KARAKTERISTIK AHLUSSUNAH WALJAMAAH

KARAKTERISTIK AHLUSSUNAH WALJAMAAH

Resume

untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Agama 2 (Aswaja)

 index

 

 

NAMA KELOMPOK:

Syayyidatul Istianah ( 151120001738 )

Anita Nur Jannah ( 151120001711 )

Alfiatur Rohmaniah ( 151120001743 )

Arum Kholifah M.F ( 151120001705 )

 

PROGRAM STUDI AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMAJEPARA

TAHUN 2016

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Karakteristik Ahlussunnah Waljamaah.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya.Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segal4a saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata kami mengucapkan terimakasih.

Jepara, 24 Februari 2015

Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN DEPAN   1

KATA PENGANTAR.. 2

DAFTAR ISI 3

BAB 1PENDAHULUAN.. 4

1.1 Latar Belakang. 4

1.2 Rumusan Masalah. 4

BAB 2 PEMBAHASAN.. 5

1.1 Khilafiyah Antara al­Asy’ari dan al­Maturidi (BIDANG AQIDAH) 5

1.1.1 Beberapa Masalah Khilafiyah antara al­Asy’ari dan al­Maturidi 5

1.1.2 Akidah Ahlussunah Wal-Jama’ah. 9

1.2 Mazhab Ahlussunnah (BIDANG FIQH) 16

1.2.1 Mazhab Hanafi 16

1.2.2 Mazhab Maliki. 17

1.2.3 Mazhab Syafi’i 18

1.2.4 Mazhab Hanbali 18

1.3 Bidang Tassawuf. 19

1.3.1       Riwayat Hidup Al Ghazali 19

1.3.2       Latar Belakang Tasawuf AlGhazali 20

1.3.4       Pengaruh Tasawuf Al Ghazali 23

1.4 Biografi Al-Junayd al-Baghdadi 24

1.4.1 Pengertian tasawuf meneurut Junayd al-Baghdadi dan tokoh lainnya. 24

1.4.2 Pemikiran dan Ciri Tasawuf Al-Junayd al-Baghdadi 25

BAB 3PENUTUP. 27

3.1 Kesimpulan. 27

3.1 Saran. 27

DAFTAR PUSTAKA.. 28

 

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam sejarahnya Ahlusunnah Waljamaah selalu mengalami perkembangan secara dinamis menurut perkembangan jaman, jadi tidak wajar jika Ahlussunah Waljamaah banyak pengikutnya diindonesia. Pada hakikatnya orang Indonesia lebih dominan mengikuti imam Syafi’i dalam bidang fiqh, imam Asy’ari dalam bidang akidah, dan imam Al-Gazali dalam bidang tasawuf yang mana karya-karyanya dikaji oleh berbagai lembaga pendidikan islam di Indonesia.

Pandangan­pandangan al­Maturidi dan al­Asy’ari, didapati bahwa antara keduannya terdapat perbedaan dalam paradigma pemikiran dan kesimpulan yang dicapai oleh keduanya.Meskipun tidak diragukan bahwa keduanya selalu berusaha menegaskan akidah­akidah yang dikandung oleh Al­Qur’an berdasarkan dalil rasional dan pembuktian­pembuktian logika.Mereka juga konsisten mengikuti akidah­akidah Al­Qur’an tersebut.Meskipun al­Maturidi cenderung lebih rasional dan memberikan porsi yang lebih besar terhadap nalar daripada al­Asy’ari. Menurut Abu Zahrah, golongan al­Maturidi memberikan peran yang cukup besar terhadap nalar tanpa melebih­lebihkan. Sementara golongan al­Asy’ari membatasi diri dengan dalil­dalil naqli dan memperkuatnya secara sungguh­sungguh, sehingga seorang peneliti akan mudah mengambil kesimpulan bahwa mazhab al­Asy’ari berada di garis mu’tazilah di salah satu sisi, dan ahli fiqih dan hadits di sisi lain. Sementara golongan al­Maturidi berada di varis antara Mu’tazilah dan Asyar’iah.Sebagian pakar ada yang mengembalikan latar belakang perbedaan mazhab al­asy’ari dan al­maturidi terhadap perbedaan latar belakang mazhab fiqih keduannya, dimana al­asy’ari mengikuti mazhab al­syafi’i, sedangkan al­maturidi mengikuti mazhab hanafi.

1.2   Pembahasan

Pembahasan dalam makalah ini antara lain :

  1. Karakteristik Ahlusunnah Waljamaah dalam bidang Aqidah
  2. Karakteristik Ahlusunnah Waljamaah dalam bidang Fiqh
  3. Karakteristik Ahlusunnah Waljamaah dalam bidang Tassawuf

 

BAB II

PEMBAHASAN

  1. Karakteristik Ahlusunnah Waljamaah dalam bidang Aqidah

Beberapa istilah akidah dalam Ahlussunah Wal-Jama’ah :

