisme “Ishlahul Dzatil Bain”(arbritase) seoptimal mungkin.

 

BAB III

PENUTUP

 

  • KESIMPULAN

Mabadi Khaira Ummah merupakan langkah awal pembentukan langkah awal pembentukan umat terbaik. Gerakan Mabadi Khaira Ummah merupakan langkah awal pembentukan “umat terbaik” (Khaira Ummah) yaitu suatu umat yang mampu melaksanakan tugas-tugas amar ma’ruf nahi mungkar yang merupakan bagian terpenting dari kiprah NU karena kedua sendi mutlak diperlukan untuk menopang terwujudnya tata kehidupan yang diridlai Allah SWT. sesuai dengan cita-cita NU.

Sedangkan Khittah artinya garis yang diikuti, garis yang biasa atau selalu ditempuh. Kalau kata khittah dirangkai dengan Nahdhatul Ulama’(selanjutnya disingkat NU), maka artinya garis yang biasa ditempuh oleh orang orang NU dalam kiprahnya mewujudkan cita cita yang dituntun oleh faham keagamaannya sehingga membentuk kepribadian khas NU.

Sedangkan ukhuwah dapat diartikan sebagai suatu sikap yang ciderminkan rasapersaudaraan, kerukunan, persatuan, dan solidaritas yang dilakukan oleh seseorang terhadaporang lain atau suatu kelompok kepada kelompok lain, dalam interaksi sosial (Muamalahijtimaiyah). Sikap ukhuwah dalam masyarakat biasanya timbul karena dua hal, yaitu :Adanya persamaan, dalam baik masalah keyakinan/agama, wawasan, pengalaman,kepentingan, tempat tinggal maupun cita-cita.

 

DAFTAR PUSTAKA

Sumber: Abdul Mun’im DZ (Editor), Piagam Perjuangan Kebangsaan, 2011 (Jakarta: Setjen PBNU-NU Online)

http://aruljepara.blogspot.com/2015/06/makalah-aswaja-nahdliyah-disusun-guna.html?

STRUKTUR DAN PERANGKAT ORGANISASI NAHDLATUL ULAMA

STRUKTUR DAN PERANGKAT ORGANISASI
NAHDLATUL ULAMA

index

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Agama Islam 2 (Ahlussunnah Wa Al-Jama’ah)

Dosen Pengampu: Nur Rohman, S.Pd., M.Si.

Oleh:
1. Roisul Fikri (151120001567)
2. Danu Mujianto (151120001545)
3. Dani Johan Sudirgo (151120001553)

PROGRAM STUDI AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA JEPARA
2016

KATAPENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang bahwasanya kami dapat menyelesaikan tugasresume mata kuliah Agama 2 yang berjudul Struktur dan Perangkat Organisasi NU dengan baik.
Walaupun demikian, sudah barang tentu makalah ini masih terdapat kekurangan dan belum dikatakan sempurna karena keterbatasan kemampuan kami.Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua pihak kami harapkan agar dalam pembuatan makalah di waktu yang akan datang bisa lebih baik lagi.Harapan kami semoga makalah ini berguna bagi siapa saja yang membacanya.

Jepara, 5 Mei 2016

Tim Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Nahdlatul Ulama membentuk organisasi yang mempunyai struktur tertentu dengan fungsi sebagai alat untuk melakukan koordinasi bagi terciptanya tujuan yang telah di tentukan, baik itu bersifat keagamaan maupun kemayarakatan. Karena pada dasarnya Nahdlatul Ulama adalah jam’iyyah diniyah yang membawa faham keagaman, maka Ulama sebagai mata rantai pembawa faham Islam Ahlussunnah wal Jama’ah, ditetapkan sebagai pengelola, pengendali, pengawas dan pembimbingutama jalannya organisasi. Sadang untuk melaksanakan kegiatannya, Nahdlatu Ulama menempatkan tenaga-tenaga yang sesuai dengan bidangnya guna menanganinya.

B. Rumusan Masalah
• Struktur Organisasi NU?
• Perangkat Organisasi NU?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pertumbuhan NU Sebagai Organisasi
Berbeda dengan organisasi lain, yang harus rapat menyamakan pendapat di antara pendirinya tentang berbagai hal AD/ART dan lain sebagainya, NU tidak usah terlalu formal menyelenggarakan berbagai rapat sekedar menyamakan persepsi diantara para pendirinya. Hal itu terjadi karena para pendiri NU sudah lama sebelumnya memiliki kesamaan dalam berbagai hal tujuan, wawasan keagamaan bahkan perilaku sehari-hari, dari cara berpakaian hingga beribadah. Tinggal ulama pengasuh pesantren itu kemudian mengumumkan berdirinya “jam’iyyah NU”.Pada saat yang bersamaan, semua kiai di sejumlah pesantren dengan suka rela bergabung di dalamnya tanpa menunggu AD/AT maupun instruksi dan berbagai hal formal lainnya, rampung.
Kecepatan NU berkembeng dengan ratusan, ribuan bahkan jutaan warga nya, tantunya merupakan hal yangsangat menggembirakan.Tetapi di balik kegembiraan itu ada “kerepotan” yang dirasa sampai sekarang. Hal mendasar yang sangat dirasakan yaitu belum sempatnya NU mengurus dan mengatur administrasi “ke dalam”, mulai dari pendaftaran anggota, rapat pemilihan pengurus ranting dan lain sebagainya. Sampai sekarang hal itu tetap terbelangkai.
Sebenarnya upaya untuk mengatur organisasi menuju kondisi yang lebih baik pernah dilakukan.Hal itu terjadi sekitar tahun 1940-an, ketika NU dipimpin almaghfurlah KH. Mahfudz Shiddiq. Dan ternyata, meskipun mengalami kendala, namun upaya tersebut boleh dikatakan berhasil.Namun amat dikamingkan, sebelum pembenahan meluas, datanglah jepang yang membubarkan semua organisasi termasuk NU.Dan perbaikan internal itu hingga kini belum kelihatan kemajuannya.
Harus diakui bahwa cepatnya pertumbuhan yang tidak diikuti dengan cepatnya penataan organisasi oleh pengurus menjadi salah satu sebab, mengapa NU demikian “amburadul” dari segi organisasi administrasi. Akibat dari kecerobohan ini, saringkali ada orang yang “menerobos” menjadi NU, bahkan menjadi pengurus NU padahal yang bersangkutan belum memiliki pengalaman yang memadai.
Disamping sebab tersebut, masih ada sebab lain,diantaranya, pertama, budaya organisasi pada umumnya masih rendah. Kedua, keputusan orang NU masih tertuju pada pribadi, “belum kepada lembaga atau organisasi atau aturan main”.Ketiga, kewajiban seseorang yang masih banyak diukur dengan “kedekatan dengan tokoh besar” belum kepada kualitas atau prestasinya.Keempat, Akhlak berorganisasimasih banyak diajarkan dandidik seperti ikhlas, kerja keras, dan lain sebagainya,tanpa dilengkapi dengan keahlian manajerial dan kemampuan organisasi yang memadai.
Sebagai kosekuensi dari tertanganinya administrasi dan organisasi ini, sampai sekarang belum sepenuhnya kita bisa mangatakan bahwa NUmerupakan jam’iyyah (organisasi).NU sebagai organisasi baru tampak pada rapat, konfersi, muktamar dan lain sebagainya.Kebanyakan ranting-ranting NU tidak jelas susunan kepengurusannya.Yang jelas dan paling mudah dilihat adalah paling-paling figur ketua karena sudah menjabat sebagai ketua puluhan tahun yang lalu.

B. Struktur Organisasi
Semula pengurus NU hanyalah Syuriah dibantu oleh tenaga teknis administratif yang tidak ikut dalam pengambilan keputusan atau kebijakan.Tenaga inilah yang kemudian disebut tanfidziyah, yang berangsur-angsur meningkat wewenang sesuai dengan berkembang, tugas yang di embannya.
Pada zaman KH.Mahfudz shidiq, menjabat Ketua PB Tanfidziyah NU (President Hoofd Bestuur Nadlatoel Oelama),posisinya sudah tampak menonjol, meskipun kekuasaan syuriahmasih penuh seratus persen.Tanda anggota NU (ar-Rasyidah’Adlawiyah) ditandatangani oleh KH. A. Wahab Hasbullah sebagai Katib ‘ Aam. PB syuriahNU tanpa tanfidziyah.Padahal untuk mendapatkan harus melalui persyaratan yang berat dan mesti diurus oleh pengurus tanfidziyah.
Dominasi tanfidziyah mulai tumbuh ketika NU menjadi partai politik.Semua mentri dari NU otomatis menjadi anggota PBNU.Ketua tanfidziyah otomatis menjadi anggota syuriah.Demikian juga ketua Fraksi NU menjadi anggota PBNU.Layak sekali kalau mereka ini “berpihak” kepada tanfidziyah ketika ada perbedaan pendapat antara keduanya.
Puncak “dominasi” tanfidziyah ialah pada 1980-an, saat menghadapi pemilu 1982.Ketua umum tanfidziyah mengumumkan bahwa surat-surat PBNU hanya sah kalau ditandatangani oleh ketua umum tanfidziyah atau wakilnya.Pengumuman ketua umum PB tanfidziyah NU ini berarti bahwa tanda tangan rais’aam “harus diketahui” oleh ketua umum yang sudah tidak diakui oleh PB syuriah NU. Dengan kata lain yang lebih ekstrim, rais’aam dipecat oleh ketua umum tanfidziyah atau “mengakui kedudukan ketua umum”.
1. Struktur Organisasi NU
Struktur Organisasi Nahdlatul Ulama sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga hasil Muktamar NU ke-33 terdiri dari:
a. PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) untuk tingkat pusat.
b. PWNU (Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama) untuk tingkat propinsi.
c. PCNU (Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama) untuk tingkat Kabupaten, dan PCI NU (Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama) untuk luar negeri
d. MWC NU (Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama) untuk tingkat kecamatan.
e. Ranting untuk tingkat kelurahan /desa.
f. Pengurus Anak Ranting.

2. Kepengurusan NU
a) Musytasyar (Penasehat)
b) Syuriah (Pimpinan Tertinggi)terdiri dari :
• Rais Aam
• Wakil Rais Aam
• Katib Aam
• Beberapa Wakil Katib
• A’wan
Secara rinci tugas pokok Syuriyah adalah :
a. Menentukan arah kebijakan NU dalam melakukan usaha dan tindakan untuk mencapai tujuan NU.
b. Memberikan petunjuk, bimbingan dan pembinaan, memahami, mengamalkan dan mengembangkan ajaran islam menurut paham Ahlussunnah Waljama’ah, baik di bidang aqidah, Syari’ah maupun tasawuf.
c. Mengendallikan, mengawasi dan memberi koreksi terhadap semua perangkat NU agar berjalan di atas ketentuan jamiyah dan agama islam.
d. Membimbing, mengarahkan dan mengawasi Badan Otonom, Lembaga dan Lajnahyang langsung berada di bawah Syuriyah.
e. Jika keputusan suatu perangkat Organisasi NU dinilai bertentangan dengan ajaran islam menurut faham Ahlussunnah Waljama’ah, maka pengurus Syuriyah yang berdasarkan keputusan rapat dapat membatalkan keputusan atau langkah perangkat tersebut.
c) Tanfidziyah (pelaksana) terdiri dari :
• Ketua Umum
• Beberapa Ketua
• Sekretarias Jenderal
• Beberapa Wakil Sekjen
• Bendahara
• Beberapa Wakil Bendahara
Sebagai pelaksana tugas sehari-hari mempunyai kewajiban tugas- tugas sebagain berikut :
a. Memimpin jalannya organisasi sehari – hari sesuai dengan kebijakan yangditentukan oleh pengurus Syuriyah.
b. Melaksanakan program jamiyah NU.
c. Membina dan mengawasi kegiatan semua perangkat jamiyah yang berada di bawahnya.
d. Menyampaikan laporan secara periodik kepada pengurus Syuriyah tentang pelaksanaan tugasnya.
3. Stuktur Organisasi Lembaga dan Badan Otonom
a. PP (Pimpinan Pusat) untuk tingkat pusat.
b. PW (Pimpinan Wilayah) untuk tingkat propinsi.
c. PC (Pimpinan Cabang) untuk tingkat Kabupaten/kota.
d. PAC (Pimpinan Anak Cabang) untuk tingkat kecamatan.
e. Ranting untuk tingkat kelurahan/desa dan komisariat untuk kepengurusan disuatu tempat tertentu.
f. Pengurus Anak Ranting.

C. Perangkat Organisasi NU
Dalam menjalankan programnya, NU mempunyai 3 perangkat organisasi:
1. Lembaga
Yaitu alat kegiatan NU yang bertugas menggarap “bidang kegiatan” tertentu seperti dakwah, pertanian, perekonomian, pesantren, pendidikan dan sebagainya.Lembaga tidak mempunyai anggota sendiri, hanya mempunyai tenaga-tenaga pengurus.
NU mempunyai 18 Lembaga yang terdiri dari:
a. Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama disingkat LDNU, bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama di bidang pengembangan agama Islam yang menganut faham Ahlussunnah wal Jama’ah.
b. Lembaga Pendidikan Maarif Nahdlatul Ulama disingkat LP Maarif NU, bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama dibidang pendidikan dan pengajaran formal.
c. Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama disingkat RMINU, bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama di bidang pengembangan pondok pesantren dan pendidikan keagamaan.
d. Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama disingkat LPNU bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama di bidang pengembangan ekonomi warga Nahdlatul Ulama.
e. Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama disingkat LPPNU, ber- tugas melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama di bidang pengembangan dan pengelolaan pertanian, kehutanan dan lingkungan hidup.
f. Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama disingkat LKKNU, ber- tugas melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama di bidang kesejahteraan keluarga, sosial dan kependudukan.
g. Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama disingkat LAKPESDAM NU, bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama di bidang pengkajian dan pengembangan sumber daya manusia.
h. Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama disingkat LPBHNU, bertugas melaksanakan pen- dampingan, penyuluhan, konsultasi, dan kajian kebijakan hukum.
i. Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia Nahdlatul Ulama disingkat LESBUMI NU, bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama di bidang pengembangan seni dan budaya.
j. Lembaga Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah Nahdlatul Ulama disingkat LAZISNU, bertugas menghimpun zakat dan shadaqah serta mentasharufkan zakat ke- pada mustahiqnya.
k. Lembaga Wakaf dan Pertanahan Nahdlatul Ulama disingkat LWPNU, bertugas mengurus tanah dan bangunan serta harta benda wakaf lainnya milik Nahdlatul Ulama.
l. Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama disingkat LBMNU, bertugas membahas masalah-masalah maudlu’iyyah (tematik) dan waqi’iyyah (aktual) yang akan menjadi Keputusan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.
m. Lembaga Ta’mir Masjid Nahdlatul Ulama disingkat LTMNU, bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama di bidang pengembangan dan pemberdayaan masjid.
n. Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama disingkat LKNU, bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama di bidang kesehatan.
o. Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama disingkat LFNU, bertugas mengelola masalah ru’yah, hisab dan pengembangan iImu falak.
p. Lembaga Ta’lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama disingkat LTNNU, bertugas mengembangkan penulisan, pener- jemahan dan penerbitan kitab/buku serta media informasi menurut faham Ahlussunnah wal Jama’ah.
q. Lembaga Pendidikan Tinggi Nahdlatul Ulama disingkat LPTNU, bertugas mengembangkan pendidikan tinggi Nahdlatul Ulama.
r. Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama disingkat LPBI NU, bertugas melak- sanakan kebijakan Nahdlatul Ulama dalam pencegahan dan penanggulangan bencana serta eksplorasi kelautan.

2. Badan Otonom
Yaitu perangkat organisasi Nahdlatul Ulama yang berfungsi melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama yang berkaitan dengan kelompok masyarakat tertentu dan beranggotakan perorangan.Pembentukan dan pembubaran Badan Otonom diusulkan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ditetapkan dalam Konferensi Besar dan dikukuhkan dalam Muktamar.
Badan Otonom berkewajiban menyesuaikan dengan akidah, asas dan tujuan Nahdlatul Ulama. Badan Otonom harus memberikan laporan perkembangan setiap tahun kepada Nahdlatul Ulama di semua tingkatan. Badan Otonom dikelompokkan dalam kategori Badan Otonom berbasis usia dan kelompok masyarakat tertentu, dan Badan Otonom berbasis profesi dan kekhususan lainnya.
Jenis Badan Otonom berbasis usia dan kelompok masyarakat tertentu adalah:
a. Muslimat Nahdlatul Ulama disingkat Muslimat NU untuk anggota perempuan Nahdlatul Ulama.
b. Fatayat Nahdlatul Ulama disingkat Fatayat NU untuk anggota perempuan muda Nahdlatul Ulama berusia maksimal 40 (empat puluh) tahun.
c. Gerakan Pemuda Ansor Nahdlatul Ulama disingkat GP Ansor NU untuk anggota laki-laki muda Nahdlatul Ulama yang maksimal 40 (empat puluh) tahun.
d. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia disingkat PMII untuk mahasiswa Nahdlatul Ulama yang maksimal berusia 30 (tiga puluh) tahun.
e. Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama disingkat IPNU untuk pelajar dan santri laki-laki Nahdlatul Ulama yang maksimal berusia 27 (dua puluh tujuh) tahun.
f. Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama disingkat IPPNU untuk pelajar dan santri perempuan Nahdlatul Ulama yang maksimal berusia 27 (dua puluh tujuh) tahun.

Badan Otonom berbasis profesi dan ke- khususan lainnya:
a. Jam’iyyah Ahli Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah disingkat JATMAN untuk anggota Nahdlatul Ulama pengamal tharekat yang mu’tabar.
b. Jam’iyyatul Qurra wal Huffazh disingkat JQH untuk anggota Nahdlatul Ulama yang berprofesi Qori/Qoriah dan Hafizh/ Hafizhah.
c. Ikatan Sarjana Nahdlalul Ulama disingkat ISNU adalah Badan Otonom yang ber- fungsi membantu melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama pada kelompok sarjana dan kaum intelektual.
d. Serikat Buruh Muslimin Indonesia disingkat SARBUMUSI untuk anggota Nahdlatul Ulama yang berprofesi sebagai buruh/karyawan/tenaga kerja.
e. Pagar Nusa untuk anggota Nahdlatul Ulama yang bergerak pada pengembangan seni bela diri.
f. Persatuan Guru Nahdlatul Ulama disingkat PERGUNU untuk anggota Nahdlatul Ulama yang berprofesi sebagai guru dan/atau ustadz.
g. Serikat Nelayan Nahdlatul Ulama untuk anggota Nahdlatul Ulama yang berprofesi sebagai nelayan.
h. Ikatan Seni Hadrah Indonesia Nahdlatul Ulama disingkat ISHARINU untuk anggota Nahdlatul Ulama yang bergerak dalam pengembangan seni hadrah dan shalawat.

3. Badan Kusus
Perangkat pengurus besar Nahdlatul Ulama ( PBNU ) yang memiliki struktur secara Nasional berfungsi dalam pengelolaan, penyelenggaraan, dan pengembangan kebijakan Nahdlatul Ulama berkaitan dengan bidang tertentu. Ketua Badan khusus ditunjuk langsung dan bertanggung jawab kepada Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Ketua Badan Khusus dapat diangkat untuk maksimal 2 (dua) kali masa khidmat, Pembentukan dan penghapusan badan khusus ditetapkan melalui rapat harian syuriah dan tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama,
Pembentukan Badan khusus di tingkat Wilayah diusulkan oleh Pengurus Wilayah, dan disahkan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Pembentukan Badan Khusus di tingkat cabang diusulkan oleh Pengurus Cabang dan disahkan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, ketentuan lebih lanjut berkaitan dengan badan kusus akan diatur dalam peraturan organisasi.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
NU sebagai organisai yang didirikan oleh para ulama pengasuh pesantren yang sekian banyaknya dan sekian luas pengaruhnya, tentu dimasudkan utntuk menempatkan posisi dn fungsi ulama sedemikian penting di tengah-tengah masyarakat, bangsa dan Negara, khususnya di NU. ajaran islam yang berhaluan Ahlussunnah wal jama’ah serta menganut salah satu madzhab empat; Imam Abu Hanifah an-Nu’man, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hanbal, guna mempersatukan langkah para ulama dan pengikutnya dalam melakukan kegiatan yang bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa, ketinggian harkat dan martabat manusia.
NU dengan demikian merupakan gerakan keagamaan yang bertujuan untuk membangun dan mengembangkan insan dan masyarakat yang bertakwa kepada ALLAH SWT, cerdas, terampil, berakhlak mulia, tenteram, adil dan sejahtera.

DAFTAR PUSTAKA

• KH. Abdul Muchith Muzadi. NU dalam Persepektif Sejarah & Ajara,(Refleksi 65 Th. Ikut NU). Surabaya: penerbit Khalista.

SEJARAH NU, ANGGARAN DASAR DAN ANGGARAN RUMAH TANGGA NU

MAKALAH
SEJARAH NU, ANGGARAN DASAR DAN ANGGARAN RUMAH TANGGA NU

index

Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam 2
Dosen Pengampu: Nur Rohman, S.Pd., M.Si.

Oleh :
 Putri Pratiwi (151120001548)
 Ery Setyo Rini (151120001556)
 Fiwi Yeni Nazara (151120001571)
 Siti Zelikha Khomsatun (151120001573)

PRODI AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA’
2015/2016

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas anugerah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah Agama Islam 2.
Adapun maksud dan tujuan dari penyusunan makalah ini selain untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh dosen pengampu kami juga untuk lebih memperluas pengetahuan para mahasiswa khususnya bagi penulis.
Makalah ini berisi materi tentang “Sejarah Nahdlatul Ulama’, Anggaran Dasar, dan Anggaran Rumah Tangga”. Yang menjabarkan teori-teori yang merujuk pada terbentuknya Nahdlatul Ulama, beserta ajaran/pokok pikiran dari Nahdlatul ‘Ulama. Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian makalah ini. Semoga Makalah ini dapat bermanfaat untuk para pembaca guna mendapatkan wawasan dan pengetahuan terlebih untuk diri penulis sendiri.
Penulis telah berusaha untuk dapat menyusun makalah ini dengan baik, namun penulis menyadari bahwa penulis memiliki keterbatasan sebagai manusia biasa. Oleh karena itu, jika didapati adanya kesalahan-kesalahan baik dari segi teknik penulisan, maupun dari isi makalah ini, kami memohon maaf dan penulis berharap adanya kritik dan saran dari dosen pengampu maupun pembaca sangat diharapkan penulis untuk dapat menyempurnakan makalah ini terlebih juga dalam pengetahuan kita bersama. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca. Amin.

Jepara, 20 April 2016

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang
NU adalah organisasi keagamaan sekaligus organisasi kemasyarakatan terbesar dalam lintasan sejarah bangsa Indonesia, mempunyai makna penting dan ikut menentukan perjalanan sejarah bangsa Indonesia, NU lahir dan berkembang dengan corak dan kulturnya sendiri. Sebagai organisasi keagamaan Ahlussunnah Wal Jama’ah, maka NU menampilkan sikap akomodatif terhadap berbagai madzhab keagamaan yang ada di sekitarnya. NU tidak pernah berfikir menyatukan apalagi menghilangkan mazdhab-mazdhab keagamaan yang ada. Dan sebagai organisasi kemasyarakatan, NU menampilkan sikap toleransi terhadap nilai-nilai lokal. NU berakulturasi dan berinteraksi positif dengan tradisi dan budaya masyarakat lokal. Dengan demikian NU memiliki wawasan multikultural, dalam arti kebijakan sosialnya bukan melindungi tradisi atau budaya setempat, tetapi mengakui manivestasi tradisi dan budaya setempat yang memiliki hak hidup di Republik Indonesia tercinta ini. Sebagai warga negara Indonesia, terkhusus sebagai warga Nahdlatul ‘Ulama alangkah baiknya kita mengetahui lebih dalam mengenai apa itu Nahdlatul ‘Ulama. Banyak hal yang bisa kita temukan dan kita kaji dalam perkembangan organisasi ini sehingga kita dapat memetik segala hikmah kebaikan yang bisa dijadikan motivasi dan semangat untuk kehidupan kita.
Dalam Makalah ini, penulis menguraikan tentang sejarah terbentuknya Nahdlatul Ulama’, Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) Nahdlatul ‘Ulama.
Tema yang kami bahas dalam makalah ini penting karena dari sini kami dapat mengetahui terbentuknya Nahdlatul Ulama, ajaran/pokok pikiran dari Nahdlatul ‘Ulama beserta Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) Nahdlatul ‘Ulama. Dengan demikian para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah diharapkan untuk dapat melanjutkan dakwah Islamiyah dan melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar dengan mengorganisasikan kegiatan-kegiatannya dalam suatu wadah organisasi yang bernama NAHDLATUL ULAMA, yang bertujuan untuk mengamalkan ajaran Islam menurut faham Ahlussunnah wal Jama’ah.
1.2. Rumusan masalah
a. Bagaimana sejarah terbentuknya Nahdlatul Ulama’?
b. Apa saja bagian-bagian dalam Anggaran Dasar (AD) NU ?
c. Apa saja bagian-bagian dalam Anggaran Rumah Tangga (ART) NU ?
1.3. Tujuan
a. Untuk mengetahui sejarah terbentuknya Nahdlatul Ulama’.
b. Untuk mengetahui bagian-bagian dari Anggaran Dasar (AD) NU.
c. Untuk mengetahui bagian-bagian dari Anggaran Rumah Tangga (ART) NU.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. SEJARAH BERDIRINYA NAHDLATUL ‘ULAMA
a. Latar belakang berdirinya Nahdlatul ‘Ulama
Latar belakang berdirinya NU berkaitan erat dengan perkembangan pemikiran keagamaan dan politik dunia islam pada saat itu. Salah satu faktor pendorong lahirnya NU adalah karena adanya tantangan globalisasi yang terjadi dalam dua hal : Globalisasi Wahabi, pada tahun 1924, Syarief Husein, Raja Hijaz (Makkah) yang berpaham Sunni ditaklukkan oleh Abdul Aziz bin Saud yang beraliran Wahabi. Tersebarlah berita penguasa baru itu akan melarang semua bentuk amaliyah keagamaan kaum sunni, yang sudah berjalan berpuluh-puluh tahun di Tanah Arab, dan akan menggantinya dengan model Wahabi. Pengamalan agama dengan sistem bermadzhab, tawassul, ziarah kubur, maulid nabi, dan lain sebagainya, akan segera dilarang. Globalisasi imperialisme fisik konvensional yang di Indonesia di lakukan oleh Belanda, Inggris, dan Jepang, sebagaimana juga terjadi di belahan bumi Afrika, Asia, Amerika Latin, dan negeri-negeri lain yang dijajah bangsa Eropa.

b. Proses Berdirinya Nahdlatul ‘Ulama Berdirinya komite HIJAZ
Lahirnya Nahdlatul ‘Ulama Sebelum tahun 1924, raja yang berkuasa di Mekkah dan Madinah ialah Syarif Husen, yang bernaung dibawah Kesultanan Turki. Akan tetapi pada tahun 1926 Syarif Husen digulingkan oleh Ibnu Suud. Ibnu Suud ialah seorang pemimpin suku yang taat kepada seorang pengajar agama bernama Abdul Wahhab dari Nejed yang ajaran-ajaranya sangat konservatif. Misalnya berdoa didepan makam nabi dihukumi syirik. Penguasa hijaz yang baru ini mengundang pemimpin-pemimpin islam seluruh dunia untuk menghadiri Muktamar Islam di Mekkah pada bulan Juni 1926. Di Indonesia kebetulan waktu itu sudah terbentuk CCC (Centra Comite Chilafat) disebut Komite Hilafat, dan duduk di dalamnya berbagai wakil Organisasi Islam, termasuk K.H. Wahab Hasbullah. CCC yang akan menentukan utusan Indonesia kemuktamar tersebut. Berhubungan dengan itu, maka K.H. Wahab Hasbullah bersama-sama para ulama’ Taswirul Afkar dan Nahdlatul Wathan dengan restu K.H. Hasyim Asy’ari memutuskan untuk mengirimkan delegasi sendiri kemukatamar pada juni 1926 dengan membentuk komite sendiri yaitu komite hijaz.
“Susunan Komite Hijaz :” Penasehat : K.H. Abdul Wahab Hasbullah K.H. Cholil Masyhuri Ketua : H.Hasan Gipo Wakil Ketua : H. Sholeh Syamil Sekretaris : Muhammad Shodiq Pembantu : K.H. Abdul Halim Pada tanggal 31 Januari 1926 komite mengadakan rapat di Surabaya dengan mengundang para ‘ulama terkemuka di Surabaya dan dihadiri K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Asnawi Kudus. rapat memutuskan K.H. Asnawi Kudus sebagai delegasi Komite Hijaz menghadiri muktamar dunia Islam di Mekkah.

c. Tokoh-tokoh dibalik Berdirinya NU
1. Kiyai Kholil.
Beliau lahir Selasa 11 Jumadil Akhir 1235 di Bangkalan Madura nama ayahnya Abdul Latif. Pada tahun 1859 ketika berusia 24 tahun Kiyai Kholil memutuskan untuk pergi ke Mekkah dengan biaya tabungannya, sebelum berangkat beliau dinikahkan dengan Nyai ‘Asyik. Di Mekkah beliau belajar pada Syeikh di Masjidil Haram tetapi beliau lebih banyak mengaji pada para Syeikh yang bermazdhab Syafi’i . Sepulang dari Mekkah beliau dikenal sebagai ahli fiqih dan thoriqot bahkan ia memadukan kedua ilmu itu dengan serasi dan beliau juga hafizd kemudian beliau mendirikan pesantren di Desa Cengkebuan. Wafat 29 Ramadlan 1343 H dalam usia 91 tahun.

2. K.H. Muhammad Hasyim Asy’ari.
Beliau mendapat gelar Hadratus Syeikh (Maha Guru). Lahir24 Dzulqa’dah 1287 H di Desa Gedang, Jombang. Ayahnya bernama K. Asy’ari Demak Jawa Tengah. Ibunya bernama Halimah putri dari Kiyai Utsman pendiri pesantren Gedang. Dalam rangka mengabdikan diri untuk kepentingan ummat maka K.H. Muhammad Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren Tebuireng, jombang pada tahun 1899 M. Wafat pada tanggal 17 Ramadlan 1366 H.

3. K.H. Abdul Wahab Hasbullah.
Lahir di Desa Tambakberas, Jombang, Jawa Timur pada bulan Maret 1888. Semenjak kanak-kanak beliau dikenal kawan-kawannya sebagai pemimpin dalam segala permainan. Langkah awal yang ditempuh K.H. Wahab Hasbullah kelak sebagai bapak pendiri NU, itu merupakan usaha membangun semangat nasionalisme lewat jalur pendidikan yang sengaja dipilih nama Nahdlatul Wathan yang berarti Bangkitnya Tanah Air.

Ajaran atau Pokok Pikiran Nahdlatul ‘Ulama Nahdlatul ‘Ulama (NU) merupakan organisasi sosial keagamaan yang berhaluan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, sebagai wadah pengemban dan mengamalkan ajaran Islam Ala Ahadi al-Mazhabi al-Arba’ah dalam rangka mewujudkan Islam sebagai rahmat bagi semesta alam. Dengan kata lain sebagai salah satu ormas tertua, NU merupakan satu-satunya organisasi masa yang secara keseluruhan bahwa Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah sebagai mazhabnya. Sehingga, ketika NU berpegang pada mazhab, berarti mengambil produk hukum Islam (fiqh) dari empat Imam Mazhab, yaitu mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi’i dan mazhab Hambali. Dalam kenyataannya NU lebih condong pada pendapat Imam Asy-Syafi’i, oleh karenanya NU sering “dicap” sebagai penganut fanatik mazhab Syafi’i. Hal ini dapat dilihat dari cara NU mengambil sebuah rujukan dalam menyelesaikan kasus-kasus atau permasalahan-permasalahan yang muncul. Alasan yang sering dilontarkan adalah umat Islam Indonesia mayoritas bermazhab Syafi’i. Nahdlatul ‘Ulama (NU) sebagai Jam’iyah Diniyah Islamiyah yang bertujuan membangun atau mengembangkan insan dan masyarakat yang bertaqwa kepada Allah SWT senantiasa berpegang teguh pada kaidah-kaidah keagamaan (ajaran Islam) dan kaidah-kaidah fiqh lainnya dalam merumuskan pendapat, sikap dan langkah guna memajukan jam’iyah tersebut. Dalam bidang keagamaan dan kemasyarakatan alam pikiran (pokok ajaran) Nahdlatul Ulama (NU) secara ringkas dapat dibagi menjadi tiga bidang ajaran yaitu; bidang aqidah, fiqh, dan tasawuf. Dalam bidang aqidah yang dianut oleh NU sejak didirikan pada 1926 adalah Islam atas dasar Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah. Faham ini menjadi landasan utama bagi NU dalam menentukan segala langkah dan kebijakannya, baik sebagai organisasi keagamaan murni, maupun sebagai organisasi kemasyarakatan. Hal ini ditegaskan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART), bahwa NU mengikuti Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah dan menggunakan jalan pendekatan (mazhab). Adapun faham Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah yang dianut NU adalah faham yang dipelopori oleh Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi. Keduanya dikenal memiliki keahlian dan keteguhan dalam mempertahankan i’tiqad (keimanan) Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah seperti yang telah disyaratkan oleh Nabi SAW dan para sahabatnya. Jadi dalam melaksanakan ajaran Islam, bila dikaitkan dengan masalah-masalah aqidah harus memilih salah satu di antara dua yaitu al-Asy’ari dan al-Maturidi. Sementara dalam bidang fiqh ditegaskan bahwa: Nahdlatul Ulama (NU) sebagai Jam’iyah Diniyah Islamiyah beraqidah Islam menurut faham Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah dan mengikuti faham salah satu mazhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Namun dalam prakteknya para Kyai adalah penganut kuat dari pada mazhab Syafi’i. Jadi dengan demikian NU memegang produk hukum Islam (fiqh) dari salah satu empat mazhab tersebut, artinya bahwa dalam rangka mengamalkan ajaran Islam, NU menganut dan mengikuti bahkan mengamalkan produk hukum Islam (fiqh) dari salah satu empat mazhab empat sebagai konsekuensi dari menganut faham Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah. Walaupun demikian tidak berarti terus Nahdlatul Ulama tidak lagi menganut ajaran yang diterapkan Rasulullah SAW. sebab keempat mazhab tersebut dalam mempraktekkan ajaran Islam juga mengambil landasan dari al-Qur’an dan as-Sunnah di samping Ijma’ dan Qiyas sebagai sumber pokok penetapan hukum Islam. Adapun alasan kenapa Nahdlatul Ulama dalam bidang hukum Islam (fiqh) lebih berpedoman kepada salah satu dari empat mazhab; Pertama, al-Qur’an sebagai dasar hukum Islam yang pokok atau utama bersifat universal, sehingga hanya Nabi SAW. yang tahu secara mendetail maksud dan tujuan apa yang terkandung dalam al-Qur’an. Nabi SAW sendiri menunjukkan dan menjelaskan makna dan maksud dar al-Qur’an tersebut melalui sunnah-sunnah beliau, yaitu berupa perkataan, perbuatan, dan taqrir. Kedua, sunnah Nabi SAW. yang berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrirnya yang hanya diketahui oleh para sahabat yang hidup bersamaan (semasa) dengan beliau, oleh karena itu perlu untuk memeriksa, menyelidiki dan selanjutnya berpedoman pada keterangan-leterangan para sahabat tersebut. Namun sebagian ulama tidak memperbolehkan untuk mengikuti para sahabat dengan begitu saja. Maka dari itu untuk mendapatkan kepastian dan kemantapan, maka jalan yang ditempuh adalah merujuk kepada para ulama mujtahidin yang tidak lain adalah imam madzhab yang empat, artinya bahwa dalam mengambil dan menggunakan produk fiqh (hukum Islam) dari ulama mujtahidin harus dikaji, diteliti dan dpertimbangkan terlebih dahulu sebelum dijadikan pedoman dan landasan bagi Nahdhatul Ulama. Oleh karena itu, untuk meneliti dan mengkaji suatu produk fiqh (hukum Islam) dalam NU ada suatu forum pengkajian produk-produk hukum fiqh yang biasa disebut “Bahsul Masail ad-Diniyah (pembahasan masalah-masalah keagamaan)”. Jadi dalam forum ini berbagai masalah keagamaan akan digodok dan diputuskan hukumnya, yang selanjutnya keputusan tesebut akan menjadi pegangan bagi Jam’iyah Nahdlatul Ulama. Faham Nahdlatul Ulama dalam bidang tasawuf. Tasawuf sebenarnya merupakan dari ibadah yang sulit dipisahkan dan merupakan hal yang penting, terutama yang berkaitan dengan makna hakiki dari suatu ibadah. Jika fiqh merupakan bagian lahir dari suatu ibadah yang segala ketentuan pelaksanaannya sudah ditetapkan dalam agama, untuk mendalami dan memahami bagian dari ibadah, maka jalan yang dapat ditempuh adalah melalui tasawuf itu sendiri. Di antara berbagai macam aliran tasawuf yang tumbuh dan berkembang, NU mengikuti aliran tasawuf yang dipelopori oleh Imam Junaid al-Bagdadi dan Imam al-Gazali. Imam Junaid al-Bagdadi adalah salah seorang sufi terkenal yang wafat pada tahun 910 M di Irak, sedangkan Imam al-Gazali adalah seorang ulama besar yang berasal dari Persia. Untuk kepentingan ini, yaitu membentuk sikap mental dan kesadaran batin yang benar dalam beribadah bagi warga Nahdlatul Ulama, maka pada tahun 1957 para tokoh NU membentuk suatu badan “Jam’iyah at-Tariqah al-Mu’tabarah” badan ini merupakan wadah bagi warga NU dalam mengikuti ajaran tasawuf tersebut. Dalam perkembangannya pada tahun 1979 saat muktamar NU di Semarang badan tersebut diganti namanya “Jam’iyah at-Tariqah al-Mu’tabarah an-Nadiyyah”. Dengan melihat nama badan tersebut dimana didalamnya ada kata nadhiyyin ini menunjukkan identitasnya sebagai badan yang berada dalam lingkungan Nahdhatul Ulama. Selanjutnya, sejalan dengan derap langkah pembangunan yang sedang dilakukan, maka Nahdlatul Ulama sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat dan bangsa harus mempunyai sikap dan pendirian dalam dan turut berpartisipasi dalam pembangunan tersebut. Sikap dan pendirian Nahdlatul Ulama ini selanjutnya menjadi pedoman dan acuan warga NU dalam kehidupan beragama, bermasyarakat dan bernegara. Sikap NU dalam bidang kemasyarakatan diilhami dan didasari oleh sikap dan faham keagamaan yang telah dianut. Sikap kemasyarakatan NU bercirikan pada sifat tawasut, i’tidal, tasamuh, tawazun dan amar ma’ruf nahi munkar. Sikap ini harus dimiliki baik oleh aktifis Nahdlatul Ulama maupun segenap warga dalam berorganisasi dan bermasyarakat :
Sikap Tawasut dan I’tidal. Tawasut artinya tengah, sedangkan I’tidal artinya tegak. Sikap tawasuth dan i’tidal maksudnya adalah sikap tengah yang berintikan kepada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus ditengah-tengah kehidupan bersama. Dengan sikap dasar ini, maka NU akan selalu menjadi kelompok panutan yang bersikap dan bertindak lurus dan selalu bersikap membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat tatarruf (ekstrim).
Sikap Tasamuh artinya Nahdlatul Ulama bersikap toleran terhadap perbedaan pandangan, baik dalam masalah keagamaan teruma hal-hal yang bersifat furu’ atau yang menjadi masalah khilafiyah maupun dalam masalah yang berhubungan dengan kemasyarakatan dan kebudayaan.
Sikap Tawazun yaitu sikap seimbang dalam berkhidmad. Menyesuaikan berkhidmad kepada Allah SWT, khidmat sesama manusia serta kepada lingkungan sekitarnya. Menserasikan kepentingan masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.
Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Segenap warga Nahdlatul Ulama diharapkan mempunyai kepekaan untuk mendorong berbuat baik dan bermanfaat bagi kehidupan bermasyarakat, serta mencegah semua hal yang dapat menjerumuskan dan merendahakan nilai-nilai kehidupan manusia. Dengan adanya beberapa aspek tersebut diatas, diharapkan agar kehidupan umat Islam pada umumnya dan warga Nahdlatul Ulama pada khususnya, akan dapat terpelihara secara baik dan terjalin secara harmonis baik dalam lingkungan organisasi maupun dalam segenap elemen masyarakat yang ada. Demikian pula perilaku warga Nahdlatul Ulama agar senantiasa terbentuk atas dasar faham keagamaan dan sikap kemasyarakatan, sebagai sarana untuk mencapai cita-cita dan tujuan yang baik bagi agama maupun masyarakat.
2.2 ANGGARAN DASAR NAHDLATUL ‘ULAMA
Perkumpulan/Jam’iyahsebagaisuatuorganisasimakadisusunlah ADNUsebagaiberikut:
a. Nama, Kedudukan, dan Status
Nama
(1) Perkumpulan/Jam’iyah ini bernama Nahdlatul Ulama disingkat NU.
(2) Nahdlatul Ulama didirikan oleh ulama pondok pesantren di Surabaya pada tanggal 16 Rajab 1344 H bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926 M untuk waktu yang tak terbatas.
Kedudukan
Nahdlatul Ulama berkedudukan di Jakarta, Ibukota Negara Republik Indonesia yang meru- pakan tempat kedudukan Pengurus Besarnya.
Status
(1) Nahdlatul Ulama sebagai Badan Hukum Perkumpulan bergerak dalam bidang ke- agamaan, pendidikan, dan sosial.
(2) Nahdlatul Ulama memiliki hak-hak secara hukum sebagai Badan Hukum Perkumpulan termasuk di dalamnya hak atas tanah dan aset-aset lainnya.
b. Pedoman, Aqidah, danAsas
Pedoman
Nahdlatul Ulama berpedoman kepada Al- Qur’an, As-Sunnah, Al-Ijma’, dan Al-Qiyas.
Aqidah
Nahdlatul Ulama beraqidah Islam menurut faham Ahlusunnah wal Jama’ah dalam bidang aqidah mengikuti madzhab Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi; dalam bidang fiqh mengikuti salah satu dari Madzhab Empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali); dan dalam bidang tasawuf mengikuti madzhab Imam al-Junaid al-Bagdadi dan Abu Hamid al-Ghazali.
Asas
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, Nahdlatul Ulama berasas kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945