  • Ilahiyyat (ketuhanan) yaitu bahasan yang berkenaan dengan Tuhan dan sifat-sifat-Nya.
  • Nubuwat (kenabian) yaitu bahasan yang berkenaan dengan kenabian, para nabi dan sifat-sifat mereka.
  • Kauriyyat (kosmos) yaitu bahasan yang berkenaan dengan alam semesta, seperti malaikat, setan, jin, dan lain-lain.
  • Ghaibiyyat yaitu bahasan yang berkenaan dengan hal-hal yang gaib, seperti surga, neraka, hari kiamat, dan lain-lain.
  • Aqliyyat yaitu bahasan yang berkenaan dengan hal-hal yang bersifat rasional atau yang dibuktikan berdasarkan dalil ‘aqli.
  • Sam’iyyat yaitu bahasan yang berkenaan dengan hal-hal yang diinformasikan al-Qur’an dan hadits.
  1. Ilahiyyat (ketuhanan)
  2. Iman ialah pengakuan dengan lisan dan pembenaran dengan hati.
  3. Tuhan itu ada, dan namanya Allah. Dia memiliki 99 nama yang disebut al-Asma’ al-husna.
  4. Allah SAW memiliki sekian banyak sifat yang dapat disimpulkan menjadi 3 pertama, sifat-sifat jalal (kebesaran), kedua sifat-sifat jamal (keindahan) dan yang ketiga sifat-sifat kamal (kesempurnaan).
  5. Sifat-sifat Allah SAW yang wajib diketahui ada 20 sifat wajib bagi Allah dan 20 sifat mustahil bagi-Nya, serta satu sifat jaiz (wajib ada) bagi Allah SAW.
  • Wujud (ada) >< ‘Adam (tidak ada)
  • Qidam (terdahulu) ><Huduts (baru)
  • Baqa’ (kekal) ><Fana (berubah-ubah)
  • Mukhalafatu lil-hawaditsi (berbeda dengan makhluk-Nya) ><Mumatsalatu lil-hawaditsi (menyerupai sesuatu)
  • Qiyamuhu bi-nafsihi (berdiri sendiri) ><Qiyamuhu bi-ghairihi (berdiri-Nya dengan yang lain)
  • Wahdaniyat (esa/satu) ><Ta’addud (lebih dari satu)
  • Qudrat (kuasa) >< ‘Ajzun (lemah)
  • Iradat (berkehendak) ><Karahah (terpaksa)
  • ‘Ilmu (mengetahui) ><Jahlun (bodoh)
  • Hayat (hidup) ><Mautun (mati)
  • Sama (mendengar) ><Bakam (tuli)
  • Bashar (melihat) >< ‘Ama (buta)
  • Kalam (berkata) ><Shamam (bisu)
  • Kaunuhu Qadiran (Allah itu Maha Kuasa) ><Kaunuhu ‘Ajizan (lemah dan tidak berkuasa)
  • Kaunuhu Muridan (Allah itu Maha Berkehendak) ><Kaunuhu Mukrahan (dipaksa oleh selain-Nya)
  • Kaunuhu ‘aliman (Allah itu Maha Mengetahui) ><Kaunuhu Jahilan (maha bodoh)
  • Kaunuhu Hayyan (Allah itu Maha Hidup) ><Kaunuhu Mayyitan (maha mati)
  • Kaunuhu Sami’an (Allah maha mendengar) ><Kaunuhu Abkam (maha tuli)
  • Kaunuhu Bashiran (Allah itu maha melihat) ><Kaunuhu A’ma (maha buta)
  • Kaunuhu Mutakalliman (Allah itu maha berkata) ><Kaunuhu Ashamma (maha bisu)
  1. Sifat yang jaiz (boleh) bagi Allah SWT hanya ada satu, yaitu fi’lu kulli mumkinin au tarkuhu (melakukan segala sesuatu yang mungkin atau meninggalkannya).
  2. Allah SWT ada tanpa tempat dan tanpa dilalui oleh waktu.
  3. Ahlusunnah Wal-Jama’ah mempercayai adanya Qadha’ dan Qadhar allah, yaitu takdir ilahi. Meliputi:
  • Semua kejadian di dunia ini sudah ada dalam Qadha’ Allah SWT, yaitu hukum Tuhan pada azal, bahwa hal tersebut akan terjadi.
  • Semua kejadian di dunia ini, baik dan buruknya, semuanya adalah diciptakan oleh Allah SWT.
  • Meskipun semua yang terjadi atas takdir Allah SWT, tetapi manusia telah diberi kasab, ikhtiar, dan usaha. Karena itu manusia wajib berikhtiar dan berusaha.
  • Pahala yang diberikan Allah SWT kepada manusia adalah karunia-Nya dan hukuman yang diberikan kepada manusia adalah karena keadilan-Nya.
  1. Allah SWT bersama nama-Nya dan sifat-sifat-Nya adalah Qadim (tidaak berpermulaan), karena Nama dan Sifat itu menetap pada zat yang Qadim.
  2. Al-Qur’an al-Karim adalah kalam Allah yang Qadim. Sedangkan yang tertulis dalam Mushhaf, yang berupa huruf dan suara adalah gambaran dari kalam Allah yang Qadim. Al-Qur’an al-Karim dikatakan Qadim, dan tidak boleh dikatakan hadits (baru) atau makhluk.
  3. Nama Tuhan tidak boleh dibuat-buat oleh siapa pun. Nama Tuhan itu ditetapkan berdasarkan dalil al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’ ulama.
  4. Allah SWT dapat dilihat oleh penduduk surga dengan mata kepala, bukan dengan mata hati.
  5. Pada waktu di dunia, tidak ada manusia yang dapat melihat Allah SWT kecuali Nabi Muhammad SAW pada malah mi’raj di sidrat al-Muntaha.
  6. Nubuwwat (Kenabian)
  7. Mengutus para rasul adalah suatu karunia Allah SWT kepada umat manusia untuk menunjukkan jalan yang lurus bagi mereka.
  8. Nabi yang pertama kali diutus oleh Allah SWT dan dibekali dengan wahyu dan hukum-hukum syari’at adalah Nabi Adam AS, ayah umat manusia. Sedangkan nabi terakhir dan penutup adalah Nabi Muhammad SAW.
  9. Dalam al-Qur’an al-Qarim, Allah SWT menyebutkan 25 nabi dan rasul yang harus diakui kenabiannya oleh setiap muslim. Mereka adalah Nabi Adam AS, Nabi Idris AS, Nabi Nuh AS, Nabi Hud AS, Nabi Shalih AS, Nabi Ibrahim AS, Nabi Luth AS, Nabi Ismail AS, Nabi Ishaq AS, Nabi Ya’qub AS, Nabi Yusuf AS, Nabi Yusuf AS, Nabi Syu’aib AS, Nabi Ayyub AS, Nabi Dzul Kifli AS, Nabi Musa AS, Nabi Harun AS, Nabi Dawud AS, Nabi Sulaiman AS, Nabi Ilyas AS, Nabi Ilyasa’ AS, Nabi Yunus AS, Nabi Zakariya AS, Nabi Yahya AS, Nabi Isa AS, Nabi Muhammad SAW.
  10. Perbedaan terpenting antara Nabi Muhammad SAW dengan nabi-nabi sebelumnya adalah, kalau nabi-nabi sebelumnya oleh Allah SWT diutus kepada kaumnya saja. Sedangkan Nabi Muhammad SAW diutus kepada seluruh umat manusia, jin, dan Malaikat.
  11. Setiap muslim wajib mengetahui dan meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW lahir di Mekkah. Sesudah berusia 40 tahun, beliau diangkat sebagai Rasul, dan ayat-ayat al-Qur’an diturunkan kepada beliau secara berturut-turut selama 23 tahun. Sesudah 13 tahun menjadi Rasul, beliau berhijrah ke Madinah, menetap di sana dan wafat di sana.
  12. Nabi Muhammad SAW adalah manusia seperti kita, bukan Malaikat. Beliau juga makan, minum, tidur, menikah dan mempunyai keturunan seperti layaknya manusia biasa.
  13. Nasab Nabi Muhammad SAW dari jalur ayah adalah, Muhammad bin Abdullah, bin Abdul Muthalib, bin Hasyim, bin Abdi Manaf, bin Qushai, bin Kilab, bin Murrah, bin Ka’ab, bin Lu’ay, bin Ghalib, bin Fihir, bin Malik, bin Nazhar, bin Kinanah, bin Khuzaimah, bin Mudrikah, bin Ilyas, bin Mudhar, bin Nizar, bin Ma’ad, bin Adnan. Dari jalur ibu adalah, Muhammad bin Aminah, binti Wahab, bin Abdi Manaf, bin Zuhrah, bin Kilab (kakek Nabi Muhammad SAW yang keenamm dari jalur ayah).
  14. Isti-istri Nabi Muhammad SAW mulai dari menikah hingga wafatnya adalah Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwailid, ‘Aisyah binti Abi Bakar al-Shiddiq, Hafshah binti Umar, Ummu Salamah binti Abi Umayyah, Ummu Habibahh binti Abu Sufyan, saudah binti Zam’ah, Zzainab binti Jahasy, Zainabbinti Khuzaimah, Maimunah binti al-Harits, Juwairiyah binti al Harits dan Shafiyyah binti Huyay –radhiyallahu ‘anhunna.
  15. Putra-putri Nabi Muhammad SAW adalah, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, Siti Fathimah, Qasim, Abdullah dan Ibrahim AS.
  16. Nabi Muhammad SAW isra’ (melakukan perjalanan di malam hari) dari Mekkah ke Baitul Muqaddas di Palestina, lalu mi’raj ke Sidratul Muntaha pada tanggal 27 Rajab dan kembali malam itu juga dunia (Mekkah) dengan membawa perintah shalat lima kali dalam sehari semalam. Beliau melakukan isra’ dan mi’raj dengan tubuh dan ruhnya.
  17. Nabi Muhammad SAW diangkat sebagai nabi lebih dulu dari nabi-nabi yang lain, yaitu ketika Nabi Adam AS masih terbaring diSurga dan belum diberi jiwa (ruh). Karena itu, beliau adalah nabi yang pertama kali diangkat, tetapi terakhir lahir di dunia
  18. Nabi Muhammad saw akan memberi syafa’at (bantuan) nanti di akhirat kepada seluruh manusia. Syafa’at beliau nanti bermacam-macam, diantaranya menyegerakkan pelaksanaan hisab di padang Mahsyar.
  19. Sesudah Nabi Muhammad saw meninggal, maka pengganti beliau yang sah sebagai pemimpin umat adalah Sayidina Abu Bakar al-Shiddiq, sebagai khalifah yang pertama Sayidina Umar bin al-Khattahab sebagai khalifah yang kedua, Sayidina Utsman bin Affan sebagai khalifah yang ketiga dan Sayidina bin Abi Thalib sebagai Khalifah yang keempat, keempat kholifah tersebut disebut dengan Khulafaur Rasyidin.
  20. AhlusunnahWal-jamaah menyakini bahwa nabi Muhammad saw adalah makhluk Allah yang paling mulia. Dibawah beliau rasu;-rasul yang lain, lalu para nabi, lalu malaikat dan kemudian manusia.
  21. Ahlusunnah Waljama’ah menyakini bahwa sahabat Nabi Muhammad saw yang paling mulia adalah Sayidina Abu Bakar, lalu Sayidina Umar bin Khattab, Sayyidina utsman bin Alfan, lalu Sayyidina Ali bin Abi Thalib, lalu sahabat yang 10 dikabarkan oleh nabi akan masuk surga yaitu 4 orang khalifah tersebut ditambah dengan thalhah bin Ubaidilah, Zubur bin Awwam, Abdurrohman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash, Sa’id bin Zaid dan Abu Ubaidah Amir bin Al- Jan’ah sessudah mereka adalah para sahabat peserta perang badar.lalu peserta perang Uhud, lalu para sahabat yang ikut dalam Ba’iat al Ridhwan dan terakhir seluruh sahabat selain mereka.
  22. Berkaitan dengan pertikaian dan peperangan antara sesama sahabat Nabi saw, seperti peperangan Jamal antara Sayidah Aisyah dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Peperangan Shiffin antara Sayidina Ali bin Abi Thalib dan sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Ahlusunnah Wal-Jama’ah menanggapinya secara positif, berangkat dari ijtihad masing-masing. Kalau ijtihat tersebut benar menurut Allah SWT maka mereka akan mendapatkan 2 pahala. Tetapi kalau ijtihad mereka keliru menurut Allah SWT akan mendapatkan pahala, atas ijtihadnya tersebut.
  23. Ahlusunnah Wal-Jama’ah meyakini bahwa seluruh keluarga Nabi Muhammad, khususnya Ummul Mukminin Sayidatina Aisyah yang tertuduh melakukan kesalahan adalah bersih dari noda. Fitnah yang dilancarkan kepada keluarga Nabi saw adalah fitnah yang dibuat-buat.
  24. Kenabian dan Kerasulan seseorang adalah karunia dari Tuhan. Pangkat ini tidak dapat diperoleh dengan diusahakan, misalnya mencari ilmu, bertapa, beribadah, dan lain-lainnya. Karenanya, seorang wali tidak akan dapat mencapai derajat para nabi.
  25. Para Rasul Allah diberkati dengan Mu’jizat, yaitu perbuatan yang istimewa yang diluar kemampuan manusia biasa, Seperti Nabi Ibrahim yang tidak terbakar oleh Api, Nabi Isa yang pandai menghidupkan orang yang sudah mati, Nabi Musa yang pandai menjadikan tongkatnya sebagai ular, Nabi Muhammad dengan kitabnya Alqur’an al-karim yang tidak dapat ditiru oleh siapapun, air dari anak jari beliau, bulan dibelah menjadi dua, matahari berjalan dan lain-lain.
  26. Ahlusunnah Wal-Jamaah menyakini adnya karomah para wali. Karomah adalah perbuatan yang istimewa yang diluar kebiasaan manusia, yang dilakukan oleh para wali Allah. Seperti makanan yang datang sendiri kepada Siti Maryam, dan ahli gua (ashabul khafi) yang tidur selama 309 tahun tanpa mengalami kerusakan pada tubuh mereka.
  27. Nabi Muhammad adalah nabi terakhir dan penutup para nabi, sehingga seseudah beliau tidak akan ada nabi lagi. Demikian pula pangkat kenabian dan kerasulan telah ditutup oleh pangkat beliau. Demikian nabi-nabi pembantu tidak ada lagi setelah beliau. Siapapun yang mengaku sebagai nabi atau rasul, baik nabi sendiri atau nabi yang menjalankan syari’at Nabi Muhammad saw, maka orang tersebut adalah pembohong dan harus dilawan.
  28. Para nabi itu memiliki 4 sifat mustahil, Sifat Wajib bagi mereka adalah Shiddiq (jujur), amanah (dipercaya),tabligh ( menyampaikan perintah), dan fathanan (cerdas). Sedangkan sifat mustahil bagi mereka adalah khizib (berdusta), khianat, kitman (menyembunyikan perintah), baladah (dungu).
  29. Kaum Muslimin percaya dengan kitab-kitab yang duturunkan Allah kepada rasul-Nya untuk disampaikan kepada umatnya. Kitab-kitab suci yang diturunkan oleh Allah SWT banyak sekali, tetapi yang wajib diketahui terperinci adalah 4, yaitu
    • Kitab Taurat diturunkan kepada Nabi Musa as
    • Kitab Zabur yang diturunkan kepada Nabi Dawud as
    • Kitab Injil diturunkan kepada Nabi Isa as
    • Kitab al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.
  30. Ahlusunnah Wal-Jama’ah meyakini bahwa al-Qur’an yang ada sekarang adalah asli tanpa ada perubahan, pengurangan, dan penambahan. Barang siapa yang meyakini bahwa al-Qur;an sekarang tidak asli telah mengalami perubahan, pengurangan, dan penambahan maka ia telah kufur.
  31. Ahlusunnah Wjal-Jama’ah meyakini bahwa penolakan terhadap nash (teks) al-Qur’an dan nash hadist yang telah diyakini bahwa hal tersebut memang nash al-Qur’an dan hadist adalah kufur.
  32. Seorang hamba tidak akan sampai pada derajat yang dapat menggunakan kewajiban syari’at bagi dirinya.
  33. Kauniyyat (Kosmos)
  34. Kaum Muslimin wajib mempercayai adanya para Malaikat, yaitu makhluk halus yang dicitptakan oleh Allah dari cahaya. Jumlah mereka banyak sekali dan tidak teerhitung. Tetapi yang wajib dipercayai secara terperincin 10, yaitu :
  • Malaikat Jibril , yang bertugas mengantarkan wahyu
  • Malaikat Mikail, yang bertugas mengatur hujan, angin, tanah, kesuburan dan lain-lain
  • Malaikat Israfil, yaitu bertugas mengatur hal-hal akhirat seperti meniup trompet ( sangkakala) sebagai tanda kiamat meniup trompet sebagai tanda bangun kembali di Padang Mahsyar dan lain-lain
  • Malaikat Izrail yaitu bertugas mencabut nyawa ke mana mestinya
  • Malaikat Munkar dan Nakir bertugas menanyai manusia yang sudah mati dalam kubur
  • Malaikat Raqib dan Atid yangb mencatat perbuatan manusia sehari-hari, malaikat Roqib mencatat amal baik, malaikat Atid Mencatat amal buruk
  • Malaikat Malik yang bertugas menjaga Neraka Jahannam yang disebut malaikat Zabaniyah
  • Malaikat Ridwan bertugas menjaga surga
  1. Kaum muslimin harus percaya terhadap adaya Jin, yaitu Makhluk halus yang diciptakan oleh Allah SWT dan api
  2. Kaum Muslimin harus percaya bahwa manusia pertama (Nabi Adam) diciptalan Allah dari tanah liat. Dan manusia sebagai berikutnya
  3. Allah menciptakan manusia sejak manusia pertama (Nabi Adam) dalam bentuk yang sangat sempurna, dan bukan melalui proses evolusi dari kera dan orang utan.