Lambang

n-u-lambang

Lambang Nahdlatul Ulama berupa gambar bola dunia yang dilingkari tali tersimpul, dikitari oleh 9 (sembilan) bintang, 5 (lima) bintang terletak melingkari di atas garis khatulistiwa yang terbesar di antaranya terletak di tengah atas, sedang 4 (empat) bintang lainnya terletak melingkar di bawah garis khatulistiwa, dengan tulisan NAHDLATUL ULAMA dalam huruf Arab yang melintang dari sebelah kanan bola dunia ke sebelah kiri, dan ada huruf “N” di bawah kiri dan “U” di bawah kanan, semua terlukis dengan warna putih di atas dasar hijau.

c. Tujuan dan Usaha

Tujuan
(1) Nahdlatul Ulama adalah perkumpulan / jam’iyyah diniyyah islamiyyah ijtima’iyyah (organisasi sosial keagamaan Islam) untuk menciptakan kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa, dan ketinggian harkat dan martabat manusia.
(2) Tujuan Nahdlatul Ulama adalah berlakunya ajaran Islam yang menganut faham Ahlusunnah wal Jama’ah untuk terwujudnya tatanan masyarakat yang berkeadilan demi kemaslahatan, kesejahteraan umat dan demi terciptanya rahmat bagi semesta.

Usaha
Untuk mewujudkan tujuan sebagaimana Pasal 8 di atas, maka Nahdlatul Ulama melaksanakan usaha-usaha sebagai berikut:
a. Dibidang agama, mengupayakan ter- laksananya ajaran Islam yang menga nut faham Ahlusunnah wal Jama’ah.
b. Dibidang pendidikan, pengajaran dan kebudayaan mengupayakan terwujudnya penyelenggaraan pendidikan dan pen gajaran serta pengembangan kebu dayaan yang sesuai dengan ajaran Islam untuk membina umat agar menjadi muslim yang takwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas dan terampil, serta berguna bagi agama, bangsa dan negara.
c. Dibidang sosial, mengupayakan dan men- dorong pemberdayaan di bidang kesehatan, kemaslahatan dan ketahanan keluarga, dan pendampingan masyarakat yang terpinggirkan (mustadl’afin).
d. d. Di bidang ekonomi, mengupayakan peningkatan pendapatan masyarakat dan la – pangan kerja/usaha untuk kemak muran yang merata.
e. Mengembangkan usaha-usaha lain melalui kerjasama dengan pihak dalam mau pun luar negeri yang bermanfaat bagi masyarakat banyak guna terwujud nya Khairu Ummah.

d. Keanggotaan, Hak, dan Kewajiban

Keanggotaan
(1) Keanggotaan Nahdlatul Ulama terdiri dari anggota biasa, anggota luar biasa, dan anggota kehormatan.
(2) Ketentuan untuk menjadi anggota dan pemberhentian keanggotaan diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.

Hak dan Kewajiban
Ketentuan mengenai hak dan kewajiban anggota serta lain-lainnya diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.

e. Struktur dan Perangkat Organisasi

Struktur
Struktur Organisasi Nahdlatul Ulama terdiri dari:
1. Pengurus Besar.
2. Pengurus Wilayah.
3. Pengurus Cabang/Pengurus Cabang Istimewa.
4. Pengurus Majelis Wakil Cabang.
5. Pengurus Ranting.
6. Pengurus Anak Ranting.

Perangkat Organisasi
Untuk melaksanakan tujuan dan usaha-usaha, Nahdlatul UIama membentuk perangkat organisasi yang meliputi: Lembaga, Badan Khusus dan Badan Otonom yang merupakan bagian tak terpisahkan dari kesatuan organisasi Jam’iyah Nahdlatul Ulama.

f. Kepengurusan dan Masa Khidmat

Kepengurusan
(1) Kepengurusan Nahdlatul Ulama terdiri dari Mustasyar, Syuriyah dan Tanfidziyah.
(2) Mustasyar adalah penasehat yang terdapat di Pengurus Besar, Pengurus Wilayah, Pengurus Cabang/ Pengurus Cabang Istimewa, dan pengurus Majelis Wakil Cabang.
(3) Syuriyah adalah pimpinan tertinggi Nahdlatul Ulama.
(4) Tanfidziyah adalah pelaksana.
(5) Ketentuan mengenai susunan dan komposisi kepengurusan diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.

Pengurus Besar Nadhlatul Ulama terdiri dari:
a. Mustasyar Pengurus Besar.
b. Pengurus Besar Harian Syuriyah.
c. Pengurus Besar Lengkap Syuriyah.
d. Pengurus Besar Harian Tanfidziyah.
e. Pengurus Besar Lengkap Tanfidziyah.
f. Pengurus Besar Pleno.

Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama terdiri dari :
a. Mustasyar Pengurus Wilayah.
b. Pengurus Wilayah Harian Syuriyah.
c. Pengurus Wilayah Lengkap Syuriyah.
d. Pengurus Wilayah Harian Tan fidziyah.
e. Pengurus Wilayah Lengkap Tanfidziyah.
f. Pengurus Wilayah Pleno.

Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama terdiri dari :
a. Mustasyar Pengurus Cabang.
b. Pengurus Cabang Harian Syuriyah.
c. Pengurus Cabang Lengkap Syuriyah.
d. Pengurus Cabang Harian Tanfidziyah.
e. Pengurus Cabang Lengkap Tanfidziyah.
f. Pengurus Cabang Pleno.

Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama terdiri dari:
a. Mustasyar Pengurus Cabang.
b. Pengurus Cabang Harian Syuriyah.
c. Pengurus Cabang Lengkap Syuriyah.
d. Pengurus Cabang Harian Tanfidziyah.
e. Pengurus Cabang Lengkap Tanfidziyah.
f. Pengurus Cabang Pleno.

Pengurus Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama terdiri atas:
a. Mustasyar Pengurus Majelis Wakil Cabang.
b. Pengurus Majelis Wakil Cabang Harian Syuriyah.
c. Pengurus Majelis Wakil Cabang Lengkap Syuriyah.
d. Pengurus Majelis Wakil Cabang Harian Tanfidziyah.
e. Pengurus Majelis Wakil Cabang Lengkap Tanfidziyah.
f. Pengurus Majelis Wakil Cabang Pleno.

Pengurus Ranting Nadhlatul Ulama terdiri atas:
a. Pengurus Ranting Harian Syuriyah.
b. Pengurus Ranting Lengkap Syuriyah.
c Pengurus Ranting Harian Tanfidziyah.
d. Pengurus Ranting Lengkap Tanfidziyah.
e. Pengurus Ranting Pleno.

Pengurus Anak Ranting Nahdlatul Ulama terdiri dari:
a. Pengurus Anak Ranting Harian Syuriyah.
b. Pengurus Anak Ranting Lengkap Syuriyah.
c. Pengurus Anak Ranting Harian Tanfidziyah.
d. Pengurus Anak Ranting Lengkap Tanfidziyah.
e. Pengurus Anak Ranting Pleno.

Ketentuan mengenai susunan dan komposisi pengurus diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.

Masa Khidmat
(1) Masa Khidmat Kepengurusan sebaga imana dimaksud pada Pasal 14 adalah lima tahun dalam satu periode di semua tingkatan, kecuali Pengurus Cabang Istimewa selama 2 (dua) tahun.
(2) Masa jabatan pengurus Lembaga dan Badan Khusus disesuaikan dengan masa jabatan Pengurus Nahdlatul Ulama di tingkat masing-masing.
(3) Masa Khidmat Ketua Umum Pengurus Badan Otonom adalah 2 (dua) periode, kecuali Ketua Umum Pengurus Badan Otonom yang ber basis usia adalah 1 (satu) periode.

g. Tugas dan Wewenang

Tugas dan Wewenang Mustasyar
Mustasyar bertugas dan berwenang memberikan nasehat kepada Pengurus Nahdlatul Ulama’ menurut tingkatannya baik diminta ataupun tidak.

Tugas dan Wewenang Syuriyah
Syuriyah bertugas dan berwenang membina dan mengawasi pelaksanaan keputusan-keputusan organisasi sesuai tingkatannya.

Tugas dan Wewenang Tanfidziah
Tanfidziyah mempunyai tugas dan wewenang menjalankan pelaksanaan keputusan-keputusan organisasi sesuai tingkatannya.

Ketentuan tentang rincian wewenang dan tugas diatur lebih lanjut dalam Anggaran Rumah Tangga.

a. Permusyawaratan
Permusyawaratan adalah suatu pertemuan yang dapat membuat keputusan dan ketetapan organisasi yang diikuti oleh struktur organisasi di bawahnya.

Permusyawaratan tingkat nasional terdiri dari:
a. Muktamar
b. Muktamar Luar Biasa
c. Musyawarah Nasional Alim Ulama
d. Konferensi Besar

Permusyawaratan tingkat daerah terdiridari:
a. Konferensi Wilayah
b. Musyawarah Kerja Wilayah
c. Konferensi Cabang/Konferensi Cabang Instimewa
d. Musyawarah Kerja Cabang/Musya warah Kerja Cabang Istimewa
e. Konferensi Majelis Wakil Cabang
f. Musyawarah Kerja Majelis Wakil Cabang
g. Musyawarah Ranting h. Musyawarah Kerja Ranting
i. Musyawarah Anak Ranting j. Musyawarah Kerja Anak Ranting

b. Rapat-Rapat
Rapat-rapat di lingkungan Nahdlatul Ulama terdiri dari:
a. Rapat Kerja.
b. Rapat Pleno.
c. Rapat Harian Syuriyah dan Tanfidziyah.
d. Rapat Harian Syuriyah.
e. Rapat Harian Tanfidziyah.
f. Rapat-rapat lain yang dianggap perlu.

c. Keuangan dan Kekayaan
Keuangan
(1) Keuangan Nahdlatul Ulama digali dari sumber-sumber dana di lingkungan Nahdlatul Ulama, umat Islam, maupun sumber-sumber lain yang halal dan tidak mengikat.

(2) Sumber dana Nahdlatul Ulama diperoleh dari:
a. Uang pangkal.
b. Uang I’anah Syahriyah
c. Sumbangan danusaha-usaha yang lain.

(3) Ketentuan penerimaan dan pemanfaatan keuangan yang termaktub dalam ayat 1 (satu) dan ayat 2 (dua) pasal ini diatur lebih lanjut dalam Anggaran Rumah Tangga.

Kekayaan
Kekayaan organisasi adalah inventaris dan aset organisasi yang berupa harta benda bergerak dan/atau harta benda tidak bergerak yang di- miliki/dikuasai oleh Organisasi/Perkumpulan

d. Pembubaran Organisasi

(1) Pembubaran Perkumpulan/Jam’iyah Nahdlatul Ulama sebagai suatu organisasi hanya dapat dilakukan apabila mendapat persetujuan dari seluruh anggota dan pengurus di semua tingkatan.
(2) Apabila Nahdlatul Ulama dibubarkan, maka segala kekayaannya diserahkan kepada organisasi atau badan amal yang sepaham dengan persetujuan dari seluruh anggota dan pengurus di semua tingkatan.

2.3. ANGGARAN RUMAH TANGGA NAHDLATUL ‘ULAMA
a. Keanggotaan
Keanggotaan Nahdlatul Ulama terdiri dari:
a. Anggota biasa adalah setiap warga negara Indonesia yang beragama Islam, baligh, dan menyatakan diri setia terhadap Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Organisasi.
b. Anggota luar biasa adalah setiap orang yang beragama Islam, baligh, menyetujui akidah, asas dan tujuan Nahdlatul Ulama namun yang bersangkutan bukan warga negara Indonesia.
c. Anggota kehormatan adalah setiap orang yang bukan anggota biasa atau anggota luar biasa yang dinyatak an telah berjasa kepada Nahdlatul Ulama dan ditetapk an dalam keputus an Pengurus Besar.

b. Tata Cara Penerimaan dan Pemberhentian Keanggotaan

Tata Cara Penerimaan Anggotaan
(1) Anggota biasa diterima melalui Pengurus Anak Ranting dan/atau Pengurus Ranting setempat.
(2) Anggota biasa yang berdomisili di luar negeri diterima melalui Pengurus Cabang Istimewa.
(3) Apabila tidak ada Pengurus Anak Ranting dan/atau Pengurus Ranting di tempat tinggalnya maka pendaftaran anggota dilakukan di Ranting terdekat.
(4) Anggota biasa disahkan oleh Pengurus Cabang.
(1) Anggota luar biasa di dalam negeri diterima dan disahkan oleh Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama setempat.
(2) Anggota luar biasa yang berdomisili di luar negeri diterima dan disahkan oleh Pengurus Cabang Istimewa setempat.
(3) Apabila tidak ada Pengurus Cabang Istimewa di tempat tinggalnya maka penerimaan dan pengesahan dilakukan di Pengurus Cabang Istimewa terdekat.
(1) Anggota kehormatan diusulkan oleh Pengurus Cabang, Pengurus Cabang Istimewa atau Pengurus Wilayah kepada Pengurus Besar.
(2) Pengurus Besar menilai dan mempertimbangkan usulan sebagaimana tersebut dalam ayat 1 pasal ini untuk memberikan persetujuan atau penolakan.
(3) Dalam hal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama memberikan persetujuan, maka kepada yangbersangkautan diberikan surat keputusan sebagai anggota kehormatan.

Pemberhentian Keanggotaan
(1)Seseorang dinyatakan berhenti dari keanggotaan Nahdlatul Ulama karena:
a. Permintaan sendiri
b. Diberhentikan
(2) Seseorang berhenti karena permintaan sendiri mengajukan secara tertulis kepada Pengurus Anak Ranting dan/atau Pengurus Ranting dimana dia terdaftar.
(3) Seseorang diberhentikan karena dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya sebagai anggota atau melakukan perbuatan yang mencemarkan dan menodai nama baik Nahdlatul Ulama.
(4) Ketentuan mengenai prosedur penerimaan dan pemberhentian keanggotaan yang belum diatur, akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Organisasi.
c. Kewajiban dan Hak Anggota

Kewajiban Anggota:
a. Menjaga dan mengamalkan Islam faham Ahlu Sunnah wal Jama’ah An-Nahdliyah.
b. Mengembangkan nilai-nilai ke bang saan dan mempertahankan serta menegakkan prinsip bernegara NKRI.
c Memupuk dan memelihara Ukhuwah Islamiyah, Ukhuwah Wathoniyah dan Ukhuwah Basyariyah.
d. Mempertahankan keutuhan keluarga dalam bidang agama, budaya dan tradisi.
e. Setia dan bersungguh-sungguh men- dukung dan membantu segala langkah organisasi serta bertanggung jawab atas segala sesuatu yang diamanahkan kepadanya.
\
Hak Anggota:
a. Mendapatkan pelayanan keagamaan.
b. Mendapatkan pelayanan dasar dalam bidang pendidikan, sosial, ekonomi, kesehatan, informasi yang sehat, perlindungan hukum dan keamanan.
c. Berpartisipasi dalam musyawarah, memilih dan dipilih menjadi pengurus atau menduduki jabatan lain sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
d. Menjalankan tradisi dan adat-istiadat selama tidak bertentangan dengan ajaran Ahlu Sunnah wal Jama’ah An-Nahdliyah.
e. Mendapatkan perlindungan diri dan keluarganya dari pengaruh paham-paham yang bertentangan dengan ajaran Ahlu Sunnah wal Jama’ah An-Nahdliyah.
f. Mendapatkan Kartu Tanda Anggota Nahdlatul Ulama (KARTANU).

d. Tingkatan Kepengurusan

Tingkatan kepengurusan dalam organisasi Nahdlatul Ulama terdiri dari:
a. Pengurus Besar (PB) untuk tingkat Nasional dan berkedudukan di Jakarta, Ibukota Negara. b. Pengurus Wilayah (PW) untuk tingkat Propinsi dan berkedudukan di wilayahnya.
c. Pengurus Cabang (PC) untuk tingkat Kabupaten/Kota dan berkedudukan di wilayahnya.
d. Pengurus Cabang Istimewa (PCI) untuk Luar Negeri dan berkedudukan di wilayah negara yang bersangkutan.
e. Pengurus Majelis Wakil Cabang (MWC) untuk tingkat Kecamatan dan ber ke- dudukan di wilayahnya.
f. Pengurus Ranting (PR) untuk tingkat Kelurahan/desa.
g. Pengurus Anak Ranting (PAR) untuk kelompok dan/atau suatu komunitas.

e. Perangkat Organisasi
Perangkat organisasi Nahdlatul Ulama terdiri dari:
(1) Lembaga adalah perangkat departementasi organisasi Nahdlatul Ulama yang berfungsi sebagai pelaksana kebijakan Nahdlatul Ulama berkaitan dengan kelompok masyarakat tertentu dan/atau yang memerlukan penanganan khusus.

Lembaga meliputi :
a. Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama disingkat LDNU, bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama di bidang pengembangan agama Islam yang menganut faham Ahlussunnah wal Jama’ah.
b. Lembaga Pendidikan Maarif Nahdlatul Ulama disingkat LP Maarif NU, bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama dibidang pendidikan dan pengajaran formal.
c. Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama disingkat RMINU, bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama di bidang pengembangan pondok pesantren dan pendidikan keagamaan.
d. Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama disingkat LPNU bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama di bidang pengembangan ekonomi warga Nahdlatul Ulama.
e. Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama disingkat LPPNU, ber- tugas melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama di bidang pengembangan dan pengelolaan pertanian, kehutanan dan lingkungan hidup.
f. Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama disingkat LKKNU, bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama di bidang kesejahteraan keluarga, sosial dan kependudukan.
g. Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama disingkat LAKPESDAM NU, bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama di bidang pengkajian dan pengembangan sumber daya manusia.
h. Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama disingkat LPBHNU, bertugas melaksanakan pen- dam pingan, penyuluhan, konsultasi, dan kajian kebijakan hukum.
i. Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia Nahdlatul Ulama disingkat LESBUMI NU, bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama di bidang pengembangan seni dan budaya. j. Lembaga Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah Nahdlatul Ulama disingkat LAZISNU, bertugas menghimpun zakat dan shadaqah serta mentasharufkan zakat ke- pada mustahiqnya.
k. Lembaga Wakaf dan Pertanahan Nahdlatul Ulama disingkat LWPNU, ber t ugas mengurus tanah dan bangunan serta harta benda wakaf lainnya milik Nahdlatul Ulama.
l. Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama disingkat LBMNU, bertugas membahas masalah-masalah maudlu’iyyah (tematik) dan waqi’iyyah (aktual) yang akan menjadi Keputusan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.
m. Lembaga Ta’mir Masjid Nahdlatul Ulama disingkat LTMNU, bertugas me lak sanakan kebijakan Nahdlatul Ulama di bidang pengembangan dan pemberdayaan masjid.
n. Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama disingkat LKNU, bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama di bidang kesehatan.
o. Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama disingkat LFNU, bertugas mengelola masalah ru’yah, hisab dan pengembangan iImu falak.
p. Lembaga Ta’lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama disingkat LTNNU, bertugas mengembangkan penulisan, pener- je mahan dan penerbitan kitab/buku serta media informasi menurut faham Ahlussunnah wal Jama’ah.
q. Lembaga Pendidikan Tinggi Nahdlatul Ulama disingkat LPTNU, bertugas me ngem bangkan pendidikan tinggi Nahdlatul Ulama.
r. Lembaga Penanggulangan Bencanadan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama disingkat LPBI NU, bertugas melak- sanakan kebijakan Nahdlatul Ulama dalam pencegahan dan penanggulangan ben cana serta eksplorasi kelautan.

(2) Badan Otonom adalah perangkat organisasi Nahdlatul Ulama yang berfungsi melak- sanakan kebijakan Nahdlatul Ulama yang berkaitan dengan kelompok masyarakat tertentu dan beranggotakan perorangan.
Badan Otonom berkewajiban menyesuaikan dengan akidah, asas dan tujuan Nahdlatul Ulama. Badan Otonom harus memberikan laporan perkembangan setiap tahun kepada Nahdlatul Ulama di semua tingkatan.
Badan Otonom dikelompokkan dalam kategori Badan Otonom berbasis usia dan kelompok masyarakat tertentu, dan Badan Otonom berbasis profesi dan kekhususan lainnya.

Jenis Badan Otonom berbasis usia dan kelompok masyarakat tertentu adalah:
a. Muslimat Nahdlatul Ulama disingkat Muslimat NU untuk anggota perempuan Nahdlatul Ulama.
b. Fatayat Nahdlatul Ulama disingkat Fatayat NU untuk anggota perempuan muda Nahdlatul Ulama berusia maksimal 40 (empat puluh) tahun.
c. Gerakan Pemuda Ansor Nahdlatul Ulama disingkat GP Ansor NU untuk anggota laki-laki muda Nahdlatul Ulama yang maksimal 40 (empat puluh) tahun.
d. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia disingkat PMII untuk mahasiswa Nahdlatul Ulama yang maksimal berusia 30 (tiga puluh) tahun.
e. Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama disingkat IPNU untuk pelajar dan santri laki-laki Nahdlatul Ulama yang maksimal berusia 27 (dua puluh tujuh) tahun.
f. Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama disingkat IPPNU untuk pelajar dan santri perempuan Nahdlatul Ulama yang maksimal berusia 27 (dua puluh tujuh) tahun.

Badan Otonom berbasis profesi dan kekhususan lainnya:
a. Jam’iyyah Ahli Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah disingkat JATMAN untuk anggota Nahdlatul Ulama pengamal tharekat yang mu’tabar.
b. Jam’iyyatul Qurra wal Huffazh disingkat JQH untuk anggota Nahdlatul Ulama yang berprofesi Qori/Qoriah dan Hafizh/ Hafizhah.
c. Ikatan Sarjana Nahdlalul Ulama disingkat ISNU adalah Badan Otonom yang ber- fungsi membantu melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama pada kelompok sarjana dan kaum intelektual.
d. Serikat Buruh Muslimin Indonesia disingkat SARBUMUSI untuk anggota Nahdlatul Ulama yang berprofesi sebagai buruh/karyawan/tenaga kerja.
e. Pagar Nusa untuk anggota Nahdlatul Ulama yang bergerak pada pengembangan seni bela diri.
f. Persatuan Guru Nahdlatul Ulama disingkat PERGUNU untuk anggota Nahdlatul Ulama yang berprofesi sebagai guru dan/atau ustadz.
g. Serikat Nelayan Nahdlatul Ulama untuk anggota Nahdlatul Ulama yang berprofesi sebagai nelayan.
h. Ikatan Seni Hadrah Indonesia Nahdlatul Ulama disingkat ISHARINU untuk anggota Nahdlatul Ulama yang bergerak dalam pengembangan seni hadrah dan shalawat.

(3) Badan Khusus adalah perangkat Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang me- miliki struktur secara nasional berfungsi dalam pengelolaan, penyelenggaraan dan pengembangan kebijakan Nahdlatul Ulama berkaitan dengan bidang tertentu. Ketua Badan khusus ditunjuk langsung dan bertanggung jawab kepada Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Ketua Badan Khusus dapat diangkat untuk maksimal 2 (dua) kali masa khidmat. Pembentukan dan penghapusan badan khusus ditetapkan melalui rapat harian syuriah dan tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama . Pembentukan Badan khusus di tingkat Wilayah diusulkan oleh Pengurus Wilayah, dan disahkan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Pembentukan Badan Khusus di tingkat cabang diusulkan oleh Pengurus Cabang dan disahkan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Ketentuan lebih lanjut berkaitan dengan Badan Khusus akan diatur dalam Peraturan organisasi.

f. Susunan Pengurus Wilayah
(1) Pengurus Harian Tanfidziyah terdiri dari Ketua, beberapa Wakil Ketua, Sekretaris, beberapa Wakil Sekretaris, Bendahara dan beberapa Wakil Bendahara.
(2) Pengurus Lengkap Tanfidziyah terdiri atas Pengurus Harian Tanfidziyah, Ketua Lembaga tingkat Wilayah, dan Ketua Badan Khusus.

g. Susunan Pengurus Cabang
(1) Mustasyar Pengurus Cabang dan Pengurus Cabang Istimewa terdiri dari beberapa orang sesuai dengan kebutuhan.
(2) Pengurus Harian Syuriyah terdiri dari Rais, beberapa Wakil Rais, Katib dan beberapa Wakil Katib.
(3) Pengurus Lengkap Syuriyah terdiri dari Pengurus Harian Syuriyah dan A’wan.

h. Susunan Pengurus Ranting
Pengurus Harian Tanfidziyah terdiri dari Ketua, beberapa Wakil Ketua, Sekretaris, beberapa Wakil Sekretaris, Bendahara dan beberapa Wakil Bendahara.

i. Pemilihan dan Penetapan Pengurus
(1) Pemilihan dan penetapan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama sebagai berikut:
a. Rais ‘Aam dipilih secara langsung melalui musyawarah mufakat dengan sistem Ahlul Halli wal ‘Aqdi.
b. Ahlul Halli wal ‘Aqdi terdiri dari 9 orang ulama yang ditetapkan secara langsung dalam muktamar.
c. Kriteria ulama yang dipilih menjadi Ahlul Halli wal ’Aqdi adalah sebagai berikut: beraqidah Ahlussunnah wal Jama’ah Annahdliyah, bersikap adil, ‘alim, memiliki integritas moral, tawadlu’, berpengaruh dan memiliki pengetahuan untuk memilih pemimpin yang munadzdzim dan muharrik serta wara’ dan zuhud.
d. Wakil Rais ‘Aam ditunjuk oleh Rais ‘Aam terpilih.
e. Ketua Umum dipilih secara langsung oleh muktamirin melalui musyawarah mufakat atau pemungutan suara dalam Muktamar, dengan terlebih dahulu menyampaikan kesediaannya secara lisan atau tertulis dan mendapat persetujuan dari Rais ‘Aam terpilih.
f. Wakil Ketua Umum ditunjuk oleh Ketua Umum terpilih.

(2) Rais ‘Aam terpilih, Wakil Rais ‘Aam, Ketua Umum terpilih dan Wakil Ketua Umum bertugas melengkapi susunan Pengurus Harian Syuriyah dan Tanfidziyah dengan dibantu oleh beberapa anggota mede formatur yang mewakili zona Indonesia bagian timur, Indonesia bagian tengah dan Indonesia bagian barat.
(3) Mustasyar dan A’wan ditetapkan oleh Pengurus Harian Syuriyah.
(4) Ketua Lembaga dan Badan Khusus ditetapkan oleh Pengurus Tanfidziyah.
(5) Pengurus Harian Tanfidziyah bersama Ketua Lembaga menyusun kelengkapan Pengurus Lembaga dan Badan Khusus.

j. Pengisian Jabatan antar Waktu
(1) Apabila Rais ‘Aam berhalangan tetap, maka Wakil Rais ‘Aam menjadi Pejabat Rais ‘Aam.
(2) Apabila Wakil Rais ‘Aam berhalangan tetap, maka Rais ‘Aam atau Pejabat Rais ‘Aam menunjuk salah seorang Rais untuk menjadi Wakil Rais ‘Aam.
(3) Apabila Rais ‘Aam dan Wakil Rais ‘Aam berhalangan tetap dalam waktu yang bersamaan, maka Rapat Pleno Pengurus Besar Nahdlatul Ulama menetapkan Pejabat Rais Aam dan Pejabat
Wakil Rais ‘Aam.
(4) Apabila Mustasyar, Rais Syuriyah, Katib ‘Aam, Katib, dan A’wan berhalangan tetap maka pengisiannya ditetapkan melalui rapat Pengurus Besar Harian Syuriyah dan disahkan dengan Surat Keputusan Pengurus Besar.

k. Wewenang dan Tugas Pengurus

Wewenang Pengurus
Kewenangan Rais ‘Aam adalah:
a. Mengendalikan pelaksanaan kebijakan umum Organisasi.
b. Mewakili Pengurus Besar Nahdlatul Ulama’ baik keluar maupun kedalam yang menyangkut urusan keagamaan baik dalam bentuk konsultasi, koordinasi, maupun informasi.
c. Bersama Ketua Umum mewakili Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dalam hal melakukan tindakan penerimaan, pengalihan, tukar-menukar, penjaminan, penyerahan wewenang penguasaan atau pengelolaan dan penyertaan usaha atas harta benda bergerak dan/ atau tidak bergerak milik atau yang dikuasai Nahdlatul Ulama dengan tidak mengurangi pembatasan yang diputuskan oleh Muktamar baik di dalam atau di luar pengadilan.
d. Bersama Ketua Umum menandatangani keputusan-keputusan strategis Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.

Katib mempunyai kewenangan sebagai berikut:
a. Melaksanakan kewenangan Katib ‘Aam apabila berhalangan;
b. Mendampingi Rais-rais sesuai bidang masing-masing.

Kewenangan Sekretaris Jenderal adalah:
a. Merumuskan dan mengatur pengelolaan kesek retariatan Pengurus Besar Tanfidziyah.
b. Merumuskan naskah rancangan peraturan, keputusan, dan pelaksanaan prog- ram Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.
c. Bersama Rais ‘Aam, Ketua Umum dan Katib ‘Aam menandatangani surat-surat keputusan strategis Pengurus Besar.

Kewenangan Bendahara Umum adalah:
a. Mengatur pengelolaan keuangan Pengurus Besar.
b. Melakukan pembagian tugas keben da- haraan dengan bendahara.
c. Bersama Ketua Umum menandatangani surat-surat penting Pengurus Besar yang berkaitan dengan keuangan.
Tugas Pengurus
Tugas Rais ‘Aam adalah:
a. Mengarahkan dan mengawasi pelaksanaan keputusan-keputusan Muktamar dan kebijakan umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.
b. Memimpin, mengkoordinasikan dan mengawasi tugas-tugas di antara Pengurus Besar Syuriyah.
c. Bersama Ketua Umum memimpin pelaksanaan Muktamar, Musyawarah Nasional Alim Ulama, Konferensi Besar, Rapat Kerja, Rapat Pleno, Rapat Harian Syuriyah dan Tanfidziyah. d. Memimpin Rapat Harian Syuriyah dan Rapat Pengurus Lengkap Syuriyah.

Katib mempunyai tugas sebagai berikut:
a. Membantu tugas Katib ‘Aam;
b. Mewakili Katib ‘Aam apabila berhalangan;
Tugas Sekretaris Jenderal adalah:
a. Membantu Ketua Umum, Wakil Ketua Umum dan Ketua-ketua dalam men- jalankan tugas dan wewenangnya.
b. Merumuskan manajemen administrasi, me mimpin dan mengkoordinasikan Sekretariat.
c. Mengatur dan mengkoordinir pembagian tugas diantara Wakil Sekretaris Jenderal.
d. Bersama Rais/Katib dan Ketua Umum menandatangani surat-surat keputusan biasa Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.
Tugas Bendahara Umum adalah:
a. Mendapatkan sumber-sumber pendanaan organisasi;
b. Merumuskan manajemen dan melakukan pencatatan keuangan dan asset;
c. Membuat Standard Operating Procedure (SOP) keuangan;
d. Menyusun dan merencanakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Rutin, dan anggaran program pengembangan atau rintisan Pengurus Besar;
e. Menyiapkan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk kepentingan auditing keuangan.
Prinsip-prinsip pokok tentang wewenang dan tugas berlaku secara mutatis mutandis (dengan sendirinya) untuk seluruh tingkat kepengurusan. Ketentuan mengenai wewenang dan tugas pengurus yang belum diatur, akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Organisasi.

l. Kewajiban dan Hak Pengurus
Kewajiban Pengurus
Pengurus Nahdlatul Ulama berkewajiban:
a. Menjaga dan menjalankan amanat dan ketentuan-ketentuan organisasi.
b. Menjaga keutuhan organisasi kedalam maupun keluar.
c. Menyampaikan laporan pertanggungjawaban secara tertulis dalam permusyawaratan sesuai dengan tingkat kepengurusannya.

Hak Pengurus
Pengurus Nahdlatul Ulama berhak:
a. Menetapkan kebijakan, keputusan dan peraturan organisasi sepanjang tidak bertentangan dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.
b. Memberikan arahan dan dukungan teknis kepada Lembaga, Badan Khusus dan Badan Otonom untuk meningkatkan kinerjanya.
m. Permusyawaratan Tingkat Nasional
(1) Muktamar adalah forum permusyawaratan tertinggi di dalam organisasi Nahdlatul Ulama.

(2) Muktamar membicarakan dan menetapkan:
a. Laporan Pertanggungjawaban Pengurus Besar Nahdlatul Ulama yang disampaikan secara tertulis;
b. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga;
c. Garis-garis Besar Program Kerja Nahdlatul Ulama 5 (lima) tahun; d. Hukum atas masalah keagamaan dan kemasyarakatan;
e. Rekomendasi Organisasi;
f. Ahlul Halli wal ‘Aqdi;
g. Memilih Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.

(3) Muktamar dipimpin dan diselenggarakan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama sekali dalam 5 (lima) tahun.
(4) Muktamar dihadiri oleh :
a. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.
b. Pengurus Wilayah.
c. Pengurus Cabang/Cabang Istimewa.

(5) Muktamar adalah sah apabila dihadiri oleh dua pertiga jumlah Wilayah dan Cabang/ Cabang Istimewa yang sah.
n. Permusyawaratan Tingkat Daerah

(1) Konferensi Wilayah adalah forum permusyawaratan tertinggi untuk tingkat Wilayah.

(2) Konferensi Wilayah membicarakan dan menetapkan:
a. Laporan Pertanggungjawaban Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama yang disampaikan secara tertulis;
b. Pokok-Pokok Program Kerja Wilayah 5 (lima) tahun merujuk kepada Garis-Garis Besar Program Kerja Nahdlatul Ulama;
c. Hukum atas masalah keagamaan dan kemasyarakatan;
d. Rekomendasi Organisasi;
e. Ahlul Halli wal ‘Aqdi;
f. Memilih Ketua Pengurus Wilayah.

(3) Konferensi Wilayah dipimpin dan diselenggarakan oleh Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama sekali dalam 5 (lima) tahun.
(4) Konferensi Wilayah dihadiri oleh : a. Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama. b. Pengurus Cabang.
(5) Untuk meningkatkan pembinaan dan pe ngem- bangan organisasi Konferensi Wilayah dapat dihadiri oleh Pengurus Majelis Wakil Cabang.
(6) Konferensi Wilayah sah apabila dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah Cabang di daerahnya.