 

  1. Ghaibiyyat (Perkara Ghaib)
  2. Bangkit sesudah mati hanya terjadi satu kali. Manusia pada mulanya tidak ada kemudian lahir ke dunia, lalu sesuah itu mati, dan sesudah itu bangkit kembali (hidup) dan berkumpul di Padang Mahsyar, sesuai dengan ayat al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 28.
    • Pendeknya manusia kalau mati, maka tidak akan hidup lagi walau menyerupai binatang tau apa saja.
    • Manusia akan hidup kembali nanti pada hari kiamat apabila (nafir) terompet telah dibunyikan oleh malaikat israfil.
    • Hal ini berbeda dengan kepercayaan orang-orang syi’ah yang berkeyakinan kembali bahwa sayidina Ali akan hidup kembali pada akhir zaman, lalu sesudah itu hidup kembali di Padang Mahsyar.
  3. Setiap orang muslim wajib mempercayai hari kiamat. Permulaan hari akhir bagi setiap orang adalah sesudah mati, dengan melalui proses dan tahapan sbb :
  • Setiap orang akan mati jika batas usianya sudah habis.
  • Setelah mati, ia akan dikubur. Dalam kubur akan ditanyai oleh malaikat Munkar dan Nakir, tentang siapa Tuhanmu, tentang siapa Nabimu, siapa Imammu dan pertanyaan-pertanyaan lain.
  • Orang yang jahat akan disiksa dalam kubur
  • Kemudian pada saat nanti akan jadi kiamat besar, semua akan hancur lebur, dan semua makhluk di bumi ini akan mati.
  • Kemudian terompet akan dibunyikan sehingga seluruh orang yang mati akan bangun kembali yang berkumpul di Padang Mahsyar.
  • Setelah itu akan ada hisab, yaitu pengitunganpahala dan dosa manusia.
  • Dipadang Mahsya itu akan ada syafa’at (pertolongan) dari Nabi Muhammad atas Izin Allah SWT
  • Lalu ada timbanga untuk menimbangpahala dan dosa
  • Akan ada jembata Shiratal Mustaqim, yang dibentangkan diata neraka dan akan dilewati oleh semua manusia.
  • Akan ada telaga Kautsar, kepunyaan nabi Muhammad saw di dalam surga, dimana orang-orang yang beriman akan dapat minum di sana.
  • Orang yang lulus ujian dengan meniti jembatan tersebut akan selamat dan masuk surgaJannatun Na’im, sedangkan orang yang kafir akanmasuk neraka.
  • Orang yang baik akan lansung masuk surga dan kekal selama-lamanya.
  • Orang kafir akan masuk akan langsungmasuk neraka selama-lamanya
  • Oang mukmin yang berdosa dan mati sebelum bertaubat, akan masuk dalam neraka sementara, dan sesudah dihukum akan dimasukkan ke Surga untuk selama-lamanya.
  • Orang mukmin yang baik-baik akan diberi nikmat apa saja yang ia sukai dalam surg, dan akan diberi nikmat tambahan yang paling besar danpaling lezat yaitu Melihat Allah SWT.
  1. Rizeki semua manusia sudah ditakdirkan oleh Allah SWT pada azal, tidak akan bertambah tidak akan berkurang,tetapi manusi disuruh mencari rizeki dan berusaha,tidak boleh berpangku tangan hanya menunggu saja.
  2. Menurut Allah SWT ajal setiap manusia sudah ada jangkanya menurut Allah SWT, tidak akan maju tidak akan mundur walaupun hanya sedetik. Tetapi manusiadisuruh bertobat oleh Allah SWT kalau sakit, tidak boleh menunggu ketika ajal menjemput.
  3. Anak-anak orang kafir, kalau mati masih kecil akan masuk surga
  4. Do’a orang mukmin akan bermanfaat bagi dirinya dan bagi orang lain yang didoakannya.
  5. Pahala sedekah, wakaf dan pahala bacaan (al-Qur’an, tahlil, shalawat, dan lain-lain) boleh dihadiahkan kepada orang yangsudah mati dan akan sampai kepada mereka kalau dimintakan kepada Allah untuk menyampaikannya.
  6. Ziarah kubur, khususnya kubur orang tua,para ulama, para wali dan orang-orang mati syahid ,apalagi makam Rasullah dan para sahabatnya adalah sunnat hukumnya, kalau dikerjakan akan mendatangkan pahala. Berpergian untuk ziarah kubur termasuk perbuatan ibadah.
  7. Berdoa kepada Allah secara langsung atau berdoa melalui wasilah (bertawassul) adalah sunnat hukumnya, diberi pahala kalau dikerjakan.
  8. Mesjid diseluruh dunia derajatnya sama kecuali 3 buah masjid yang lebih tinggi derajatnya daripada masjid-mesjid yang lain, yaitu Masjid Mekkah,Masjid Nabawi dan Masjid Al-Aqsha di Palestina. Berjalan untuk menunaikan shalat ditiga masjid tersebut adalah ibadah kalau dikerjakan akan mendatangkan pahala.
  9. Seluruh manusia adalah anak cucu Nabi Adam, dan Adam berasal dari tanah. Iblis dan Jin diciptakan dari api ,sedangkan Malaikat diciptakan dari cahaya.
  10. Bumi dan langit itu ada. Barang siapa yang mengatakan bahwa langit tidak ada, maka ia keluar dari lingkungan kaum Ahlussunnah Wal-Jamah.
  11. Pahala yang diberikan Allah kepada orang yang saleh bukan karena Allah terpaksa untuk memberikannya dan bukan pula kewajiban-Nya untuk membalas jasa orang tersebut. Begitu pula hukuman bagi orang yang durhaka, Allah tidak terpaksa untuk menghukum nya dan tidak pula berkewajiban menghukumnya. Allah memberikan pahala kepada manusia karena karunia-Nya dan menghukum karena keadilan-Nya.
  12. Kaum Muslimin wajib meyakini adanya Arasy, yaitu suatu benda yang sangat besar, diciptakan oleh Allah dari Nur, terletak ditempat yang tinggi dan mulia yang tidak diketahui hakikat dan kebenarannya. Hanya Allah yang mengetahuinya.
  13. Wajib meyakini adanya Kursi Tuhan yaitu benda yang diciptakan oleh Allah yang berdekatan dan beriman dengan Arasy. Hakikat keadaannya hanya Allah yang mengetahui. Kita hanya wajib mempercayai adanya.
  14. wajib meyakini adanya Qalam. Yaitu benda yang diciptakan oleh Allah untuk menuliskan sesuatu yang akan terjadi di lauh mahfuzh. Semua yang terjadi di dunia ini sudah ditulis oleh Qalam tersebut terlebih dahulu di Lauh Mahfuzh.

A.  Khilafiyah Antara al­Asy’ari dan al­Maturidi (BIDANG AQIDAH)

Perbedaan pendapat di kalangan kaum muslimin tidak hanya terjadi di antara mazhab Ahlussunah Wal­jama’ah dengan mazhab di luarnya.Namun juga terjadi di antara sesama pengikut mazhab Ahlussunah Wal­jama’ah, yaitu antara al­asy’ari dan al­maturidi. Hanya saja perbedaan yang terjadi antara mazhab al­asy’ari dan al­maturidi ini tidak sampai pada batassaling membid’ahkan atau mengkafirkan antara mazhab yang satu dengan mazhab yang lain. Hal ini merupakan ciri khas Ahlussunah Wal­jama’ah, yang membedakannya dengan mazhab lain, dimana perbedaan pendapat diantara sesama mereka, misalnya sesama aliran mu’tazilah, syi’ah, dan lainnya, sampai pada batas saling membid’ahkan dan mengkafirkan terhadap sesama golongannya.

Tidak ditemukan kata sepakat tentang jumlah masalah­masala khilafiyah antara al­asy’ari dan al­maturidi.Tajuddin al­subkri, al­muqrizi dan al­zabidi menyebukan sekitar sepuluh masalah yang diperselisihkan oleh al­asy’ari dan al­maturidi.Sementara kamaluddin al­bayadhi, menyebutkan ada sekitar 50 masalah yang diperselisihkan oleh al­asy’ari dan al­maturidi.

Sementara syaikh zadah al­hanafi, menyebutkan sebanyak 40 masalah khilafiyah antara dua imam tersebut.

Namun demikian, meskipun terjadi perbedaan yang cukup tajam dalam menetapkan jumlah masalah yang diperdebatkan oleh dua mazhab tersebut, semua pakar tersebut menyatakan bahwa perselisihan yang terjadi antara dua mazhab tadi tidak sampai batas saling mengkafirkan dan membid’ahkan antara keduannya.Hal ini menjadi indikasi yang cukup kuat bahwa karakter perbedaan memang tersebut tidak substansial (jauhari), namun lebih bersifat verbal (syakli).Hal tersebut juga menjadi indikasi bahwa kedua imam Ahlussunah Wal­jama’ah ini, telah bersepakat bahwa pokok­pokok yang menjadi pandangan Ahlussunah Wal­jama’ah secara umum sejak generasi salaf yang saleh.

B.   Beberapa Masalah Khilafiyah antara al­Asy’ari dan al­Maturidi

Berikut ini akan kami uraikan beberapa masalah khilafiyah antara al­Asy’ari dan al­Maturidi, yang dianggap mewakili pandangan­pandangan kedua aliran pemikiran Asy’ariah dan Maturidiyah.

  1. Sifat­Sifat Allah

Al­Asy’ari dan al­Maturidi sama­sama menghadapi gerakan pemikiran Mu’tazilah mengenai sifat­sifat Allah SWT keduanya sama­sama memvonis mu’tazilah telah berupaya menafikkan sifat­sifat Allah.Namun keduannya berbeda dalam menyingkapi sifat­sifat Allah itu sendiri. Di satu pihak al­Asy’ari mengikuti gerakan Mu’tazilah dalam mengklasifikasikan sifat­sifat Allah menjadi dua bagian, yaitu shifat al­dzat(sifat yang menetap pada dzat Allah) dan shifat al fi’li(sifat yang merupakan perbuatan Allah. Hanya saja al­asy’ari berbada dengan Mu’tazilah dalam menetapka jumlah sifat­sifat azaliyah dari pendapat tentang azaliyah al­shifat.Al­asy­ari mendefinisikan shifat al­dzat dengan sesuatu yang Allah SWT mustahil memiliki sifat­sifat kebalikannya seperti sifat iradat, kalam dan semacamnya.

Sedangkan shifat al­fi’li (sifat yang merupakan perbuata Allah) adalah sifat yang tidak memiliki perlawanan.Menurut al­Asy’ari, shifat al­fi­li ini adalah baru (haditsah) bagi Allah, bukan shifat azaliyah (tidak berpermulaan).Dengan demikian, dapat dipahami bahwa al­asy’ari mengikuti jejak mu’tazilah dalam mengklasifikasikan sifat­sifat Allah, dan dalam memaknai shifat al­dzat dan shifat al­fi’li bagi Allah.

Sementara al­maturidi tidak memiliki kecenderungan mengklasifikasi sifat­sifat Allah seperti diatas.Menurut al­maturidi, sifat­sifat Allah, baik yang berupa shifat al­dzat maupun shifat al­fi’li versi al­asy’ari, bagi Allah sama­sama azaliyah (tidak berpermulaan). Al­maturidi jugamengkritik pendapat mu’tazilah yang disetujui oleh al­asy’ari bahwa shifat al­dzat itu adalah sifat yang mana Allah mustahil memiliki sifat kebalikannya, karena menurut al­maturidi, sifat adil (al­’adlu), Allah mustahil memiliki sifat kebalikannya, padahal sifat ini bukan shifat al­dzat, akan tetapi shifat al­fi’li bagi Allah. Dengan demikian, ada perbedaan antara al­asy’ari dan al­maturidi dalam pemaknaan al­dzat.

Al­maturidi juga berbeda dengan al­asy’ari yang mengatakan bahwa shifat al­fi’li itu hadist (baru).Sementara menurut al­maturidi, semua sifat Allah itu azaliyah (tidak berpermulaan), baik yang dikategorikan sebagai shifat al­dzat maupun al­fi’li menurut versi al­asy’ari.

Di sisi lain, ditemukan pula perbedaan antara al­Asy’ari dan al­Maturidi dalam memberikan perhatian apakah sifat Allah itu termasuk Dzat Allah atau bukan. Kita dapati al­maturidi lebih memperhatikan dalam upaya menetapkan sifat­sifat tersebut dan menjelaskan maknanya secara kongkrit.Dan tentu saja, tujuannya adalah untuk menafikkan ta’thil (menghapus sifat­sifat Allah dari dzat Allah seperti yang dilakukan oleh mu’tazilah).Sementara al­asy’ari sangat perhatian untuk menetapkan bahwa sifat­sifat Allah itu adalah sesuatu yang lebih atas dzat Allah dan bukan dzat Allah (zaidatun ‘ala al­dzat wa ghair al­dzat).

Al­maturidi juga berpendapat bahwa shifat al­takwin (menciptakan) adalah qadimah (tidak berpermulaan).Menurutnya, al­takwin itu bukan objek yang diciptakan yang bersifat baru (al­mukawwan al­hafist.Sementara menurut al­asy’ari al­takwin (penciptaan) adalah hakikat al­mukawwan (objek yang diciptakan) itu sendiri, dan keduannya sama­sama hadist (baru). Al­maturidi juga berpendapat bahwa firman Allah yang berupa kun(jadilah) kepada sesuatu yang dicipatakannya, adalah bukan perkataan Allah yang sesungguhnya. Menurut al­maturidi kuntersebut hanyalah kata kiasan (ungkapan majaz) dari kecepatan Allah dalam penciptaan.Sementara menurut al­asy’ari, kunadalah perkataan Allah yang sesungguhnya, bukan ungkapan dalam bentuk kiasan (majaz).

Al­maturidi juga berbeda pendapat tentang pendengaran Nabi Musa terhadap kalam Allah.menurut Al­maturidi, pendengaran musa terhadap kalam Allah sebenarnya terjadi melalui perantara suara yang diciptakan oleh Allah sebelum diciptakannya Musa dan suara itu memang khusus untuk nabi musa. Sementara menurut al­Asy’ari, nabi musa mendengar kalam Allah tanpa melalui perantara.

Begitu juga al­Asy’ari berbeda dengan Al­maturidi dalam metode penetapan ru’yat Allah (penglihatan terhadap Allah kelak di akhirat).menurut al­Asy’ari, terdapat dalil­dalil rasional (‘aqli) yang menetapkan kemungkinan melihat Allah kelak, yaitu bahwa segala sesuatu yang ada mungkin saja dilihat. Sementara Al­maturidi lebih berdasar terhadap dalil­dalil sam’iyyah (al­qur’an dan hadist) mengenai mungkinnya melihat Allah.Al­maturidi tidak menyebutkan dalil­dalil rasional dalam masalah ini.

Dalil rasional yang diajukan oleh al­Asy’ari mengenai melihat Allah memang dapat diterima dikalangan sebagian pengikut Al­maturidi seperti al­Bazdawi.Akan tetapi dalil tersebut juga menghadapi sanggahan dari sebagian pengikut al­Asy’ari sendiri.Al­Imam fakhruddin al­Razi misalnya, menganggap dalil rasional tersebut sangat lemah al­Razi lebih memilih dalil­dalil sam’iyyah dalam menetapkan mungkinnya melihat Allah kelak di akhirat.

Dalam menyingkapi sifat­sifat khabariyyah (sifat­sifat Allah yang terdapat didalam Al­Qur’an dan Hadist),kitadapatial­Asy’aridanAl­maturidisama­samamenetapkannyatanpakaifiyyah(suatu proses).AkantetapibisadikatakanbahwaAl­maturiditelahmelangkahlebihjauhdari pada al­Asy’ari dalam kecenderungan terhadap ta’wil rasional yang dapat menafikan tempat dan tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk­Nya). Meskipun Al­maturidi tidak memastikan penta’wilannya dengan suatu makna yang definitif, karena tidak menutup kemungkinan adanya makna lain yang dikehendaki oleh Allah. Sementara al­Asy’ari menerima apa yang terdapat dalam Al­Qur’an dan menolak semua macam ta’wil seperti mengatakan bahwa Allah ber­istiwa’ atas ‘Arasy.

Sementara para pengikut al­Asy’ari sendiri sesudahnya, lebih cenderung mengikuti pendekatan ta’wil, meskipun pendekatan ini berbeda dengan pendekatan ta’wil versi Mu’tazilah.

Al-Asy’ari dan Al-Maturidi juga berbeda pendapat seputar perbuatn Allah. Al-Asy’ari mengatakan bahwa Allah itu Maha memiliki (al-malik) dan Maha Kuasa (al-qahir), diatas-Nya tidak ada siapapun yang dapat memerintahkan –Nya dan tidak ada pula orang yang dapat membuat peraturan bagi allah , karena itu tidaklah dianggap buruk bagi allah untuk melakukan apa saja. Berangkat dari pandangan ini , Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah boleh tidak menepati janjinya. Karena ketika Allah tidak menepati janji-Nya , hal ini tidak dianggap buruk bagi-Nya, karena tidak menepati janji itu dianggap buruk apabila Allah memang menganggap demikian . Karena itu, menurut Al-Asy’ari ,secara rasional Allah itu boleh memaafkan orang kafir atas kekufurannya, meskipun secara syar’i hal ini tidak mungkin terjadi,sesuai dengan firman Allah dalam al-Qur’an bahwa dia tidak akan memaafkan orang kafir. Demikian pula, menurut Al-Asy’ari secara rasional Allah itu boleh menyiksa hamba -Nya yang taat kepada-Nya meskipun secara syar’i hal ini tidak mungkin terjadi.

Sementara menurut Al-Maturidi perbuatan Allah itu tidak mungkin keluar dari hikmah.Allah tidak mungkin melakukan sesuatu yang tercela atau dianggap buruk.Semua perbuatan Allah tidak lepas dari hikmah (kebijakan) meskipun kita tidak dapat menangkapnya. Akan tetapi allah itu memang tidak wajib melakukan apapun. Menurut Al-Maturidi Allah tidak boleh tidak menepati ancamannya terhadap orang kafir, karena memaafkan orang kafir tidak proposional, karena ia telah mengngkari terhadap Allah yang telah memberikan nikmat kepadanya.

  1. Dalil Ma’rifat Kepada Allah

Al-Asy’ari dan Al-Maturidi berbeda pendapat mengenai dalil ma’rifat kepada Allah, apakah ma’rifat itu wajib berdasarkan dalil rasional saja atau berdasarkan dalil syar’I ? Al-Syahrastani menyebutkan bahwa Al-Asy’ri membedakan antara bagaimana ma’rifat itu dapat dicapai dan dalil apa yang melandasi wajibnya ma’rifat kita kepada allah. Menurut Al-Asy’ari semua keyakinan termasuk ma’rifat kepada allah, hanya dapat dicapai melalui proses dalil aqli. Tetapi ma’rifat itu wajib ketika ada dalil sam’i (al-qur’an dan hadits) yang mewajibkannya.Sementara menurut al-Maturidi ma’rifat itu wajib berdasarkan dalil aqli.Menurut Al-Maturidi tanpa dalil syar’I-pun manusia tetap berkawajiban ma’rifat kepada allah.