Musyarawah Kerja Wilayah merupakan forum permusyawaratan tertinggi setelah
Konferensi Wilayah yang dipimpin dan diselenggarakan oleh Pengurus Wilayah. Musyarawah Kerja Wilayah membicarakan pelaksanaan keputusan-keputusan Konferensi Wilayah dan mengkaji perkem bangan organisasi serta peranannya di tengah masyarakat. Musyarawah Kerja Wilayah dihadiri oleh anggota Pleno Pengurus Wilayah dan Pengurus Cabang. Musyarawah Kerja Wilayah sah apabila dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 jumlah Cabang. Musyarawah Kerja Wilayah diadakan sekurang-kurangnya 2 (dua) kali dalam masa jabatan Pengurus Wilayah. Musyawarah Kerja Wilayah tidak dapat melakukan pemilihan Pengurus.
Musyarawah Kerja Cabang merupakan forum permusyawaratan tertinggi setelah Konferensi Cabang yang dipimpin dan diselenggarakan oleh Pengurus Cabang. Musyarawah Kerja Cabang membicarakan pelaksanaan keputusan-keputusan Konferensi Cabang dan mengkaji perkembangan organisasi serta peranannya ditengah masyarakat. Musyarawah Kerja Cabang dihadiri oleh anggota Pleno Pengurus Cabang dan Pengurus Majelis Wakil Cabang. Musyarawah Kerja Cabang sah apabila dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah Majelis Wakil Cabang. Musyarawah Kerja Cabang diadakan sekurang-kurangnya 3 (tiga) kali dalam masa jabatan pengurus Cabang. Musyawarah Kerja Cabang tidak dapat melakukan pemilihan Pengurus.
Musyawarah Ranting adalah forum per- musyawaratan tertinggi untuk tingkat Ranting. Musyawarah Ranting membicarakan dan menetapkan:
a. Laporan Pertanggungjawaban Pengurus Ranting Nahdlatul Ulama yang disampaikan secara tertulis.
b. Pokok-Pokok Program Kerja 5 (lima) tahun merujuk kepada Pokok-Pokok Program Kerja Pengurus Cabang dan Majelis Wakil Cabang.
c. Hukum atas masalah keagamaan dan kemasyarakatan.
d. Rekomendasi Organisasi.
e. Ahlul Halli wal ‘Aqdi.
f. Memilih Ketua Pengurus Ranting.

Musyawarah Ranting dipimpin dan diselenggarakan oleh Pengurus Ranting Nahdlatul Ulama sekali dalam 5 (lima) tahun. Musyawarah Ranting dihadiri oleh Pengurus Ranting dan Pengurus Anak Ranting Nahdlatul Ulama. Musyawarah Ranting sah apabila dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah Anak Ranting di daerahnya. Musyarawah Kerja Ranting merupakan forum permusyawaratan tertinggi setelah Musyawarah Ranting yang dipimpin dan diselenggarakan oleh Pengurus Ranting. Musyarawah Kerja Ranting membicarakan pelaksanaan keputusan-keputusan Konferensi Ranting dan mengkaji perkembangan organisasi serta peranannya di tengah masyarakat. Musyarawah Kerja Ranting dihadiri oleh anggota Pengurus Ranting Pleno dan utusan Pengurus Anak Ranting. Musyarawah Kerja Ranting sah apabila dihadiri oleh lebih dari 1/2 (setengah) jumlah peserta sebagaimana dimaksud. Musyarawah Kerja Ranting diadakan sekurang-kurangnya 4 (empat) kali dalam masa jabatan pengurus Ranting. Musyawarah Kerja Ranting tidak dapat melakukan pemilihan Pengurus.

Musyawarah Anggota adalah forum permusyawaratan tertinggi untuk tingkat Anak Ranting. Musyawarah Anggota membicarakan dan menetapkan:
a. Laporan Pertanggungjawaban Pengurus Anak Ranting Nahdlatul Ulama yang disampaikan secara tertulis;
b. Pokok-Pokok Program Kerja 5 (lima) tahun merujuk kepada Pokok-Pokok Program Kerja Pengurus Majelis Wakil Cabang dan Ranting;
c. Hukum atas masalah keagamaan dan kemasyarakatan;
d. Rekomendasi Organisasi;
e. Ahlul Halli Wal Aqdi;
f. Memilih Ketua Pengurus Anak Ranting.
Musyawarah Anggota dipimpin dan diselenggarakan oleh Pengurus Anak Ranting Nahdlatul Ulama sekali dalam 5 (lima) tahun. Musyawarah Anggota dihadiri oleh Pengurus Anak Ranting Anggota Nahdlatul Ulama. Musyawarah Anggota sah apabila dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota di wilayahnya.
Musyawarah Kerja Anggota merupakan forum permusyawaratan tertinggi setelah Musyawarah Anggota yang dipimpin dan diselenggarakan oleh Pengurus Anak Ranting. Musyawarah Kerja Anggota membicarakan pelaksanaan keputusan-keputusan Musyawarah Anggota dan mengkaji perkembangan organisasi serta peranannya di tengah masyarakat. Musyawarah Kerja Anggota dihadiri oleh anggota Pleno Pengurus Anak Ranting. Musyawarah Kerja Anggota sah apabila dih- adiri oleh lebih dari separuh jumlah anggota. Musyawarah Kerja Anggota diadakan sekurang-kurangnya lima kali dalam masa jabatan pengurus Anak Ranting. Musyawarah Kerja Anggota tidak dapat melakukan pemilihan Pengurus. Ketentuan mengenai permusyawaratan tingkat daerah yang belum diatur, akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Organisasi.
o. Permusyawaratan Badan Otonom
Permusyawaratan Badan Otonom diatur tersen- diri dan dimuat dalam Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga Badan Otonom yang bersangkutan.

p. Rapat-Rapat
(1) Rapat Kerja Nasional dihadiri oleh Pengurus Lengkap Syuriyah dan Tanfidziyah, Pengurus harian Lembaga dan Badan Khusus.
(2) Rapat Kerja Nasional membicarakan perencanaan, penjabaran dan pengendalian opera- sional keputusan-keputusan Muktamar.
(3) Rapat Kerja Nasional diadakan satu kali dalam setahun.
(4) Rapat Kerja Nasional yang pertama diadakan selambat-lambatnya tiga bulan setelah Muktamar.

Rapat Pleno adalah rapat yang dihadiri oleh Mustasyar, Pengurus Lengkap Syuriyah, Pengurus Harian Tanfidziyah, Ketua Badan Khusus, Ketua Lembaga dan Ketua Badan Otonom. Rapat Pleno diadakan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sekali. Rapat Pleno membicarakan pelaksanaan program kerja.

Rapat Harian Syuriyah dan Tanfidziyah dihadiri oleh Pengurus Besar Harian Syuriyah dan Pengurus Besar Harian Tanfidziyah. Rapat Harian Syuriyah dan Tanfidziyah diadakan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sekali. Rapat Harian Syuriyah dan Tanfidziyah mem- bahas kelembagaan Organisasi, pelaksanaan dan pengembangan program kerja. Rapat Harian Syuriyah dihadiri oleh Pengurus Harian Syuriyah dan dapat mengikutsertakan Mustasyar. Rapat Harian Syuriyah diadakan sekurang- kurangnya 3 (tiga) bulan sekali. Rapat Harian Syuriyah membahas kelembagaan Organisasi, pelaksanaan dan pengembangan program kerja.

Rapat Harian Tanfidziyah dihadiri oleh Pengurus Harian Tanfidziyah. Rapat Harian Tanfidziyah diadakan sekurang- kurangnya 2 (dua) bulan sekali. Rapat Harian Tanfidziyah membahas kelembagaan Organisasi, pelaksanaan dan pengembangan program kerja.

Rapat-rapat lain yang dianggap perlu adalah rapat-rapat yang diselenggarakan sewaktu-waktu sesuai dengan kebutuhan. Ketentuan mengenai rapat-rapat yang belum diatur, akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Organisasi.

q. Keuangan dan Kekayaan
Keuangan NU
Sumber keuangan Nahdlatul Ulama diperoleh dari:
a. Uang pangkal adalah uang yang dibayar oleh seseorang pada saat mendaftarkan diri menjadi anggota.
b. Uang i’anah syahriyah adalah uang yang dibayar anggota setiap bulan.
c. Sumbangan adalah uang atau barang yang berupa hibah, hadiah dan sedekah yang diperoleh dari anggota Nahdlatul Ulama dan atau simpatisan yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
d. Usaha-usaha lain adalah badan-badan usaha Nahdlatul Ulama dan atau atas kerjasama dengan pihak lain.

Kekayaan NU
(1) Kekayaan Nahdlatul Ulama dan perangkat organisasinya berupa dana, harta benda bergerak dan atau harta benda tidak bergerak harus dicatatkan sebagai kekayaan organisasi Nahdlatul Ulama sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku umum.
(2) Perolehan, pengalihan, dan pengelolaan kekayaan serta penerimaan dan pengeluaran keuangan Nahdlatul Ulama diaudit setiap tahun oleh akuntan publik.
(3) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dapat memberikan kuasa atau kewenangan secara tertulis kepada Pengurus Wilayah, Pengurus Cabang, Pengurus Cabang Istimewa, Pengurus Majelis Wakil Cabang, Lembaga, Badan Khusus, Badan Otonom dan atau Badan Usaha yang dibentuk untuk melakukan penguasaan dan atau pengelolaan kekayaan baik berupa harta benda bergerak dan atau harta benda tidak bergerak.
(4) Segala kekayaan Nahdlatul Ulama baik yang dimiliki atau dikuasakan secara langsung atau tidak langsung kepada lembaga, Badan Khusus, badan otonom, badan usaha atau perorangan yang ditunjuk atau dikuasakan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama hanya dapat dipergunakan untuk kepentingan dan kemanfaatan Nahdlatul Ulama dan atau Perangkat Organisasinya.
(5) Kekayaan Nahdlatul Ulama yang berupa harta benda yang bergerak dan atau harta benda yang tidak bergerak tidak dapat dialihkan hak kepemilikannya dan atau menjaminkan kepada pihak lain kecuali atas persetujuan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.
(6) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama tidak dapat mengalihkan harta benda bergerak dan atau harta benda tidak bergerak yang diperoleh atau yang dibeli oleh perangkat organisasi NU tanpa persetujuan pengurus perangkat organisasi yang bersangkutan.
(7) Apabila karena satu dan lain hal terjadi pembubaran atau penghapusan perangkat organisasi NU maka seluruh harta bendanya menjadi milik Nahdlatul Ulama.

Uang pangkal dan uang i’anah syahriyah yang diterima dari anggota Nahdlatul Ulama digunakan untuk membiayai kegiatan organisasi/perkumpulan dan dimanfaatkan dengan perimbangan sebagai berikut:
a. 40% untuk membiayai kegiatan Anak Ranting.
b. 20% untuk membiayai kegiatan Ranting.
c. 15% untuk membiayai kegiatan Majelis Wakil Cabang.
d. 10% untuk membiayai kegiatan Cabang/ Cabang Istimewa.
e. 10% untuk membiayai kegiatan Wilayah.
f. 5% untuk membiayai kegiatan Pusat.

Uang dan barang yang berasal dari sumbangan dan usaha-usaha lain dipergunakan untuk kepentingan organisasi/perkumpulan. Kekayaan organisasi/perkumpulan yang berupa inventaris dan asset dipergunakan untuk kepentingan organisasi/perkumpulan. Ketentuan mengenai keuangan dan kekayaan yang belum diatur, akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Organisasi.

r. Laporan pertanggungjawaban
(1) Pengurus Nahdlatul Ulama di setiap tingkatan membuat laporan pertanggungjawaban secara tertulis di akhir masa khidmatnya yang disampaikan dalam permusyawaratan tertinggi pada tingkatannya.
(2) Laporan pertanggungjawaban Pengurus Nahdlatul Ulama memuat:
a. Capaian pelaksanaan program yang telah diamanatkan oleh per musyawaratan ter- tinggi pada tingkatannya.
b. Pengembangan kelembagaan Organisasi.
c. Keuangan organisasi
d. Inventaris dan aset organisasi.

Pengurus Besar menyampaikan laporan perkembangan organisasi secara berkala dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama, Konferensi Besar, Rapat Kerja dan Rapat Pleno. Pengurus Wilayah menyampaikan laporan perkembangan organisasi secara berkala kepada Pengurus Besar dan Musyawarah Kerja Wilayah dan Rapat Pleno. Pengurus Cabang menyampaikan laporan perkembangan organisasi secara berkala kepada Pengurus Besar dan Pengurus Wilayah dan Musyawarah Kerja Cabang dan Rapat Pleno. Pengurus Majelis Wakil Cabang menyampaikan laporan perkembangan organisasi secara berkala kepada Pengurus Wilayah dan Pengurus Cabang dan Musyawarah Kerja Majelis Wakil Cabang dan Rapat Pleno. Pengurus Ranting menyampaikan laporan perkembangan organisasi secara berkala kepada Pengurus Cabang dan Pengurus Majelis Wakil Cabang dan Musyawarah Kerja Ranting dan Rapat Pleno. Pengurus Anak Ranting menyampaikan laporan perkembangan organisasi secara berkala kepada Rapat Anggota, Pengurus Ranting dan Majelis Wakil Cabang.
Pengurus Lembaga, Badan Khusus dan Badan Otonom menyampaikan laporan pelaksanaan program setiap akhir tahun kepada Pengurus Nahdlatul Ulama pada tingkatan masing-masing. Ketentuan mengenai laporan pertanggung- jawaban yang belum diatur, akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Organisasi.

s. Ketentuan Penutup
(1) Segala sesuatu yang belum cukup diatur dalam Anggaran Rumah Tangga ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Organisasi, Peraturan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dan atau Surat Keputusan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.
(2) Anggaran Rumah Tangga ini hanya dapat diubah dalam Muktamar.
(3) Anggaran Rumah Tangga ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
SIDANG KOMISI ORGANISASI
Ketua : Dr. H. Aji Hermawan Sekretaris : Dra. Hj. Lilis Nurul Husna
Tim Perumus : Dr. H. Aji Hermawan (PBNU) Dra. Hj. Lilis Nurul Husna (PBNU) KH. Sholeh Hayat (PWNU Jawa Timur) H. Mujib Imron (PCNU Pasuruan) KH. Abdullah Syamsul Arifin (PCNU Jember) Drs. Ulyas Taha, MPd (PWNU Sulawesi Utara) H. Yulius Kahar (PCNU Kota Pekan Baru) Dr. Mahsun (PWNU Jawa Tengah) KH. Miftah Faqih (PBNU) H. Hisyam Said Budairi (PBNU) Alfina Rahil Ashidiqi (PBNU)
Disahkan Pada Sidang Pleno ke-3 Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama
Ketua : KH. Ahmad Ishomuddin, M.Ag Sekretaris : KH. Yahya Cholil Staquf

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Nahdlatul ‘Ulama sebagai jam’iyah diniyah adalah wadah para Ulama’ dan pengikut-pengikutnya, dengan tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam yang berhaluan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Nahdlatul ‘Ulama (NU) adalah merupakan gerakan keagamaan yang bertujuan untuk ikut membangun dan mengembangkan insan dan masyarakat yang bertaqwa kepada Allah SWT, cerdas, terampil, berakhlaq mulia, tenteram, adil dan sejahtera. NU mewujudkan cita-cita dan tujuannya melalui serangkaian ikhtiar yang didasari oleh dasar-dasar faham keagamaan, yang membentuk kepribadian khas Nahdlatul Ulama’.

Saran
Dengan membaca makalah ini, pembaca disarankan agar bisa mengambil manfaat tentang pentingnya mengetahui sejarah berdirinya Nahdlatul ‘Ulama dengan meneladani para tokoh nasional yang merupakan para pendiri Nahdlatul ‘Ulama ini yang dengan pemikiran dan perjuangannya beliau dapat membuat koridor hubungan keagamaan secara horizontal yang bersifat baik. Selain itu juga kita hendaknya mengetahui Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) Nahdlatul ‘Ulama yang menjadi ajaran/pokok pikiran dari Nahdlatul untuk menjadi tujuan Nahdlatul ‘Ulama.

PERJALANAN ASWAJA KE NUSANTARA (PERIODE PASKA WALISONGO)

PERJALANAN ASWAJA KE NUSANTARA
(PERIODE PASKA WALISONGO)

index

Makalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Agama 2 (Aswaja)

Disusun Oleh:
1. Maulfi Ahmad Noor Wafiri (151120001570)
2. Oktaviana Muvidah (151120001720)
3. Naili Maghfiroh (151120001736)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA JEPARA
TAHUN 2016

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang karena anugerah dari-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang ” Perjalanan Aswaja ke Nusantara ” ini. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan besar kita, yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukkan kepada kita jalan yang lurus berupa ajaran agama Islam yang sempurna dan menjadi anugerah serta rahmat bagi seluruh alam semesta.
Penulis sangat bersyukur karena telah menyelesaikan makalah yang menjadi tugas agama dua dengan judul “Perjalanan Aswaja ke Nusantara”. Disamping itu, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami selama pembuatan makalah ini berlangsung sehingga terealisasikanlah makalah ini.
Demikian yang dapat kami sampaikan, kami menyadari dalam penulisan makalah ini jauh dari kesempurnaan.Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati kami menerima kritik dan saran agar penyusunan makalah selanjutnya menjadi lebih baik lagi. Semoga makalah ini memberi manfaat bagi banyak pihak.Amiin.