  1. Mewajibkan sesuatu yang tidak mampu dilakukan

Al-asy’ari dan Al-Maturidi berbeda pendapat mengenai bolehkah allah mewajibakan sesuatu yang tidak mampu dikerjakan (al-taklil bi ma la yuthaq ) oleh hamba-Nya. Menurut Al-Asy’ari Allah tidak boleh mewajibkan sesuatu yang tidak mampu dilakukan oleh hamba-Nya berdasarkan firman allah :

أَنبِئُونِي بِأَسْمَاء هَـؤُلاء إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ

“Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!”( QS Al Baqarah : 31 )

Menurut Al-Alsy’ari ayat diatas memrintahkan para malaikat agar menjelskan nama-nama makhluk ,padahal mereka tidak mengetahuinya dan tidak akan mampu melakukannya. Hal terrsebut berarti memerintahkan sesuatu yang tidak mampu mereka lakukan. Selain dalil tersebut Al-Asy’ari juga menjelaskan dalil-dalil lain bagi teori tersebut dalam kitabnya al-luma’ fial Rada’ ala ahl al-zaigh wa al-bidri.

Sementara al-Matridi berpendapat sebaliknya ,Menurutnya Allah tidak mungkin mewajibkan sesuatu yang tidak mampu dikerjakan oleh hamba-Nya. Hal ini akan menjadi kenyataan ketika seorang hamba melakukan sesuatu berdasarkan pilihannya, sehingga ia akan mendapatkan pahala ketika melakukannya dan memperoleh siksa ketika meninggalkannya. Sedangkan ketika seorang hamba berada pada kondisi tidak mungkin melakukan sesuatu berarti ia memang dipaksa untuk tidak melakukannya dan ia pun dimaafkan untuk tidak melakukannya. Dalam kondisi tersebut ujian memilih salah satunya tidak menjadi kenyataan.

  1. Teori al-Kasb

Al-Asy’ari dan al-Maturidi bersepakat bahwa semua perbuatan manusia adalah ciptaan Allah ,tetapi manusia yang melakukannnya. Perbedaan pendapat al-Asy’ari dan al-Maturidi dalam masalah ini sangat tipis sekali karena keduanya memang bersepakat dalam banyak hal yang berkaitan dengan perbuatan masusia (al-kash) seperti adanya qudrat Allah bersamaan perbuatan manusia dan ketidakpantasan qudrat terhadap dua hal yang saling berlawanan.Dalam memarkan teori al-kash, al-Asy’ari berpendapat begini, bahwa semua perbuatan ikhtiar manusia terjadi berdasarkan qudrat Allah saja.Menurutnya, perbuatan manusia itu terjadi sesuai ciptaan Allah, tetapi dilakukan oleh manusia.Yang dimaksud dilakukan oleh manusia tersebut adalah perbuatan manusia itu bersamaan dengan qudrat dan iradat Allah tanpa da pengaruh dan investasi dalam terjadinnya perbuatan itu sendiri.Manusia hanyalah tempat terjadinya perbuatan itu. Dari sini , tampaknya al-Asy’ari memang mengakui adanya qudrat ( kemampuan ) manusia tetapi dianggapnya tidak punya andil dalam terjadinya perbuatan nya. Pendapat ini oleh sebagian kalangan dianggap mengarah kepada faham Jabariyah.

Pendapat al-Asy’ari ini mendorong para pengikutnya sesudahnya untuk memperluas dalam mengkaji pengaruh kemampuan manusia.Al-Ustadz Abu Ishaq al-Asfarayanu misalnya berpandangan bahwa perbuatan manusia itu terjadi melalui dua pengaruh dua qudrat ssecara bersamaan yaitu qudrat Allah dan kemampuan manusia yang keduanya memang berkaitan dengan terjadinya perbuatan tersebut. Sementaratetapi Jabariah Mutawasithoh (moderat),bukan Jabariyah Chulat (eksterm) atau Jahamiyah,sebagaimana telah ditegaskan oleh al-Syarif al-Jurjani dalam al-Ta’rifat. Sebagian orang Wahhabi dan Hizbut Tahrir yang tidak memahami perbedaan konsep al-Asy’ari dan Jabariyah menganggap madzhab al-Asy’ari sebagai pengikut Jabariyah. Lihat uraian Sultan al-‘Ulama’ al-Tzz bin Abdissalam dalam kitabnya, al-Mu’hah fi Ftiqad Ahl al-Haqq tentang masalah ini.

Al-Baqillani berpandangan lain. Menurutnya qudrat Allah berkaitan dengan pokok perbuatan itu.Sedangkan kemampuan (qudrat) manusia berkaitan dengan status perbuatan tersebut apakah bisa dikategirikan sebagai perbuatan taat sehingga pelakunya mendapatkan pahala atau dikategorikan sebagai perbuatan maksiat sehingga pelakunya mendapatkan siksa.

Sementara menurut al-Maturidi, kemampuan manusialah yang membuahkan perbuatan .adanya kemampuan menyebabkan perbuatan yang menjadi tujuannya. Dari sini tampak sekali bahwa menurut al-Maturidi kemampuan manusia memiliki pengaruh terhadap perbuatannya , akan tetapi pengaruh ini tidak berlaku dalam hal mewujudkan dan menciptakan perbuatan tersebut. Karena menurutnya mewujudkan dan menciptakan hanya sifat yang dimiliki oleh Allah.Kemampuan manusia hanya tergambar dalam rencana dari pilihanya untuk berbuat sesuatu .menurut al-Maturidi pada prinsipnya manusia itu memiliki perbuatan dan pilihan. Manusia juga memilih dan mencintai apa yang diperbuatnya. Berdasarkan pilihan dan rencana itulah Allah menciptakan kemampuan untuk berbuat dari perbuatan tersebut sekaligus menjadi hasil hasil dari pilihan dan rencananya.Sehingga menurut nya walaupun perbuatan manusia itu ciptaan Allah, tetap tidak menafikan adanya pilihan dirinya terhadap perbuatan itu .menurut al-Maturidi ciptaan Allah tidak mendorong dan memaksanya untuk berbuat sesuatu.Dengan pandangan ini al-Maturidi telah membuka kran yang lebih besar bagi pengaruh kemampuan manusia atas perbuatannya.Karena menurutnya tidak mungkin kemampuan manusia berkaitan dengan perbuatannya tanpa adanya pengaruh mempengaruhi antara keduanya. Sementara menurut al-Asy’ari perbuatan manusia tidak berpengaruh sama sekali dalam mewujudkan dan menciptakan perbuatannya.

  1. Iman

Al-Asy’ari dan al-Maturidi berbeda pendapat dalam beberapa hal yang berkaitan dengan iman.Misalnya dalam social ististna’ (mengucapkan insya Allah) dalam iman, al-Asy’ari mengatakan boleh. Maksudnya, menurut al-Asy’ari dan ahli hadits ,seorang mukmin boleh mengatakan “saya seorang yang beriman insya Allah”. Sementara menurut al-Maturidi ,istitsna’ dalam iman adalah tidak boleh. Al-Asy’ari juga berpendapat bahwa iman dan islam memiliki obyek makna yang berbeda. Sedangkan menurut al-Maturidi, iman dan islam memiliki suatu obyek makna yang sama.

  1. Kebahagiaan dan Kesengsaraan

Al-asy’ari berpendapat bahwa kebahagiaan (sa’adah) dan kesengsaraan (syaqawah) tidak mungkin berubah.Orang yang bahagia adalah orang yang telah ditetapkan bahagia sejak ketika masih dalam rahim ibunya.Demikian pula orang yang sengsara adalah orang yang ditetapkan sengsara sejak ketika masih dalam Rahim ibunya. Seorang yang dtetapkan bahagia tidak akanberubah menjadi sengsara. Dan demikian pula sebaliknya.

Sedangkan al-Maturidi berpandangan sebaliknya, menurut al-Maturidi kebahagiaan dan kesengsaraan dapat berubah , karena keduanya termasuk perbuatan manusia. Perubahan kebahagiaan dan kesengsaraan bukan mengubah apa yang telah tercatat dalam lauh mahfuzh.

Beberapa uraian diatas adalah beberapa masalah khilafiyah antara al-Imam al-Asy’ari dan al-Imam al-Maturidi. Dari pengamatan yang seksama terhadap perselisihan diatas , dapat diketahui karakter perselisihan yang sebenarnya dan bahwa perselisihan tersebut tidak menyentuh prinsip-prinsip pokok yang diakui oleh kedua imam Ahlussunnah Wal-Jama’ah tersebut. perselisihan antara kedua imam tersebut lebih menyentuh sebagian persoalan cabang dan rincian dalam akidah.

Hanya saja meskipun antara kedua madzhab besar ini terjadi banyak perselisihan pendapat bisa dikatakan bahwa aspek keserupaan antara keduanya cukup besar. Hal ini tersebut kembali pada kesamaan metode kedua madzhab yang bertemu dalam suatu muara paradima pemikiran yaitu sikap moderat (tawasuth) dalam upaya mengambil jalan tengah antatra akal dan naql. Memang kedua aliran ini berbeda dalam usaha untuk merealisasikan tujuannya, sehingga membawa perselisihan pandangan dalam beberapa masalah cabang dan rincian akidah. Tetapi masing-masing pihak menganggap kapasitas perselisihan diantara mereka ringan dan tidak membawa efek pengkafiran dan pembid’ahan terhadap pihak lain.

 

  1. Karakteristik Ahlusunnah Waljamaah dalam bidang Fiqh

Mazhab ini terdiri atas 4 (empat) mazhab populer yang masih utuh sampai sekarang, yaitu sebagai berikut:

1.2.1 Mazhab Hanafi

Pemikiran fiqh dari mazhab ini diawali oleh Imam Abu Hanifah.Ia dikenal sebagai imam Ahlurra’yi serta faqih dari Irak yang banyak dikunjungi oleh berbagai ulama di zamannya. Mazhab Hanafi dikenal banyak menggunakan ra’yu, qiyas, dan istihsan. Dalam memperoleh suatu hukum yang tidak ada dalam nash, kadang-kadang ulama mazhab ini meninggalkan qaidah qiyas dan menggunakan qaidah istihsan. Alasannya, qaidah umum (qiyas) tidak bisa diterapkan dalam menghadapi kasus tertentu.Mereka dapat mendahulukan qiyas apabila suatu hadits mereka nilai sebagai hadits ahad.

Yang menjadi pedoman dalam menetapkan hukum Islam (fiqh) di kalangan Mazhab Hanafi adalah Al-Qur’an, sunnah Nabi SAW, fatwa sahabat, qiyas, istihsan, ijma’i. Sumber asli dan utama yang digunakan adalah Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW, sedangkan yang lainnya merupakan dalil dan metode dalam meng-istinbat-kan hukum Islam dari kedua sumber tersebut.

Tidak ditemukan catatan sejarah yang menunjukkan bahwa Imam Abu Hanifah menulis sebuah buku fiqh.Akan tetapi pendapatnya masih bisa dilacak secara utuh, sebab muridnya berupaya untuk menyebarluaskan prinsipnya, baik secara lisan maupun tulisan. Berbagai pendapat Abu Hanifah telah dibukukan oleh muridnya, antara lain Muhammad bin Hasan asy-Syaibani dengan judul Zahir ar-Riwayah dan an-Nawadir. Buku Zahir ar-Riwayah ini terdiri atas 6 (enam) bagian, yaitu:

  • Bagian pertama diberi nama al-Mabsut;
  • Bagian kedua al-Jami’ al-Kabir;
  • Bagian ketiga al-Jami’ as-Sagir;
  • Bagian keempat as-Siyar al-Kabir;
  • Bagian kelima as-Siyar as-Sagir; dan
  • Bagian keenam az-Ziyadah.

Keenam bagian ini ditemukan secara utuh dalam kitab al-Kafi yang disusun oleh Abi al-Fadi Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Maruzi (w. 344 H.). Kemudian pada abad ke-5 H. muncul Imam as-Sarakhsi yang mensyarah al-Kafi tersebut dan diberi judul al-Mabsut.Al-Mabsut inilah yang dianggap sebagai kitab induk dalam Mazhab Hanafi.

Disamping itu, Mazhab Hanafi juga dilestarikan oleh murid Imam Abu Hanifah lainnya, yaitu Imam Abu Yusuf yang dikenal juga sebagai peletak dasar usul fiqh Mazhab Hanafi. Ia antara lain menuliskannya dalam kitabnya al-Kharaj, Ikhtilaf Abu Hanifah wa Ibn Abi Laila, dan kitab-kitab lainnya yang tidak dijumpai lagi saat ini.

Ajaran Imam Abu Hanifah ini juga dilestarikan oleh Zufar bin Hudail bin Qais al-Kufi (110-158 H.) dan Ibnu al-Lulu (w. 204 H). Zufar bin Hudail semula termasuk salah seorang ulama Ahlulhadits. Berkat ajaran yang ditimbanya dari Imam Abu Hanifah langsung, ia kemudian terkenal sebagai salah seorang tokoh fiqh Mazhab Hanafi yang banyak sekali menggunakan qiyas. Sedangkan Ibnu al-Lulu juga salah seorang ulama Mazhab Hanafi yang secara langsung belajar kepada Imam Abu Hanifah, kemudian ke pada Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani.

1.2.2 Mazhab Maliki.

Pemikiran fiqh mazhab ini diawali oleh Imam Malik.Ia dikenal luas oleh ulama sezamannya sebagai seorang ahli hadits dan fiqh terkemuka serta tokoh Ahlulhadits. Pemikiran fiqh dan usul fiqh Imam Malik dapat dilihat dalam kitabnya al-Muwaththa’ yang disusunnya atas permintaan Khalifah Harun ar-Rasyid dan baru selesai di zaman Khalifah al-Ma’mun. Kitab ini sebenarnya merupakan kitab hadits, tetapi karena disusun dengan sistematika fiqh dan uraian di dalamnya juga mengandung pemikiran fiqh Imam Malik dan metode istinbat-nya, maka buku ini juga disebut oleh ulama hadits dan fiqh belakangan sebagai kitab fiqh. Berkat buku ini, Mazhab Maliki dapat lestari di tangan murid-muridnya sampai sekarang.

Prinsip dasar Mazhab Maliki ditulis oleh para murid Imam Malik berdasarkan berbagai isyarat yang mereka temukan dalam al-Muwaththa’. Dasar Mazhab Maliki adalah Al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, Ijma’, Tradisi penduduk Madinah (statusnya sama dengan sunnah menurut mereka), Qiyas, Fatwa Sahabat, al-Maslahah al-Mursalah, ’Urf; Istihsan, Istishab, Sadd az-Zari’ah, dan Syar’u Man Qablana. Pernyataan ini dapat dijumpai dalam kitab al-Furuq yang disusun oleh Imam al-Qarafi (tokoh fiqh Mazhab Maliki).Imam asy-Syatibi menyederhanakan dasar fiqh Mazhab Maliki tersebut dalam empat hal, yaitu Al-Qur’ an, sunnah Nabi SAW, ijma’, dan rasio. Alasannya adalah karena menurut Imam Malik, fatwa sahabat dan tradisi penduduk Madinah di zamannya adalah bagian dari sunnah Nabi SAW. Yang termasuk rasio adalah al-Maslahah al-Mursalah, Sadd az-Zari’ah, Istihsan, ’Urf; dan Istishab.Menurut para ahli usul fiqh, qiyas jarang sekali digunakan Mazhab Maliki.Bahkan mereka lebih mendahulukan tradisi penduduk Madinah daripada qiyas.

Para murid Imam Malik yang besar andilnya dalam menyebarluaskan Mazhab Maliki diantaranya adalah Abu Abdillah Abdurrahman bin Kasim (w. 191 H.) yang dikenal sebagai murid terdekat Imam Malik dan belajar pada Imam Malik selama 20 tahun, Abu Muhammad Abdullah bin Wahab bin Muslim (w. 197 H.) yang sezaman dengan Imam Malik, dan Asyhab bin Abdul Aziz al-Kaisy (w. 204 H.) serta Abu Muhammad Abdullah bin Abdul Hakam al-Misri (w. 214 H.) dari Mesir. Pengembang mazhab ini pada generasi berikutnya antara lain Muhammad bin Abdillah bin Abdul Hakam (w. 268 H.) dan Muhammad bin Ibrahim al-Iskandari bin Ziyad yang lebih populer dengan nama Ibnu al-Mawwaz (w. 296 H.).

Disamping itu, ada pula murid-murid Imam Malik lainnya yang datang dari Tunis, Irak, Hedjzaz, dan Basra.Disamping itu Mazhab Maliki juga banyak dipelajari oleh mereka yang berasal dari Afrika dan Spanyol, sehingga mazhab ini juga berkembang di dua wilayah tersebut.

1.2.3 Mazhab Syafi’i

Pemikiran fiqh mazhab ini diawali oleh Imam asy-Syafi’i. Keunggulan Imam asy-Syafi’i sebagai ulama fiqh, usul fiqh, dan hadits di zamannya diakui sendiri oleh ulama sezamannya. Sebagai orang yang hidup di zaman meruncingnya pertentangan antara aliran Ahlulhadits dan Ahlurra ’yi, Imam asy-Syafi ’i berupaya untuk mendekatkan pandangan kedua aliran ini. Karenanya, ia belajar kepada Imam Malik sebagai tokoh Ahlulhadits dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani sebagai tokoh Ahlurra’yi.

Prinsip dasar Mazhab Syafi’i dapat dilihat dalam kitab usul fiqh ar-Risalah.Dalam buku ini asy-Syafi’i menjelaskan kerangka dan prinsip mazhabnya serta beberapa contoh merumuskan hukum far’iyyah (yang bersifat cabang).Dalam menetapkan hukum Islam, Imam asy-Syafi’i pertama sekali mencari alasannya dari Al-Qur’an. Jika tidak ditemukan maka ia merujuk kepada sunnah Rasulullah SAW. Apabila dalam kedua sumber hukum Islam itu tidak ditemukan jawabannya, ia melakukan penelitian terhadap ijma’ sahabat.Ijma’ yang diterima Imam asy-Syafi’i sebagai landasan hukum hanya ijma’ para sahabat, bukan ijma’ seperti yang dirumuskan ulama usul fiqh, yaitu kesepakatan seluruh mujtahid pada masa tertentu terhadap suatu hukum, karena menurutnya ijma’ seperti ini tidak mungkin terjadi. Apabila dalam ijma’ tidakjuga ditemukan hukumnya, maka ia menggunakan qiyas, yang dalam ar-Risalah disebutnya sebagai ijtihad. Akan tetapi, pemakaian qiyas bagi Imam asy-Syafi ’i tidak seluas yang digunakan Imam Abu Hanifah, sehingga ia menolak istihsan sebagai salah satu cara meng-istinbat-kan hukum syara’

Penyebarluasan pemikiran Mazhab Syafi’i berbeda dengan Mazhab Hanafi dan Maliki.Diawali melalui kitab usul fiqhnya ar-Risalah dan kitab fiqhnya al-Umm, pokok pikiran dan prinsip dasar Mazhab Syafi ’i ini kemudian disebarluaskan dan dikembangkan oleh para muridnya. Tiga orang murid Imam asy-Syafi ’i yang terkemuka sebagai penyebar luas dan pengembang Mazhab Syafi’i adalah Yusuf bin Yahya al-Buwaiti (w. 231 H./846 M.), ulama besar Mesir; Abi Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzani (w. 264 H./878 M.), yang diakui oleh Imam asy-Syafi ’i sebagai pendukung kuat mazhabnya; dan ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi (w. 270 H.), yang besar jasanya dalam penyebarluasan kedua kitab Imam asy-Syafi ’i tersebut.

1.2.4 Mazhab Hanbali

Pemikiran Mazhab Hanbali diawali oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Ia terkenal sebagai ulama fiqh dan hadits terkemuka di zamannya dan pernah belajar fiqh Ahlurra’yi kepada Imam Abu Yusuf dan Imam asy-Syafi’i. Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziah, prinsip dasar Mazhab Hanbali adalah sebagai berikut:

  1. An-Nusus (jamak dari nash), yaitu Al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, dan Ijma’;
  2. Fatwa Sahabat;
  3. Jika terdapat perbedaan pendapat para sahabat dalam menentukan hukum yang dibahas, maka akan dipilih pendapat yang lebih dekat dengan Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW;
  4. Hadits mursal atau hadits daif yang didukung oleh qiyas dan tidak bertentangan dengan ijma’; dan
  5. Apabila dalam keempat dalil di atas tidak dijumpai,akan digunakan qiyas. Penggunaan qiyas bagi Imam Ahmad bin Hanbal hanya dalam keadaan yang amat terpaksa. Prinsip dasar Mazhab Hanbali ini dapat dilihat dalam kitab hadits Musnad Ahmad ibn Hanbal. Kemudian dalam perkembangan Mazhab Hanbali pada generasi berikutnya, mazhab ini juga menerima istihsan, sadd az-Zari’ah, ’urf; istishab, dan al-maslahah al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum Islam.