Jepara, 7 April 2016

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perjalanan Aswaja ke Nusantara pada periode paska Walisongo banyak diperankan oleh para kiai yang ada di pondok pesantren. Pembahasan tema ini menjadi menarik karena dokumen-dokumen terkait Aswaja pada masa penjajahan tidak banyak ditemukan.
B. Sistematika Pembahasan
Pada makalah ini akan dibahas mengenai :
1. Kerajaan Islam sebagai Penyebar Aswaja di Nusantara
2. Sejarah Berkembangnya Pondok Pesantren
3. Pondok Pesantren sebagai benteng Aswaja

C. Tujuan
Adapun tujuan pembahasan makalah ini adalah :
1) Memahami perjalanan Aswaja ke Nusantara pada periode paska Walisongo
2) Mengenang kembali jasa-jasa para ulama’ terdahulu
3) Memahami dan mencontoh cara berdakwah yang baik dan mengamalkan semua ajaran yang diajarkan oleh para ulama’

BAB II
PEMBAHASAN

A. Perjalanan Aswaja dipelopori Kerajaan Islam di Nusantara
1. Kerajaan Aceh
a. Awal Perkembangan Kerajaan Aceh
Aceh semula menjadi daerah taklukkan Kerajaan Pedir. Akibat Malaka jatuh ke tangan Portugis, pedagang yang semula berlabuh di pelabuhan Malaka beralih ke pelabuhan milik Aceh. Dengan demikian, Aceh segera berkembang dengan cepat dan akhirnya lepas dari kekuasaan Pedir. Aceh berdiri sebagai kerajaan merdeka. Sultan pertama yang memerintah dan sekaligus pendiri Kerajaan Aceh adalah Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1528 M).
b. Aspek Kehidupan Politik dan Pemerintahan
Aceh cepat tumbuh menjadi kerajaan besar karena didukung oleh faktor sebagai berikut:
1) Letak Ibu kota Aceh yang sangat strategis.
2) Pelabuhan Aceh (Olele) memiliki persyaratan yang baik sebagai pelabuhan dagang.
3) Daerah Aceh kaya dengan tanaman lada sebagai mata dagangan ekspor yang penting.
4) Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis menyebabkan pedagang Islam banyak yang singgah ke Aceh.
Sultan Ali Mughayat Syah merupakan Raja pertama di Aceh sekaligus beliau merupakan pendiri Kerajaan Aceh. Setelah beliau mangkat, raja selanjutnya adalah Sultan Ibrahim. Dalam pemerintahannya beliau berhasil menaklukkan Pedir. Raja berikutnya adalah Iskandar Muda. Pada masa pemerintahan beliau, Aceh mencapai puncak kejayaan dan menjadi sumber komoditas lada dan emas. Beliau mangkat pada tahun 1636 M dan digantikan oleh menantunya Iskandar Thani yang tidak memiliki kecakapan. Dalam pemerintahannya, Kerajaan Aceh terus-menerus mengalami kemunduran.
c. Aspek Kehidupan Kebudayaan
Letak Aceh yang strategis menyebabkan perdagangannya maju pesat. Dengan demikian, kebudayaan masyarakatnya juga makin bertambah maju karena sering berhubungan dengan bangsa lain. Contohnya, yaitu tersusunnya hukum adat yang dilandasi ajaran Islam yang disebut Hukum Adat Makuta Alam. Dengan hukum adat Makuta Alam itulah, sehingga tata kehidupan dan segala aktivitas masyarakat Aceh didasarkan pada aturan Islam. Dengan demikian, keadaan Aceh seolah-olah identik dengan Mekah, Arab Saudi. Atas dasar itulah, Aceh mendapat julukan Serambi Mekah.
d. Aspek Kehidupan Ekonomi dan Sosial
Bidang perdagangan yang maju menjadikan Aceh makin makmur. Setelah Sultan Ibrahim dapat menaklukkan Pedir yang kaya akan lada putih, Aceh makin bertambah makmur dan menjadi sumber komoditas lada dan emas. Dengan kekayaan melimpah, Aceh mampu membangun angkatan bersenjata yang kuat.
e. Kemunduran Kerajaan Aceh
Kemunduran Kerajaan Aceh ketika itu disebabkan oleh hal-hal sebagai-berikut:
Kekalahan perang antara Aceh melawan Portugis di Malaka pada tahun 1629 M. Tokoh pengganti Iskandar Muda tidak secakap pendahulunya. Permusuhan yang hebat di antara kaum ulama yang menganut ajaran berbeda. Daerah-daerah yang jauh dari pemerintahan pusat melepaskan diri dengan Aceh. Pertahanan Aceh lemah sehingga bangsa-bangsa Eropa lainnya berhasil mendesak dan menggeser daerah-daerah perdagangan Aceh. Akibatnya perekonomian semakin melemah.
2. Kerajaan Demak
a. Awal Perkembangan Kerajaan Demak
Kerajaan Demak merupakan kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. Demak sebelumnya merupakan daerah vasal atau bawahan dari Majapahit. Daerah ini diberikan kepada Raden Patah, keturunan Raja Majapahit yang terakhir. Ketika kekuasaan kerajaan Majapahit melemah, Raden Patah memisahkan diri sebagai bawahan Majapahit pada tahun 1478 M. Dengan dukungan dari para bupati, Raden Patah mendirikan kerajaan Islam Demak dengan gelar Senopati Jimbung Ngabdurrahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama. Sejak saat itu, kerajaan Demak berkembang menjadi kerajaan maritim yang kuat. Wilayahnya cukup luas, hampir meliputi sepanjang pantai utara Pulau Jawa. Sementara itu, daerah pengaruhnya sampai ke luar Jawa, seperti ke Palembang, Jambi, Banjar, dan Maluku.
b. Aspek Kehidupan Politik dan Pemerintahan
Pada tahun 1507 M, Raja Demak pertama, Raden Patah mangkat dan digantikan oleh putranya Pati Unus. Pada masa pemerintahan Pati Unus, Demak dan Portugis bermusuhan, sehingga sepanjang pemerintahannya, Pati Unus hanya memperkuat pertahanan lautnya, dengan maksud agar Portugis tidak masuk ke Jawa. Setelah mangkat pada tahun 1521, Pati unus digantikan oleh adiknya Trenggana. Setelah naik takhta, Sultan Trenggana melakukan usaha besar membendung masuknya portugis ke Jawa Barat dan memperluas kekuasaan Kerajaan Demak.
Beliau mengutus Faletehan beserta pasukannya untuk menduduki Jawa Barat. Dengan semangat juang yang tinggi, Faletehan berhasil menguasai Banten dan Sunda Kelapa lalu menyusul Cirebon. Dengan demikian, seluruh pantai utara Jawa akhirnya tunduk kepada pemerintahan Demak. Faletehan kemudian diangkat menjadi raja di Cirebon. Pasukan demak terus bergerak ke daerah pedalaman dan berhasil menundukkan Pajang dan Mataram, serta Madura. Untuk memperkuat kedudukannya, Sultan Trenggana melakukan perkawinan politik dengan Bupati Madura, yakni mengawinkan Putri Sultan Trenggana dengan Putra Bupati Madura, Jaka Tingkir. Sultan Trenggana mangkat pada tahun 1546 M.
Mangkatnya Beliau menimbulkan kekacauan politik yang hebat di Demak. Negara bagian banyak yang melepaskan diri, dan para ahli waris Demak juga saling berebut tahta sehingga timbul perang saudara dan muncullah kekuasaan baru, yakni Kerajaan Pajang.

c. Aspek Kehidupan Sosial dan Budaya
Kehidupan sosial masyarakat Kerajaan Demak telah berjalan teratur. Pemerintahan diatur dengan hukum Islam tanpa meninggalkan norma-norma lama begitu saja. Hasil kebudayaan Demak merupakan kebudayaan yang berkaitan dengan Islam. Seperti ukir-ukiran Islam dan berdirinya Masjid Agung Demak yang masih berdiri sampai sekarang. Masjid Agung tersebut merupakan lambang kebesaran Demak sebagai kerajaan Islam.
d. Aspek Kehidupan Ekonomi
Dalam bidang ekonomi, Demak berperan penting karena mempunyai daerah pertanian yang cukup luas dan sebagai penghasil bahan makanan, terutama beras. Selain itu, perdagangannya juga maju. Komoditas yang diekspor, antara lain beras, madu, dan lilin.
e. Keruntuhan Kerajaan Demak
Keruntuhan Kerajaan Demak disebabkan karena pembalasan dendam yang dilakukan oleh Ratu Kalinyamat yang bekerja sama dengan Bupati Pajang Hadiwijaya (Jaka Tingkir). Mereka berdua ingin menyingkirkan Aria Penansang sebagai pemimpin Kerajaan Demak karena Aria Penansang telah membunuh suami dan adik suami dari Ratu Kalinyamat. Dengan tipu daya yang tepat mereka berhasil meruntuhkan pemerintahan dari Bupati Jipang yang tidak lain adalah Aria Penansang. Aria Penansang sendiri berhasil dibunuh Sutawijaya. Sejak saat itu pemerintahan Demak pindah ke Pajang dan tamatlah riwayat Kerajaan Demak.

3. Kerajaan Banten
Awal Perkembangan Kerajaan Banten
Semula Banten menjadi daerah kekuasaan Kerajaan Pajajaran. Rajanya (Samiam) mengadakan hubungan dengan Portugis di Malaka untuk membendung meluasnya kekuasaan Demak. Namun melalui, Faletehan, Demak berhasil menduduki Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon. Sejak saat itu, Banten segera tumbuh menjadi pelabuhan penting menyusul kurangnya pedagang yang berlabuh di Pelabuhan Malaka yang saat itu dikuasai oleh Portugis. Pada tahun 1552 M, Faletehan menyerahkan pemerintahan Banten kepada putranya, Hasanuddin. Di bawah pemerintahan Sultan Hasanuddin (1552-1570 M), Banten cepat berkembang menjadi besar. Wilayahnya meluas sampai ke Lampung, Bengkulu, dan Palembang.
b. Aspek Kehidupan Politik dan Pemerintahan
Raja Banten pertama, Sultan Hasanuddin mangkat pada tahun 1570 M dan digantikan oleh putranya, Maulana Yusuf. Sultan Maulana Yusuf memperluas daerah kekuasaannya ke pedalaman. Pada tahun 1579 M kekuasaan Kerajaan Pajajaran dapat ditaklukkan, ibu kotanya direbut, dan rajanya tewas dalam pertempuran. Sejak saat itu, tamatlah kerajaan Hindu di Jawa Barat.
Pada masa pemerintahan Maulana Yusuf, Banten mengalami puncak kejayaan. Keadaan Banten aman dan tenteram karena kehidupan masyarakatnya diperhatikan, seperti dengan dilaksanakannya pembangunan kota. Bidang pertanian juga diperhatikan dengan membuat saluran irigasi.
Sultan Maulana Yusuf mangkat pada tahun 1580 M. Setelah mangkat, terjadilah perang saudara untuk memperebutkan tahta di Banten. Setelah peristiwa itu, putra Sultan Maulana Yusuf, Maulana Muhammad yang baru berusia sembilan tahun diangkat menjadi Raja dengan perwalian Mangkubumi.
Masa pemerintahan Maulana Muhammad berlangsung tahun 1508-1605 M. Kemudian digantikan oleh Abdulmufakir yang masih kanak-kanak didampingi oleh Pangeran Ranamenggala. Setelah pangeran Rana Menggala wafat, Banten mengalami kemunduran.
c. Aspek Kehidupan Ekonomi dan Sosial
Banten tumbuh menjadi pusat perdagangan dan pelayaran yang ramai karena menghasilkan lada dan pala yang banyak. Pedangang Cina, India, gujarat, Persia, dan Arab banyak yang datang berlabuh di Banten. Kehidupan sosial masyarakat Banten dipengaruhi oleh sistem kemasyarakatan Islam. Pengaruh tersebut tidak terbatas di lingkungan daerah perdagangan, tetapi meluas hingga ke pedalaman.
d. Kemunduran Kerajaan Banten
Penyebab kemunduran Kerajaan Banten berawal saat mangkatnya Raja Besar Banten Maulana Yusuf. Setelah mangkatnya Raja Besar terjadilah perang saudara di Banten antara saudara Maulana Yusuf dengan pembesar Kerajaan Banten. Sejak saat itu Banten mulai hancur karena terjadi peang saudara, apalagi sudah tidak ada lagi raja yang cakap seperti Maulana Yusuf.

4. Kerajaan Mataram Islam
a. Awal Perkembangan Kerajaan Mataram Islam
Pada waktu Sultan Hadiwijaya berkuasa di Pajang, Ki Ageng Pemanahan dilantik menjadi Bupati di Mataram sebagai imbalan atas keberhasilannya membantu menumpas Aria Penangsang. Sutawijaya, putra Ki Ageng Pemanahan diambil anak angkat oleh Sultan Hadiwijaya. Setelah Ki Ageng Pemanahan wafat pada tahun 1575 M, Sutawijaya diangkat menjadi bupati di Mataram. Setelah menjadi bupati, Sutawijaya ternyata tidak puas dan ingin menjadi raja yang menguasai seluruh Jawa, sehingga terjadilah peperangan sengit pada tahun 1528 M yang menyebabkan Sultan Hadiwijaya mangkat. Setelah itu terjadi perebutan kekuasaan di antara para Bangsawan Pajang dengan pasukan Pangeran Pangiri yang membuat Pangeran Pangiri beserta pengikutnya diusir dari Pajang, Mataram. Setelah suasana aman, Pangeran Benawa (putra Hadiwijaya) menyerahkan takhtanya kepada Sutawijaya yang kemudian memindahkan pusat pemerintahannya ke kotagede pada tahun 1568 M. Sejak saat itu berdirilah Kerajaan Mataram.
b. Aspek Kehidupan Politik dan Pemerintahan
Dalam menjalankan pemerintahannya, Sutawijaya, Raja Mataram banyak menghadapi rintangan. Para bupati di pantai utara Jawa seperti Demak, Jepara, dan Kudus yang dulunya tunduk pada Pajang memberontak ingin lepas dan menjadi kerajaan merdeka. Akan tetapi, Sutawijaya berusaha menundukkan bupati-bupati yang menentangnya dan Kerajaan Mataram berhasil meletakkan landasan kekuasaannya mulai dari Galuh (Jabar) sampai pasuruan (Jatim).
Setelah Sutawijaya mangkat, tahta kerajaan diserahkan oleh putranya, Mas Jolang, lalu cucunya Mas Rangsang atau Sultan Agung. Pada masa pemerintahan Sultan Agung, muncul kembali para bupati yang memberontak, seperti Bupati Pati, Lasem, Tuban, Surabaya, Madura, Blora, Madiun, dan Bojonegoro. Untuk menundukkan pemberontak itu, Sultan Agung mempersiapkan sejumlah besar pasukan, persenjataan, dan armada laut serta penggemblengan fisik dan mental. Usaha Sultan Agung akhirnya berhasil pada tahun 1625 M. Kerajaan Mataram berhasil menguasai seluruh Jawa, kecuali Banten, Batavia, Cirebon, dan Blambangan. Untuk menguasai seluruh Jawa, Sultan Agung mencoba merebut Batavia dari tangan Belanda. Namun usaha Sultan mengalami kegagalan.
c. Aspek Kehidupan Sosial
Kehidupan masyarakat di kerajaan Mataram, tertata dengan baik berdasarkan hukum Islam tanpa meninggalkan norma-norma lama begitu saja. Dalam pemerintahan Kerajaan Mataram Islam, Raja merupakan pemegang kekuasaan tertinggi, kemudian diikuti oleh sejumlah pejabat kerajaan. Di bidang keagamaan terdapat penghulu, khotib, naid, dan surantana yang bertugas memimpin upacara-upacara keagamaan. Di bidang pengadilan, dalam istana terdapat jabatan jaksa yang bertugas menjalankan pengadilan istana. Untuk menciptakan ketertiban di seluruh kerajaan, diciptakan peraturan yang dinamakan anger-anger yang harus dipatuhi oleh seluruh penduduk.

d. Aspek Kehidupan Ekonomi dan Kebudayaan
Kerajaan Mataram adalah kelanjutan dari Kerajaan Demak dan Pajang. Kerajaan ini menggantungkan kehidupan ekonominya dari sektor agraris. Hal ini karena letaknya yang berada di pedalaman. Akan tetapi, Mataram juga memiliki daerah kekuasan di daerah pesisir utara Jawa yang mayoritas sebagai pelaut. Daerah pesisir inilah yang berperan penting bagi arus perdagangan Kerajaan Mataram.
Kebudayaan yang berkembang pesat pada masa Kerajaan Mataram berupa seni tari, pahat, suara, dan sastra. Bentuk kebudayaan yang berkembang adalah Upacara Kejawen yang merupakan akulturasi antara kebudayaan Hindu-Budha dengan Islam.
Di samping itu, perkembangan di bidang kesusastraan memunculkan karya sastra yang cukup terkenal, yaitu Kitab Sastra Gending yang merupakan perpaduan dari hukum Islam dengan adat istiadat Jawa yang disebut Hukum Surya Alam.
e. Kemunduran Mataram Islam
Kemunduran Mataram Islam berawal saat kekalahan Sultan Agung merebut Batavia dan menguasai seluruh Jawa dari Belanda. Setelah kekalahan itu, kehidupan ekonomi rakyat tidak terurus karena sebagian rakyat dikerahkan untuk berperang.

5. Kerajaan Makassar
a. Awal Perkembangan Kerajaan Makassar
Di Sulawesi Selatan pada awal abad ke-16 terdapat banyak kerajaan, tetapi yang terkenal adalah Gowa, Tallo, bone, Wajo, Soppeng, dan Luwu. Berkat dakwah dari Datuk ri Bandang dan Sulaeman dari Minangkabau, akhirnya Raja Gowa dan Tallo masuk Islam (1605) dan rakyat pun segera mengikutinya.
Kerajaan Gowa dan Tallo akhirnya dapat menguasai kerajaan lainnya. Dua kerajaan itu lazim disebut Kerajaan Makassar. Dari Makasar, agama Islam menyebar ke berbagai daerah sampai ke Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Makassar merupakan salah satu kerajaan Islam yang ramai akan pelabuhannya. Hal ini, karena letaknya di tengah-tengah antara Maluku, Jawa, Kalimantan, Sumatera, dan Malaka.
b. Aspek Kehidupan Politik dan Pemerintahan
Kerajaan Makassar mula-mula diperintah oleh Sultan Alauddin (1591-1639 M). Raja berikutnya adalah Muhammad Said (1639-1653 M) dan dilanjutan oleh putranya, Hasanuddin (1654-1660 M). Sultan Hasanuddin berhasil memperluas daerah kekuasaannya dengan menundukkan kerajaan-kerajaan kecil di Sulawesi Selatan, termasuk Kerajaan Bone. VOC setelah mengetahui Pelabuhan Makassar, yaitu Sombaopu cukup ramai dan banyak menghasilkan beras, mulai mengirimkan utusan untuk membuka hubungan dagang. Setelah sering datang ke Makassar, VOC mulai membujuk Sultan Hasanuddin untuk bersama-sama menyerbu Banda (pusat rempah-rempah). Namun, bujukan VOC itu ditolak.

Setelah peristiwa itu, antara Makassar dan VOC mulai terjadi konflik. Terlebih lagi setelah insiden penipuan tahun 1616. Pada saat itu para pembesar Makassar diundang untuk suatu perjamuan di atas kapal VOC, tetapi nyatanya malahan dilucuti dan terjadilah perkelahian yang menimbulkan banyak korban di pihak Makassar. Keadaan meruncing sehingga pecah perang terbuka. Dalam peperangan tersebut, VOC sering mengalami kesulitan dalam menundukkan Makassar. Oleh karena itu, VOC memperalat Aru Palakka (Raja Bone) yang ingin lepas dari kerajaan Makassar dan menjadi kerajaan merdeka.
c. Aspek Kehidupan Ekonomi, Sosial, dan Kebudayaan
Kerajaan Makassar berkembang menjadi kerajaan maritim. Hasil perekonomian terutama diperoleh dari hasil pelayaran dan perdagangan. Pelabuhan Sombaupu ( Makassar ) banyak didatangi kapal-kapal dagang sehingga menjadi pelabuhan transit yang sangat ramai. Dengan demikian, masyarakatnya hidup aman dan makmur.
Dalam menjalankan pemerintahannya, Raja dibantu oleh Bate Salapanga (Majelis Sembilan) yang diawasi oleh seorang paccalaya (hakim). Sesudah sultan, jabatan tertinggi dibawahnya adalah pabbicarabutta (mangkubumi) yang dibantu oleh tumailang matoa dan malolo. Panglima tertinggi disebut anrong guru lompona tumakjannangan. Bendahara kerajaan disebut opu bali raten yang juga bertugas mengurus perdagangan dan hubungan luar negeri. Pejabat bidang keagamaan dijabat oleh kadhi yang dibantu imam, khatib, dan bilal. Hasil kebudayaan yang cukup menonjol dari Kerajaan Makassar adalah keahlian masyarakatnya membuat perahu layar yang disebut pinisi dan lambo.
d. Kemunduran Kerajaan Makassar
Kemunduran Kerajaan Makassar disebabkan karena permusuhannya dengan VOC yang berlangsung sangat lama. Ditambah dengan taktik VOC yang memperalat Aru Palakka ( Raja Bone) untuk mengalahkan Makassar. Kebetulan saat itu Kerajaan Makassar sedang bermusuhan dengan Kerajaan Bone sehingga Raja Bone setuju bekerja sama dengan VOC.

6. Kerajaan Ternate
a. Awal Perkembangan Kerajaan Ternate
Pada abad ke-13 di Maluku sudah berdiri Kerajaan Ternate. Ibu kota Kerajaan Ternate terletak di Sampalu (Pulau Ternate). Selain Kerajaan Ternate, di Maluku juga telah berdiri kerajaan lain, seperti Jaelolo, Tidore, Bacan, dan Obi. Di antara kerajaan di Maluku, Kerajaan Ternate yang paling maju. Kerajaan Ternate banyak dikunjungi oleh pedagang, baik dari Nusantara maupun pedagang asing.
b. Aspek Kehidupan Politik dan Pemerintahan
Raja Ternate yang pertama adalah Sultan Marhum (1465-1495 M). Raja berikutnya adalah putranya, Zainal Abidin. Pada masa pemerintahannya, Zainal Abidin giat menyebarkan agama Islam ke pulau-pulau di sekitarnya, bahkan sampai ke Filiphina Selatan. Zainal Abidin memerintah hingga tahun 1500 M. Setelah mangkat, pemerintahan di Ternate berturut-turut dipegang oleh Sultan Sirullah, Sultan Hairun, dan Sultan Baabullah. Pada masa pemerintahan Sultan Baabullah, Kerajaan Ternate mengalami puncak kejayaannya. Wilayah kerajaan Ternate meliputi Mindanao, seluruh kepulauan di Maluku, Papua, dan Timor. Bersamaan dengan itu, agama Islam juga tersebar sangat luas.
c. Aspek Kehidupan Ekonomi, Sosial, dan Kebudayaan
Perdagangan dan pelayaran mengalami perkembangan yang pesat sehingga pada abad ke-15 telah menjadi kerajaan penting di Maluku. Para pedagang asing datang ke Ternate menjual barang perhiasan, pakaian, dan beras untuk ditukarkan dengan rempah-rempah. Ramainya perdagangan memberikan keuntungan besar bagi perkembangan Kerajaan Ternate sehingga dapat membangun laut yang cukup kuat.
Sebagai kerajaan yang bercorak Islam, masyarakat Ternate dalam kehidupan sehari-harinya banyak menggunakan hukum Islam . Hal itu dapat dilihat pada saat Sultan Hairun dari Ternate dengan De Mesquita dari Portugis melakukan perdamaian dengan mengangkat sumpah dibawah kitab suci Al-Qur’an. Hasil kebudayaan yang cukup menonjol dari kerajaan Ternate adalah keahlian masyarakatnya membuat kapal, seperti kapal kora-kora.
d. Kemunduran Kerajaan Ternate
Kemunduran Kerajaan Ternate disebabkan karena diadu domba dengan Kerajaan Tidore yang dilakukan oleh bangsa asing ( Portugis dan Spanyol ) yang bertujuan untuk memonopoli daerah penghasil rempah-rempah tersebut. Setelah Sultan Ternate dan Sultan Tidore sadar bahwa mereka telah diadu domba oleh Portugis dan Spanyol, mereka kemudian bersatu dan berhasil mengusir Portugis dan Spanyol ke luar Kepulauan Maluku. Namun kemenangan tersebut tidak bertahan lama sebab VOC yang dibentuk Belanda untuk menguasai perdagangan rempah-rempah di Maluku berhasil menaklukkan Ternate dengan strategi dan tata kerja yang teratur, rapi dan terkontrol dalam bentuk organisasi yang kuat.