Para pengembang Mazhab Hanbali generasi awal (sesudah Imam Ahmad bin Hanbal) diantaranya adalah al-Asram Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Hani al-Khurasani al-Bagdadi (w. 273 H.), Ahmad bin Muhammad bin al-Hajjaj al-Masruzi (w. 275 H.), Abu Ishaq Ibrahim al-Harbi (w. 285 H.), dan Abu al-Qasim Umar bin Abi Ali al-Husain al-Khiraqi al-Bagdadi (w. 324 H.). Keempat ulama besar Mazhab Hanbali ini merupakan murid langsung Imam Ahmad bin Hanbal, dan masing-masing menyusun buku fiqh sesuai dengan prinsip dasar Mazhab Hanbali di atas.

Tokoh lain yang berperan dalam menyebarluaskan dan mengembangkan Mazhab Hanbali adalah Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziah. Sekalipun kedua ulama ini tidak selamanya setuju dengan pendapat fiqh Imam Ahmad bin Hanbal, mereka dikenal sebagai pengembang dan pembaru Mazhab Hanbali. Disamping itu, jasa Muhammad bin Abdul Wahhab dalam pengembangan dan penyebarluasan Mazhab Hanbali juga sangat besar. Pada zamannya, Mazhab Hanbali menjadi mazhab resmi Kerajaan Arab Saudi.

1.3 Bidang Tassawuf

  • Riwayat Hidup Al Ghazali

Al Ghazali merupakan ulama besar dalam bidang agama. Ulama yang banyak menghasilkan karya ini bernama Abu Muhammad Al Ghazali, dilahirkan di kota Thur, Khurasan yaitu daerah Persia pada tahun 450 H/1085 M. Al Ghazali juga terkenal dengan istilah Ghazzali yang berarti tukang pintal benang, karena pekerjaan orang tuanya adalah memintal benang dari wol [3] .Olehayahnya, Al Ghazali bersama saudranya dititipkan kepada seorang ulama tasawuf guna mendidiknya ketika kecil. Sedangkan untuk mencari ilmu-ilmu yang lain, beliau belajar dari satu tempat ke tempat lain. Di Jurjan, beliau mempelajari ilmu fikih dan bahasa arab. Kemudian di kota Nisabur, dekat thus. Disini beliau belajar dari Imam Al Haramain (Al Juwaini) yang mengajar berbagai Ilmu pengetahuan. Dengan tekun beliau memperdalam berbagai ilmuseperti logika, ilmu kalam, dan ilmu-ilmu yang lain. Setelah itu beliau pindah ke kota bagdad yang kemudian dikota inilah beliaumulai mengajarkan ilmu yang telahdikuasainya. Sekian lama mengajarkan ilmunya, Al Ghazali mulai mashur dan semakin banyakorang yang tertarik.Kemashuran beliau akhirnya didengar juga olehNizham Al Mulk yang saat itu berada di bawah dinasti sultan Saljuk.Maka diangkatlah Imam Ghazali sebagai guru besar pada Universitas yang dimiliki oleh Nizham Al Mulk.

Kemudian kedudukannya sebagai pejabat tinggi dalam pemerintahan kemashurannya telah mempengaruhi jiwanya akancinta kepada kebendaan, mengharap penghormatan, kemewahan dan harta benda.Tetapi pengaruh yang demikian itu tidak lama mempengaruhi jiwanya.Lalu timbul pergolakan-pergolakan didalam hatinya yang menyebabkan beliau sakit. Ketika dokter hendak menolongnya ia berkata bahwa penyakitnya sukar disembuhkan karena penyakit beliau bukan berasal dari luar, akan tetapi berasal daridalam. Oleh karena itu segala obat untuk perbaikan kondisi fisikAl Ghazali tidak mebawa manfaat sama sekali

Oleh karena itu beliau mencoba mengobati penyakitnya dengan kekuatan jiwanya sendiri.Diobatinya penyakitnya dengan memohon pertolongan dari Allah SWT, memohon bantuan dan pertolongan agar di sembuhkannya.Akhirnya berkat anugrah yang diberikan Allah penyakinyapun sembuh, bahkan beliau mendapat ilham dan petunjuk darinya.Hatinya menjaditenang, sikapnya menjadi tabah serta memperoleh kepastian tentang ilmu.Sejak itu beliau mulai berani meninggalkan segala kemewahan harta kekayaan, kehormatanan dan keluarga yangada di Bagdad.Kemudian beliau mulai mengembara ke Suriah padatahun 489H.sebelum pergi beliau mewakafkan segala harta kekayaannya yang beliau peroleh di Bagdad. Dan dalam pengembaraannya itu Al Ghazali pernah mengembara di Damaskus selama 11 tahun.
Di kota Damaskus inilah beliau mula-mula melakukan pertobatannya dengan melakukian kholwat I’tikaf, mensucikan diri membersihkan akhlaq dan budi pekerti dan selaluberfikir akan Allah SWT. Selain itu Al Ghazali pernah juga menetap diYerussalem disini beliau banyak berkholwat di masjid baitul Maqdis, perjalanan beliaupun sampai pada Mesir hingga Makkahdan Madinah untuk melakukan ibadah Haji.

Pada masa pengembaraannya, Al Ghazali sesekali pulang ke Bagdad guna menjenguk keluarganya, tradisi semacam ini beliau lakukan secara terus menerus selama dalam pengembaraan. Dan setelahsekian lama melaksanakan pengembaraan, akhirnya Al Ghazali pun kembali lagi ke kampung halaman di Bagdad, sekali lagi perdana mentri Nizam AlMulk meminta Al Ghazali untuk menjadi guru esar lagi pada Universitas Nizhamiyah pada tahun 500 H/1106 M.
Beliau termasuk seorang tokoh yang disukai oleh orang-orang nasrani disebabkan karena beliau dianggap sebagai seorang muslim yang paling sehat dengan orang kristen [5] . Beliau termasuk orangyang menyelami ilmu sangat dalamdan menegakkan ibadah, pada tanggal 15 desember 1111 M/ 505H ia wafat.

  • Latar Belakang Tasawuf AlGhazali

Pada masa ia menjadi mahasiswa, Al Ghazali sangat mendambakam mencari ilmu pengetahuan yang mutlaq benar artinya pengetahuan yang pasti dan tidak bisa salah juga tidak diragukan sedikitpun. Maka Imam Al Ghazali mulai melakukan penelitiannya pada filsafat guna meneliti barangkali kebenaran mutlaq berada dalam disiplin ini.Dengan membaca tulisan-tulisan berbagai macam cabang filsafat tanpa guru seorangpun, Al Ghazalitelah mampu menguasai ilmu filsafat dalam waktu yang sangat singkat. Kemudian dari pembacaannya itu, hampir satu tahun ia lalui untuk merenungkan apa yang telah dipadukannya hingga ia paham mana yang benardan mana yang salah [6] .Ia membagi filosof dalam tiga golongan yaitu, materialis (dahriyyuun), naturalis (thabi’iyyuun), dan theis (ilahiyyuun). Kelompok materialis terdiri dari filosof awal, menyangkal pencipta dan pengatur dunia dan yakin bahwa dunia itu telah ada dengan sendirinya sejak dahulu, dan Al Ghazali selalu mengganggap mereka tidak beragama. Sedangkan kelompok naturalis terpesona dengan keindahan serta keajaiban penciptaan dan sadar akan maksud yang berkelanjutan dan kebijaksanaan dalam rencana segala sesuatunya,mereka mengakui suatu eksistensipencipta bijaksana, tetapi merekamenyangkal kerohanian dan keniscayaan jiwa manusia. Kepercayaan kepada surga, neraka dan hari akhir mereka anggap sebagai dongeng nenek moyang atau khayalan para ulama.Dan kemudian golongan theis, kaum ini tergolong kepada para filsuf yang lebih modern seperti Socrates, Plato dan Aristoteles.Meski mereka menyerang golongan materialis dan Naturalis dan menelanjangi mereka dengan efektif sekali, Al Ghazali masih menganggap mereka kafir dan menggunakan faham bid’ah.

Karena tidak puas dengan filsafat,Akhirnya Al Ghazali beralih ke jalan tasawuf, karena dia yakin bahwa para sufi dan orang-orangpencari kebenaran yang betul-betul mencapai tujuan. Pendekatan Al Ghazali dengan jalan ini adalah melalui pendekatan intelektual.Seperti dikatakannya sendiri, “pengetahuan itu lebih mudah daripada kegiatan”.Aku memulai dengan membaca buku-buku mereka dan mendapatkan pemahaman intelektual yang menyeluruh tentang prinsip-prinsip mereka. Ia menyadari bahwa para sufi bukanlah orang yang suka kata-kata ( Ashab Al Aqwal ) tetapi orang yang nyata berpengalaman ( Arhab Al Ahwal ),dan yang perlu ia lakukan ialah menghayati hidup berlatih dan mengesampingkan dunia. Kemudiania merasa bahwa yang paling utama dalam prinsip-prinsip itu hanya bisa dicapai lewat pengalaman pribadi, luapan gairahdan suatu perubahan watak.

Setelah menganut tasawuf, Al Ghazali mengabdikan dirinya dengan melakukan latihan-latihan sufi dengan menyepi dan menyendiri ( Riyadhoh ). Dia menyibukkan diri untuk memurnikan jiwanya dari kekejian,memperindahnya dengan kebajikan-kebajikan dan mengisi jiwa itu dengan dzikir-dzikir kepada Allah SWT, sesuai dengan pengetahuan yang didapatnya dari mempelajari tulisan-tulisan beberapa ahli tasawuf. Dengan latihan jiwa yang berat selama sepuluh tahun yang berturut-turut dilewatinya mulai dari Damaskus, Yerussalem, Hebron, Hijaz, Iraq,Thus. Ia maju pesat di jalan sufi. Banyak rahasia-rahasia yang berhasil dibukukannya selama bertahun-tahun. Dan ia juga yakin sepenuhnya bahwa jalan sufi jalan terbaik yang pantas dilalui oleh manusia. Sikap Al Ghazali terhadap faham sufi tidak pernah berubah sampai akhir hayatnya.
 