7. Kerajaan Tidore
a. Awal Perkembangan Kerajaan Tidore
Kerajaan tidore terletak di sebelah selatan Ternate. Menurut silsilah raja-raja Ternate dan Tidore, Raja Ternate pertama adalah Muhammad Naqal yang naik tahta pada tahun 1081 M. Baru pada tahun 1471 M, agama Islam masuk di kerajaan Tidore yang dibawa oleh Ciriliyah, Raja Tidore yang kesembilan. Ciriliyah atau Sultan Jamaluddin bersedia masuk Islam berkat dakwah Syekh Mansur dari Arab.
b. Aspek Kehidupan Politik dan Kebudayaan
Raja Tidore mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Nuku (1780-1805 M). Sultan Nuku dapat menyatukan Ternate dan Tidore untuk bersama-sama melawan Belanda yang dibantu Inggris. Belanda kalah serta terusir dari Tidore dan Ternate. Sementara itu, Inggris tidak mendapat apa-apa kecuali hubungan dagang biasa. Sultan Nuku memang cerdik, berani, ulet, dan waspada. Sejak saat itu, Tidore dan Ternate tidak diganggu, baik oleh Portugis, Spanyol, Belanda maupun Inggris sehingga kemakmuran rakyatnya terus meningkat. Wilayah kekuasaan Tidore cukup luas, meliputi Pulau Seram, Makean Halmahera, Pulau Raja Ampat, Kai, dan Papua. Pengganti Sultan Nuku adalah adiknya, Zainal Abidin. Ia juga giat menentang Belanda yang berniat menjajah kembali.
c. Aspek Kehidupan Ekonomi dan Sosial
Sebagai kerajaan yang bercorak Islam, masyarakat Tidore dalam kehidupan sehari-harinya banyak menggunakan hukum Islam . Hal itu dapat dilihat pada saat Sultan Nuku dari Tidore dengan De Mesquita dari Portugis melakukan perdamaian dengan mengangkat sumpah dibawah kitab suci Al-Qur’an. Kerajaan Tidore terkenal dengan rempah-rempahnya, seperti di daerah Maluku. Sebagai penghasil rempah-rempah, kerajaan Tidore banyak didatangi oleh Bangsa-bangsa Eropa. Bangsa Eropa yang datang ke Maluku, antara lain Portugis, Spanyol, dan Belanda.
d. Kemunduran Kerajaan Tidore
Kemunduran Kerajaan Tidore disebabkan karena diadu domba dengan Kerajaan Ternate yang dilakukan oleh bangsa asing ( Spanyol dan Portugis ) yang bertujuan untuk memonopoli daerah penghasil rempah-rempah tersebut. Setelah Sultan Tidore dan Sultan Ternate sadar bahwa mereka telah diadu domba oleh Portugis dan Spanyol, mereka kemudian bersatu dan berhasil mengusir Portugis dan Spanyol ke luar Kepulauan Maluku. Namun kemenangan tersebut tidak bertahan lama sebab VOC yang dibentuk Belanda untuk menguasai perdagangan rempah-rempah di Maluku berhasil menaklukkan Ternate dengan strategi dan tata kerja yang teratur, rapi dan terkontrol dalam bentuk organisasi yang kuat.
B. Sejarah dan Peran Pondok Pesantren
Sejarah pendidikan agama Islam yang independent, kemudian populer dengan jargon “Pesantren” sebenarnya merupakan sejarah tipologi Institusi Pendidikan Islam yang usianya sudah mencapai ratusan tahun, para ahli sejarah mencatat bahwa eksistensi pondok pesantren telah lahir jauh sebelum Republik Indonesia dibentuk. Hampir di seluruh penjuru Nusantara, terutama di pusat-pusat Kerajaan Islam telah banyak para ulama yang mendirikan pondok pesantren dan menelorkan ratusan bahkan ribuan alumni yang mumpuni di medan perjuangan masyarakat beragama.
Sebagai Lembaga Pendidikan Islam pertama yang mendukung keberlangsungan pendidikan Nasional, Pesantren tidak hanya berkembang sebagai Lembaga yang isinya cuma ngaji dan menelaah kitab salaf melulu, sekaligus juga berperan penting bagi keberlangsungan komunitas yang mempertahankan tradisional sebagai wajah bagi keaslian budaya Indonesia, disamping Lembaganya yang bercorak pribumi (indegenous), pesantren juga mampu merekonstruksi budaya kemarut yang kian menghantam jantung ideology masyarakat Indonesia. Maka dalam Sejarahnya, perkembangan pesantren telah memainkan peran sekaligus kontribusi penting dalam pembangunan Indonesia. Sebelum Kolonial Belanda masuk ke Nusantara, pesantren tidak hanya berperan sebagai Lembaga Pendidikan yang berfungsi menyebarkan ajaran Islam sekaligus juga mengadakan perubahan-perubahan tertentu menuju keadaan masyarakat yang lebih baik (progresif). Sebagaimana tercermin dalam berbagai pengaruh pesantren bagi kelancaran kegiatan politik para raja dan pangeran di-Jawa, kegiatan perdagangan dan pembukaan pemukiman daerah baru. Di saat Penjajah Belanda menduduki Kerajaan-Kerajaan di Nusantara, pesantren malah menjelma sebagai pusat perlawanan dan pertahanan terhadap Kolonial Belanda, Inggris, dan Jepang. Bahkan, pasca kemerdekaan tahun 1959-1965, pesantren masih dikategorikan sebagai ‘Alat Revolusi’ dan ‘Bahan Peledak’ yang mampu menghancurkan kelancaran politik yang stagnan. Dan saat memasuki orde baru, pesantren dipandang sebagai ‘potensi pembangunan’ negara bagi masyarakat Indonesia.
Geneologi ideology pesantren dapat dirujuk kepada tumbuh kembangnya pesantren yang cukup panjang. Sebagai salah satu wujud entitas budaya, Pesantren ternyata mampu survive mempertahankan diri ditengah kehidupan masyarakat modern dan kebangsaan global sepanjang jaman. Awalnya, pesantren tumbuh sebagai simbol perlawanan terhadap agama dan kepercayaan poliestik, khurafat dan takhayul. Kehadiran Pesantren di tanah air selalu diawali dengan perang nilai antara “nilai putih” yang dibawa Pesantren dengan “nilai hitam” yang telah mengakar kuat dalam tradisi masyarakat Jawa. Sehingga pertarungan tersebut selalu dimenangkan pihak pesantren sekalipun sinkretisasi antara kejawen dan ajaran Islam sulit dibantahkan.
Kapan dan dimana model pesantren pertama kali didirikan masih terjadi perbedaan. Ada yang mengatakan bahwa pesantren sudah ada sejak abad ke-16 M yang ditandai dengan munculnya karya-karya Jawa klasik, seperti Serat Cabolek dan Serat Centini, sejak abad ke-16 M. di Indonesia telah banyak dijumpai Lembaga-Lembaga yang mengajarkan pelbagai kitab Islam klasik dan disiplin ilmu pengetahuan Islam seperti Fiqh, Aqidah, Tasawuf, dan variable ilmu Islam yang universal. Di samping itu, ada pula yang mengatakan bahwa sistem pendidikan pesantren tak lain dan tak bukan adalah “jiplakan” dari sistem pendidikan Hindu-Budha pada abad ke-18 M. Dengan demikian, sejak abad ke 19-20, model pendidikan pesantren mulai banyak mengalami perubahan diberbagai segi sosial sebagai konsekuensi logis dari “muncratnya trend jaman” akibat terpengaruh globalisasi. Bahkan, tidak sedikit akhir-akhir ini dari Lembaga-Lembaga Pesantren yang mulai menerjuni dunia pendidikan sebagai alternative pembangunan bangsa kearah yang lebih baik .
Tidak sedikit kontribusi yang diberikan Pesantren dalam pembangunan nation-state selama ini. Tengoklah pada masa penjajahan, Pesantren telah memainkan perlawanan dan mengambil posisi uzlah sebagai bentuk perlawanan sekaligus pertahanan dari para penjajah. Sebab dari uzlah inilah sebuah pesantren mampu mendapatkan stereotip dari Pemerintah Kolonial yang pada waktu itu dikonotasikan sebagai Lembaga Pendidikan yang semrawut, sehingga banyak orang yang tidak tahu secara jelas sampai mana batas-batas Lembaga Pendidikan Pesantren apakah sebagai Lembaga Sosial, ataukah Lembaga Penyiaran Agama. Banyak para Kyai yang kedudukannya juga ikut-ikut tidak jelas apakah peran mereka sebagai guru, pemimpin spiritual, penyiar agama ataukah sebagai pekerja social, sehingga masih banyak Lembaga Pesantren yang hingga detik ini tidak mendapat stigmatisasi pendidikan, sistem evaluasi, metode pengajaran, dan sebagainya.
Karena anggapan miris Pemerintah Kolonial pada waktu itu, maka Pesantren lebih memprioritaskan diri untuk pengajaran fiqh-sufistik daripada hal-hal yang berkaitan langsung dengan masalah keduniawian. Tentu saja prioritas ini menimbulkan kerugian sekaligus keuntungan. Keuntungannya, pesantren menjelma menjadi Lembaga Pendidikan yang berhasil mengembangkan pertahanan mental spiritualitas, solidaritas, dan kesederhanaan hidup yang kokoh. Namun di sisi lain, kerugian yang harus ditanggung pesantren ialah, pesantren seakan-akan telah terlepas dari kehidupan nyata, tidak membumi, terlalu melangit ke akhirat serta kurang mengapresiasi diri bahkan melupakan kehidupan duniawi.
Pada masa pergerakan dan persiapan kemerdekaan saja, pesantren berperan sebagai pusat perjuangan / gerilyawan seperti Hizbullah dan Sabilillah. Pada masa-masa awal pembentukan Tentara Nasional Indonesia khususnya Angkatan Darat, banyak berasal dari santri dan sedikitnya diwarnai oleh kultur santri. Banyak dari para Kyai dan pengasuh pesantren menjadi pemimpin diplomasi yang cukup piawai untuk menegakkan kemerdekaan Indonesia melalui penyusunan dasar-dasar institusi negara. Meski saat itu, Lembaga Pendidikan Pesantren masih menjadi Lembaga Pendidikan Agama yang bercorak fiqh-gnostik dan klinik sosial-keagaman masyarakat.
Pada abad ke-20, pesantren mampu mereposisi diri kearah sistem pendidikan yang berorientasi ke arah masa depan dengan tanpa menghilangkan tradisi-tradisi yang baik, dengan berpedoman kepada prinsip “al-muhafadzah alâ al-qadîm ash-shalih wa al-akhd bî al-jadîd al-ashlah”. Sejak tahun 1970-an, Pesantren mulai mengidentifikasi kelemahan dan kekurangan dengan berusaha mengadaptasi dan mengakomodasi perubahan-perubahan khususnya di bidang pendidikan, perubahan pendidikan khususnya masalah pendidikan meliputi orientasi pendidikan serta aspek-aspek administrasinya, diferensiasi struktural dan ekspansi kapasitas bahkan transformasi kelulusan yang berkenaan dengan nilai, sikap, dan perilakunya. Pondok Pesantren Lirboyo yang terletak di kawasan Kota Kediri saja pada abad ke-20, mulai mengajarkan pendidikan ketrampilan di pelbagai bidang. Seperti menjahit, pertukangan, perbengkelan, peternakan, dan sebagainya. Pendidikan ketrampilan ini diberikan dengan tujuan supaya civitas pesantren memiliki wawasan keduniawian sesuai profesi yang diinginkan melalui pendidikan ketrampilan, santri tidak hanya fasih dalam hal-hal yang bersifat karitas atau charitable, tetapi juga professional menghadapi hal-hal yang bersifat sekuler, pragmatis, dan kalkulatif.
Dengan demikian, para sejarawan akhirnya berhasil menyimpulkan bahwa sejarah geneologi sistem pendidikan ala pesantren sebenarnya dapat ditelusuri dari era sebelum masuknya Agama Islam. Istilah pesantren yang berawal dari surau Sunan Ampel dianggap oleh sebagian ahli sejarah sebagai tonggak eksistensi awal munculnya bendera Lembaga Pendidikan Pesantren dalam rangka mentransfomasikan keilmuan dan kebangkitan Islam di Indonesia. Berawal dari tempat inilah, Pesantren menjelma sebagai Lembaga Pendidikan rakyat yang berorientasi mencetak agen-agen perubahan dan pembangunan masyarakat.
C. Pesantren sebagai Benteng Aswaja
Di samping sistem pendidikannya yang amat sederhana, di dalamnya juga terdapat interaksi sosial antara Kyai atau ustadz yang berperan penting sebagai guru bagi para santri dan telah menjadikan standar pendidikan yang cukup efektif bagi keberlangsungan sumber daya manusia. Kyai, sebagai top leader (uswah) yang menjadi pemimpin tunggal, aktif mengatur langsung komunitas yang diembannya, mulai urusan para tamu, santri baru, penentuan kitab-kitab kajian hingga berbagai aktifitas yang dijalankan dalam tubuh Pesantren. Bertambah banyaknya santri, biasanya menjadikan Kyai menunjuk santri seniornya menjadi Lurah Pondok. Melalui Lurah inilah, semua urusan Kyai didelegasikan. Sejarah metodologi pendidikan salaf semacam ini tak ayal menempatkan Pesantren sebagai “kerajaan-kerajaan kecil” (muluk al-thawaif, emiret), dimana antara satu Pesantren dengan yang lain memiliki aturan dan aktifitas yang berbeda.
Kini, seiring dengan perkembangan waktu, Lembaga yang sering disebut-sebut “tradisional” itu, memasuki era globalisasi dan milenium ketiga dan mendapat sorotan cukup tajam. Masalahnya, meski dikatakan tradisional, toh kenyataannya, Pesantren sampai sekarang masih tetap eksis, bahkan mendapat simpati dan animo masyarakat luas. Terlebih lagi dalam merespon krisis berkepanjangan di Indonesia. Karenanya, topik sejarah berdirinya Pondok Pesantren Lirboyo, pelestarian dan penerapannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di tinjau dari berbagai manfaat guna dijadikan sebagai suri tauladan umat.
Hal ini tak lain karena “omongan” para ahli sejarah yang memprediksikan bahwa keberadaan Pesantren di Indonesia merupakan benteng pertahanan terakhir bagi spiritualitas Negara Kesatuan Repuplik Indonesia maupun Umat Islam di negeri ini. Harus di akui bahwa sejarah berdirinya republik ini tak lepas dari jasa para ulama alumnus pesantren, begitu pula dengan lenyapnya komunitas serta gerakan pengacau Republik Indonesia. Bagi umat Islam, melalui Pesantrenlah mereka berharap kontinuitas estafet dakwah Islam terus dilanjutkan. Hilangnya Pesantren, berarti lenyapnya para ulama (agamawan) serta orang-orang shalih. Kalau sudah demikian, maka tinggal tunggu kehancuran keindahan spiritual agama tersebut. Sungguhpun saat ini telah menjamur institusi pendidikan formal yang berlabelkan Islam, akan tetapi out-put Lembaga mereka nyata-nyatanya tidak mampu menelorkan para ulama yang menjadi pewaris para Nabi.
Apalagi jika menengok sejarah penanaman nilai-nilai moral dan metodologi pendidikan salaf bernafas religius seperti yang diterapkan Pondok Pesantren Lirboyo sampai saat ini ternyata mampu membuktikan dirinya mempertahankan anak bangsa dari erosi akhlaq dan dekadensi moral. Pembentukan jati diri manusia yang ber-akhlakul karimah hingga terwujudnya insan paripurna merupakan salah satu misi Lembaga-Lembaga Pesantren Salaf di Indonesia. Sikap Kyai yang tulus, ikhlas, sabar. Tawakal (berserah diri), tawadlu’ (hormat), jujur serta independensi merupakan dinamika energy power bagi nilai-nilai luhur Bangsa dan Negara. Manusia-manusia tipe mereka saat ini sungguh langka ditemukan. Padahal hanya dengan jiwa yang terpatri pada nilai-nilai mulia itulah Bangsa Indonesia bisa terselamatkan dari dekadensi moral serta penyakit-penyakit lain yang akan menyeret Bangsa ke dalam kondisi “krisis” berkepanjangan, tidak mustahil jika nantinya terjadi big bang kehancuran bagi umat manusia.
Sejarah independensi Pesantren dari generasi ke generasi telah membuktikan betapa kokohnya Lembaga-Lembaga ini dalam memikul beban meneruskan perjuangan Nabi dan Rasul. Di tambah, dengan sejarah keberadaan Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan Islam tidak hanya berperan atas unsur politik dan ekonomi, tapi lebih dari itu, ia hadir sebagai bentuk tingginya animo masyarakat atas keilmuan para ulama salaf. Sejak era Kolonial sampai Kemerdekaan, keberadaan Pesantren yang berdiri baik di wilayah pedesaan atau pinggiran. Demografis serta doktrin jihad yang diterapkan, menjadikan Pesantren tidak hanya sebagai pusat pendidikan rakyat tetapi telah menjadi simbol kebudayaan Bangsa Indonesia itu sendiri.
D. Nilai – Nilai Pesantren
Harus diakui bahwa pada dasarnya, Pesantren dibangun atas dasar keinginan bersama dua komunitas yang saling bertemu. Komunitas santri yang ingin menimba ilmu sebagi bekal hidup dan kyia/guru yang secara ihklas ingin mengajarkan ilmu dan pengalamannya. Relasi simbiosis mutualisme ini saling melangkapi, santri dan Kyai merupakan dua entitas yang memiliki kesamaan kesadaran dan bersama-sama membangun komunitas keagamaan yang kemudian disebut Pesantren. Kyai, ustadz, dan santri hidup dalam satu keluarga besar berlandaskan nilai-nliai Agama Islam yang dilengkapi dengan norma-norma.
Komunitas keagamaan Pesantren berlandaskan oleh keinginan tafaqquh fî ad-dîn (mendalami ajaran Agama), dengan kaidah yang menjadi soko gurunya, al-muhafadzah alâ al-qadîm ash-shalih wa al-akhd bî al-jadîd al-ashlah (memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik). Keinginan dan kaidah ini merupakan nilai pokok yang melandasi kehidupan dunia pesantren. Suatu bentuk falsafah yang cukup sederhana, tetapi mampu mentransformasikan potensi dan menjadikan diri Pesantren sebagai agent of change bagi masyarakat. Sehingga, eksistensi Pesantren identik dengan Lembaga pemberdayaan serta pengembangan masyarakat.
Selain kedua nilai diatas, eksistensi pesantren menjadi kokoh karena dijiwai oleh panca-jiwa, Seperti jiwa keihlasan yang tidak pernah didorong oleh ambisi apapun untuk memperoleh keuntungan tertentu, khsusnya material, melainkan karena semata-mata karena beribadah kepada Allah. Jiwa keikhlasan memanifestasikan dalam segala rangkaian sikap dan perilaku serta tindakan yang dilakukan secara ritual oleh komunitas pesantren. Jiwa kiekhlasan ini dilandasi oleh keyaqinan bahwa perbuatan baik pasti diganjar oleh Allah dengan sesuatu yang tak bisa dilukiskan oleh akal.
Selain itu dalam budaya Pesantren salaf juga telah terpatri jiwa kesederhanaan, kata’sederhana’ disini bukan berarti pasif, melarat, miskin, dan menerima apa adnya, akan tetapi lebih dari itu mengandung unsur kekuatan dan ketabahan hati, kemampuan mengendalikan diri dan kecakapan menguasai diri dalam menghadapi kesulitan. Dibalik jiwa kesederhanaan ini tersimpan jiwa yang besar, berani, maju, dan pantang menyerah dalam menghadapi dinamika sosial secara kompetitif. Jiwa kesederhanaan ini menjadi ‘baju’ identitas yang paling berharga bagi civitas santri dan Kyai. Apalagi dengan adanya jiwa kemandirian yang peranannya mampu mengurusai persoalan-persoalan internal pesantren, namun kesanggupan membentuk Pesantren sebagai institusi pendidikan Islam yang independen, tidak menggantungkan diri kepada bantuan dan pamrih pihak lain. Pesantren dibangun diatas pondasi kekuatan sendiri sehingga banyak dari mereka yang benar benar menjadi merdeka, otonom dan mandiri di dalam budaya Pesantren salaf, biasanya ada jiwa kebebasan dalam mengandalkan civitas Pesantren sebagai manusia yang kokoh dalam memilih jalan hidup dan masa depannya, hanya dengan jiwa besar dan sikap optimis inilah maka dalam lembaran sejarahnya, Pesantren mampu mengahadapi segala problematika kehidupan umat manusia dengan dilandasi nilai-nilai Islam. Kebebasan ini juga berarti sikap kemandirian yang tidak berkenan didikte oleh pihak luar dalam membangun orientasi kepesantrenan dan kependidikan. Sehingga muncullah jiwa jiwa lain seperti ukhuwwah Islamiyyah, jiwa ini memanifesatasi dalam keseharian civitas Pesantren yang bersifat dialogis, penuh keakraban, penuh kompromi, dan toleransi. Jiwa ini mematri suasana sejuk, damai, saling membantu, senasib dan saling mengharagai bahkan saling mensupport dalam pembentukan dan pengembangan idealisme santri. Semua itu menjadikan Pesantren tetap “bernilai” dan mampu eksis sepanjang sejarah kehidupan dan dinamika jaman. Globalisasi teknologi industry yang massif dan mendunia tidak menggoyahkan eksistensi Pesantren sebagai penjaga sekaligus pelestari nilai-nilai luhur. Dikarenakan Pesantren hanya tergantung terhadap kebenaran mutlak (tuhan) yang diaktualisasi dalam fiqh-sufistik yang berorientasi kepada amalan ukhrawiy, maka kebenaran didalamnya relative bersifat empiris pragmatis dalam memecahkan beragam persoalan kehidupan sesuai dengan hukum agama. Semua aktivitas Pesantren selalu mengacu kepada keseimbangan antara ukhrawiy dan duniawi. Keimanan civitas Pesantren senantiasa memanifestasikan setiap perilaku, sikap dan tindakan sehari-hari. Karena itulah, identitas Kyai dan santri menjadi sesuatu yang layak diteladani bagi setiap pengembangan masayarakat secara utuh.
Nilai kemandirian yang menjadi pondasi eksistensial pesantren merupakan nilai utama paling signifikan bagi perubahan sosial dan budaya yang otonom. Dengan kemandiriannya, Pesantren telah mampu menjelma sebagai creative cultural makers dan figure sang kyai sangat penting dalam kehidupan bermasyrakat. Sehingga, profesi Kyai selain sebagai pengasuh Pondok juga sebagai tokoh masyarakat, mediator, dan pialang. Kenyatan semacam ini tentu saja disebabkan Kyai mempunyai integritas keilmuan tinggi yang mampu mempriteksi kesadaran masyarakatnya sehingga terbentuk komunitas keagamaan dan budaya kemandirian. Dengan kemandiriannya pula, Pesantren mampu terlepas dari jerat-jerat dependensi dan hegemoni pihak lain.
E. Pesantren, Institusi Pendidikan Yang Komprehensif
Rentang waktu yang kian panjang mengantarkan berbagai Pondok pesantren mengalami perubahan yang amat signifikan, baik di teropong dari metodologi pendidikan maupun mekanisme struktur pondok pesantren yang diterapkannya. Jika dahulu Pesantren hanya menggunakan sistem bandongan kini telah banyak menggunakan sistem modern. Jika dahulu banyak Pesantren yang masih bergelut dalam khazanah kutub as-salaf sebagai kurikulum pendidikan, kini telah banyak di antara pesantren (meskipun sebagian besar juga belum) yang memasukkan pelajaran umum sebagai kurikulum dalam metodologi pendidikannya, pembaharuan ini tentu saja dinilai sebagai eksistensi Pesantren dengan harapan bahwa kelak para alumninya mampu menggembleng masyarakat dengan berbagai kedisiplinan ilmu yang membumi. Meski di lain pihak, banyak pula sebagian pesantren yang masih memegang teguh corak stagnasi pendidikan salaf (konservatif dan cenderung eksklusif), dengan harapan mampu menjaga ke-orisinal-an substansi pendidikan pesantren seperti yang diinginkan para pendahulunya.
Pondok Pesantren Lirboyo yang berareal di Kawasan Kota Kediri merupakan satu diantara ribuan Pesantren yang hingga kini masih tetap percaya diri memegang teguh corak dinamisasi metodologi pendidikan salafnya. Fenomena ini bukan berarti Pondok Lirboyo antipati terhadap perkembangan modernisasi zaman, terbukti, meski masih memegang teguh corak pendidikan salaf, Pondok Lirboyo banyak mengadakan variable rekonstruksi kegiatan ekstrakulikuler berupa pendidkan bahasa Inggris, Komputer, jurnalistik dan berbagai macam dinamisasi modern yang marak di tengah masyarakat dunia. Wallahu A’lam.
F. Perkembangan Pendidikan Islam Pada Masa Belanda
Pada pertengahan abad 19 M. perkembangan lembaga pendidikan mencapai tingkat tinggi. Hal ini karena meningkatnya jumlah jama’ah haji ke Makkah yang mengakibatkan banyak orang yang ahli dalam bidang agama yang membuka lembaga pendidikan. Bahkan tahun 1882 M. menurut catatan terdapat 300 pesantren di Jawa dan Madura. Hal itu ditambah lagi banyaknya orang-orang Hadhramaut yang bermigrasi dan mencari penghidupan yang layak di Indonesia yang juga membuka wawasan baru.
Wawasan baru tersebut mengakibatkan sistem madrasah yang berkembang di Timur Tengah berkembang pula di Indonesia, baik isi dan materinya sama. Pada akhir abad 19 M. Belanda mendirikan sekolah-sekolah untuk tenaga kerja untuk kepentingan perusahaan Belanda. Pada awal abad 20 M. Belanda mulai memberikan pendidikan kepada masyarakat yang menggunakan sistem pendidikan Liberal. Namun, hanya diperuntukkan bagi bangsawan dan pegawai pemerintah. Sehingga lembaga pendidikan agama tetap menjadi lembaga pendidikan yang bisa ditempati masyarakat pribumi.
G. Pendidikan Islam terhadap kebijakan pemerintah Belanda
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa kedatangan penjajah Belanda di bumi Nusantara untuk mengemban fungsi ganda, yaitu melakukan penjajahan dan salibisasi. Oleh karena itu, semboyan yang terkenal dari penjajah Belanda adalah Glory (kemenangan atau kekuasaan), Gold (emas atau kekayaan bangsa Indonesia), dan Gospel (upaya sabilisasi terhadap umat Islam di Indonesia).
Dengan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa terhadap proses pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam di Indonesia, penjajah Belanda cenderung merugikan umat Islam. Penjajah Belanda berusaha menghambat perkembangan pendidikan Islam, dengan terang-terangan membiayai misionaris Kristen.
Banyak sikap mereka yang merugikan lajunya perkembangan pendidikan Islam di Indonesia, misalnya:
1. Setiap sekolah atau madrasah/pesantren harus memliki ijin dari Bupati atau pejabat pemerintah Belanda.
2. Harus ada penjelasan dari sifat pendidikan yang sedang dijalankan secara terperinci.
3. Para guru harus membuat daftar murid dalam bentuk tertentu dan mengirimkannya secara periodic kepada daerah yang bersangkutan.
Pada dasarnya banyak kerugian yang diderita oleh umat Islam dalam persoalan pendidikan pada masa penjajahan Belanda. Bahkan, tidak sedikit sekolah yang terpaksa ditutup atau dipindahkah karena ulah penjajah Belanda terhadap bangsa Indonesia. Pada masa penjajahan Belanda ini, proses pendidikan Islam mengalami banyak tantangan dan hambatan, akan tetapi para tokoh Islam tetap giat dan gigih dalam memperjuangkannya.
Pada akhir abad 19 M. Belanda mendirikan sekolah-sekolah untuk tenaga kerja untuk kepentingan perusahaan Belanda. Pada awal abad 20 M. Belanda mulai memberikan pendidikan kepada masyarakat yang menggunakan sistem pendidikan Liberal, sebagaiamana dijelaskan di atas, sebagai tandingan dari perkembangan pesantren. Namun, hanya diperuntukkan bagi bangsawan dan pegawai pemerintah. Sehingga lembaga pendidikan agama tetap menjadi lembaga pendidikan yang bisa ditempati masyarakat pribumi.
Hal ini menjadi momentum awal bagi modernisasi pesantren. Apalagi pada awal abad ke- 20 M. para pembaharu Muslim, dalam rangka menjawab menjawab tantangan kolonialisme dan ekspansi Kristen, banyak mendirikan madrasah-madrasah modern yang secara terbatas mengadopsi sistem pendidikan Belanda. Karena itu pesantren mengadopsi tiga pembaharuan dalam sistem pendidikannya:
– Dibukanya pesantren untuk santri putri yang ditandai oleh pesantren Denanyar Jombang
– Diadopsinya sistem madrasah untuk santri tingkat lanjut, namun sistem ini tidak diadopsi untuk mengganti sistem tradisional yang telah ada, namun untuk menambah.
– Diadopsinya beberapa mata pelajaran umum ke kurikulum pesantren. Pesantren Tebuireng Jombang dan Singasari Malang misalnya, mengajarkan bahasa Indonesia, bahasa Belanda, berhitung, ilmu bumi, dan lain-lain.
Pada tahun 1882 M. pemerintah Belanda mendirikan Priesterraden, lembaga yang mengawasi pendidikan dan kehidupan agama penduduk pribumi. Dari lembaga ini, pemerintah pada tahun 1905 mengeluarkan Goeroe Ordonantie yang mengatur siapa saja yang mengajar Islam harus minta izin pemerintah. Pada tahun 1925 M. dikeluarkan Goeroe Ordonantie baru, yaitu mengatur bahwa guru-guru agama cukup memberikan informasi tertulis kepada pemerintah. Namun pada masa ini tidak semua Kiai boleh memberikan pengajaran mengaji. Hal itu lebih dikarenakan adanya gerakan organisasi pendiidkan yang tumbuh pesat seperti Muhammadiyah, PSI, dan lain sebagainya. Pada tahun 1932 M. pemerintah mengeluarkan Wilde School Ordonantie yang mengawasi madrasah dan sekolah yang tidak memiliki izin dan mengajarkan materi yang dilarang oleh pemerintah dan lembaga yang seperti ini harus ditutup. Peraturan keluar setelah munculnya gerakan nasionalisme-islamisme yang dianggap akan merongrong kekuasaan Belanda.
Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda telah banyak merugikan pendidikan Islam yang berkembang pada masa itu. Namun, para cendekiawan-cendekiawan muslim tidak kenal menyerah dan dengan gigih terus memperjuangkan pendidikan Islam, walaupun harus melalui berbagai hambatan, halangan, dan rintangan
H. Keadaan Pesantren Pada Zaman Penjajahan
Pemerintah kolonial khususnya Belanda, berusaha menekan dan mendiskreditkan pendidikan Islam yang dikelola oleh pribumi, tak terkecuali pondok pesantren. Penyelenggaraan pendidikan di pesantren menurut kolonial Belanda terlalu jelek dan tidak memungkinkan untuk menjadi sekolah-sekolah modern. Oleh karena itu, mereka mengambil alternatif kedua, yaitu mendirikan sekolah-sekolah sendiri yang tidak ada hubungannya dengan lembaga pendidikan yang telah ada.
Antara kedua sistem pendidikan tersebut terdapat perbedaan yang cukup mencolok, dan bahkan bisa dikatakan kontradiksi atau bertentangan. Perbedaan-perbedaan tersebut yaitu:
a. Pendidikan yang diselenggarakan dan dibiayai oleh pemerintah belanda bersifat netral. Pendidikan diselenggarakan berdasarkan perbedaan kelompok elit yang bisa dipergunakan untuk mempertahankan politik dan ekonomi Belanda di negeri jajahannya.
b. Pendidikan di madrasah dan pondok pesantren tidak terlalu memikirkan bagaimana cara hidup harmonis di dunia, tetapi menekankan pada bagaimana memperoleh penghidupan.
Dengan didirikannya lembaga pendidikan atau sekolah yang diperuntukkan sebagian bangsa indonesia tersebut, semenjak itulah terjadi persaingan antara lembaga pendidikan pesantren dan lembaga pendidikan pemerintah. Persaingan yang terjadi tersebut bukan hanya dalam segi ideologis dan cita-cita pendidikan saja, melainkan juga dalam bentuk perlawanan politis dan bahkan fisik (peperangan). Perlawanan melawan pemerintah kolonoal Belanda pada abad ke-19 mendapatkan dukungan sepenuhnya dari pesantren. Perang-perang besar seperti Perang Diponegoro, Perang Paderi, Perang Banjar, sampai perlawanan-perlawanan rakyat yang bersifat lokal yang tersebar di mana-mana didukung sepenuhnya oleh tokoh-tokoh pesantren dan alumni-alumninya. Merekalah yang memegang peranan utama.
Pada tahun 1882 didirikan Priesterreden (Pengadilan Agama) oleh pemerintah kolonial. Tugas-tugasnya adalah mengadakan pengawasan terhadap pendidikan pesantren. Tidak lama setelah itu, dikeluarkan ordonasi tahun 1905 yang berisi ketentuan-ketentuan pengawasan terhadap perguruan yang hanya mengajarkan agama (pesantren) dan guru-guru agama yang akan mengajar harus mendapatkan izin dari pemerintah setempat.
Semenjak itulah muncul berbagai usaha pembaharuan dalam berbagai aspek kehidupan sosial, budaya dan peradaban umat Islam, termasuk usaha pembaharuan pendidikan Islam.
Pada garis besarnya, ide pembaharuan dalam bidang pendidikan yang berkembang di dunia Islam bisa digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu:
a. Pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi pada pola pendidikan modern di barat, yakni mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kebudayaan.
b. Pola pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi pada pemurnian kembali ajaran Islam.
c. Pola pembaharuan yang berorientasi pada kekuatan-kekuatan dan latar belakang historis atau pengembangan sumber daya nasional atau bangsa masing-masing.
Tampaknya, ketiga pandangan tersebut mempunyai pengaruh terhadap perkembangan dan pembaharuan dan sistem pendidikan Islam di Indonesia menjelang dan awal abad ke-20. Beberapa pesantren mulai memperkenalkan sistem madrasah, sebagaimana sistem yang berlaku di sekolah-sekolah umum, kendati pelajarannya masih ditekankan pada pelajaran agama saja. Pada perkembangan berikutnya, madrasah-madrasah mengajarkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan umum.

BAB III
PENUTUP

Saran
Kami yakin dalam penulisan makalah ini banyak sekali kekurangannya. Untuk itu kami mohon kepada para pembaca agar dapat memberikan saran, kritikan, atau mungkin komentarnya demi kelancaran tugas ini dan untuk tugas selanjutnya agar bisa lebih baik.