  • Karakteristik Tasawuf Al Ghazali

Tasawuf yang dibangun oleh Al Ghazali mempunyai karakteristik yang berbeda dengan tasawufnyaAbu Yazid Al Bustami atau Abu Mansur Al Hallaj yang lebih cenderung kepada rasa cinta kepada Tuhan yang kemudian meninggalkan segalanya. Karaktertasawuf Al Ghazali adalah tasawufyang religius sunni yang bertumpupada kesucian rohani serta keluhuran budi yang merupakan perwujudan paling otentik dan valid dari religiusitas seseorang. Tasawuf yang sunni inilah kemudian diterima oleh kalangan luas dan akhirnya mempunyai pengaruh yang begitu kuat di dunia Islam.

Al Ghazali juga telah berhasil menghubungkan rumusan-rumusan dogmatic dan formal dariilmu kalam ortodoks dengan ajaran agama yang dinamis.Sehingga beliaulah pelopor yang telah berhasil dan mampu menghidupkan kembali dua disiplin tersebut dengan semangat wahyu yang orisinil. Artinya dia telah memberi pelajaran yang sangat berharga kepada golongan skolastik murni serta mampu melenturkan watak dogmatis ajaran agama dan memasukkan dimensi yang vital diantara segi-segi lahiriah ( eksoterik ) dengan segi batiniah

Dari sekian panjang perjalanan rohani yang telah dilalui oleh Al Ghazali, ada beberapa ajaran yang telah dirumuskannya dan terkodifikasi. Pertama, Ajaran itu adalah Ma’rifat, Al Ghazali menggunakan tasawuf untuk mencari apa yang diyakininya sebagai kebenaran. Kebenaran yang dicari itu didapatkan melalui pengalaman batin (dzauq).Dan dengan latihan-latihan yang panjang dan berat, didapatlah ilham yang menerangi hati dari Allah SWT sehingga dengan penerangan itu tersingkaplah kebenaran yang hakiki. Orang jikatelah memperoleh kebenaran yang hakiki inilah kemudian disebut dengan orang yang telah ma’rifat

Ilmu ma’rifat menurut Al Ghazali, bukanlah didapat semata-mata dengan akal.Karena ilmu ma’rifat merupakan ilmu yang sebenarnya mengenal tuhan, mengenal hadratrububiyah .Ujud tuhan meliputi segala wujud.Tidak ada yang ujudmelainkan Allah dan perbuatannya. Allah dan perbuatannya adalah dua bukan satu [15] .disinilah Al Ghazali berbeda dengan Al Hallaj dan ulama sufi lainnya yang berpengaruh. Ujudnya itu adalah kesatuan alam semesta (wihdatul wujud). Alam seluruhnya ini adalahmakhluq dan bukti tentang kekuasaan dan kebesarannya apabila telah jelas dalam hati ma’rifat akan tuhan dalam hatinya akan hakikat ketuhanan dan sifat-sifat serta af’al-af’al dan nikmat rahmat yang terkandung dalam kejadian dunia dan akhirat, itulah kebahagiaan yang sejati.

Sarana ma’rifat seorang sufi adalah kalbu, bukan perasaan danbukan pula akal budi. Kalbu, menurut Al Ghazali bukanlah bagian tubuh yang dikenal terdapat pada sebelah kiri dada seorang manusia, tapi ia adalah percikan rohaniah ketuhanan yang merupakan realitas hakikat manusia, terkadang ia berkaitan dengan segumpal daging manusia, namun akal budi belum mampu memahami perkaitan antar keduanya [16] . masih menurutnya,kalbu bagaikan cermin, sementarailmu adalah pantulan gambar realitas yang terdapat didalamnya. Jelasnya, jika cermin kalbu tidak bening, maka ia tidak dapat memantulkan realitas-realitas ilmu. Dan yang membuat cermin kalbu tidak bening adalah hawa nafsu tubuh.Sementara ketaatan kepada Allah serta keterpalingan dari tuntutan hawanafsu itulah yang justru membuatkalbu berlinang dan cemerlang.

Kedua, tingkatan manusia. Menurut Al Ghazali, kecerdasan dan kesanggupan akal manusia berbeda antara satu dengan yang lainnya. Akan senantiasa terdapat orang yang awam (manusia biasa) dan orang yang khowas (manusia dengan kelebihan kecerdasan). Maka kemudian beliau membagi beberapa tingkatan manusia untuk mencapai tingkat keimanandan ketaqwaan

  1. Tingkatan orang awam. Orang awam ini mempercayai kabar berita yang dibawa oleh orang yang dipercayainya.
  2. Iman orang alim. Dia mendapatkan keimanan dari membandingkan, meneliti dan memeriksa dengan segala kekuatan dan intelektualitasnya.
  3. Iman orang arifin. Dia akan tumbuh keyakinan setelah menyaksikan sendiri akan kebenaran itu dengan tidak ada sekat-sekatnya lagi.

Ketiga, kebahagiaan. Menurut Al Ghazali, kebahagiaan adalah tujuan akhir jalan para sufi sebagai buah pengenalan terhadap Allah [18] .Jalan menuju kebahagiaan itu adalah ilmu beserta amal sebagaimana beliau telah menyatakan, “Seandainya anda memandang kearah ilmu, niscaya anda akan melihatnya bagaikan begitu lezat sehingga ilmu itu dipelajari karena kemanfaatannya.Andapun niscayamendapatkannya sebagai sarana menuju akhirat serta kebahagiaan, dan juga sebagai jalan mendekatkan diri kepada Allah.Namun hal ini mustahil tercapai kecuali dengan ilmu dan amal.

Al Ghazali mendasarkan teori kebahagiaan kepada sebuah analisa psikologis, dan ia menekankan pula bahwa setiap bentuk pengetahuan itu asalnya bersumber dari semacam kelezatan dan kebahagiaan. Kebahagiaan setiap sesuatu adalah kelezatan dan keterbuaian.Maka kelezatan sesuatu itu hendaklah selaras dengan tabiatnya.Adapun kelezatan khusus kalbu adalah pengenalan terhadap Allah.Kelezatan itu sendiri merupakan buah dari pengetahuan.Sebab seandainya seseorang mengetahuisesuatu yang sebelumnya tidak diketahui, niscaya dia menjadi gembira. Begitu pula pengetahuanterhadap Allah yang melekat dalam kalbu, niscaya akan membuat gembira seorang yang arif serta membuatnya gelisah menantikan penyaksiannya.

Semakin banyak pengetahuan yang dapat diserap, semakin besarlah tingkat kepuasan dan bertambah mendalamlah rasa kebahagiaannya. Itulah sebabnya orang yang lebih luas ilmu pengetahuannya lebih merasa berbahagia daripada orang yang yang kurang pengetahuan, semakin tinggi ma’rifatullah seseorang mengenai Tuhan maka ia akan semakin bahagia

Sehingga kesempurnaan hidup manusia dapat diperoleh dengan mengaktualisasikan kesempurnaanbatin. Dan kesempurnaan batin hanya dapat ditempuh dengan jalan tasawuf dan tidak cukup dengan melalui jalan filsafat [20] .Dan disini jelaslah pandangan Al Ghazali terhadap filsafat, menurutbeliau filsafat bukanlah sesuatu yang final.Filsafat merupakan suatu upaya manusia yang tidak pernah dapat dihentikan karena memang tidak pernah selesai.Tasawuflah yang dapat mengakhiri ketidakpastian pencarian filsafat tersebut.

Orientasi umum pemikiran Imam Al Ghazali mengarah kepada konsep pengembangan kesempurnaan manusia. Suatu konsep kesempurnaan yang terlukis dalam term insane kamil atau dalam term lain dinyatakan sebagai manusia taqwa

 

  • Pengaruh Tasawuf Al Ghazali

Banyak sekali ilmu yang telah disumbangkan oleh Al Ghazali dalam rangka menambah hasanahkeilmuan agama islam. Hasil karya Al Ghazali mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam perilaku keberagamaan umat muslim setelahnya. Ini terbukti dari banyak hasil karyanya yang telahditerjemahkan kedalam beberapa bahasa sebagai respon positif atas ajaran-ajaran yang disampaikannya.

Al Ghazali juga dapat di golongkansebagai mujaddid dibidang agama karena beliau telah memberikan suatu kontribusi yang sangat spektakuler berkenaan dengan terobosannya dibidang tasawuf. Dengan formulasi tasawufnya itu, ia mampu menyatukan pandanganatau setidaknya mendekatkan persepsi antara golongan ahlu sunnah dengan golongan tasawuf itu sendiri sehingga memudarnya truth claim dari masing-masing kelompok yang sebelumnya telah sampai pada derajat pembid’ahan atau bahkan pengkafiran.

Hasil renungan-renungan brilian AlGhazali tidak hanya di konsumsi oleh kaum muslimin saja, akan tetapi banyak juga orang-orang nasrani termasuk para pendeta besar pada abad pertengahan yang mengambil referensi dari hasil pemikiran dan renungan beliau. Ini merupakan pertanda bahwa kebenaran-kebenaran yang di sampaikan oleh Al Ghazali merupakan kebenaran universal yang dapat diterima tidak saja oleh kalangan muslim, akan tetapijuga dapat diterima oleh kalangannon muslim.

Sedang secara kewilayahan, kontribusi Al Ghazali dalam pemahaman tentang konsepsi tasawuf tidak saja berkembang didearah Timur Tengah saja.Akan tetapai jiwa atau semangat ajaran beliau juga masih terasa sangat kental di Indonesia. Ini di buktikan dengan banyaknya pesantren di Indonesia yang memasukkan materi kajian Ihya’ Ulum Al Din dalam materi dasarnyameskipun mereka tidak menyatakan sebagai tasawuf sunni [22] .dan sampai saat ini pengaruh ajaran Ghazali semakin kuat karena disamaping di da’wahkan oleh para ulama-ulamabesar seperti syaikh Ar Raniri, syaikh Hasyim Asy ‘arie dan lain sebagainya, semakin banyak buku-buku karya beliau yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia.

1.4Biografi Al-Junayd al-Baghdadi

Abu AI-Qasim Al-Junayd bin Muhammad Al-Junayd AI-Khazzaz Al-Qawariri, lahir sekitar tahun 210 H di Baghdad, Iraq, la berasal dari keluarga Nihawand, keluarga pedagang di Persia, yang kemudian pindah ke Iraq. Ayahnya, Muhammad ibn Al-Junayd. Ia adalah murid dari Sirri al-Saqati dan Haris al-Muhasibi.

Al-Junayd pertama kali memperoleh didikan agama dari pamannya (saudara ibunya), yang bernama Sari Al-Saqati, seorang pedagang rempah-rempah yang sehari-harinya berkeliling menjajakan dagangannya di kota Baghdad. Pamannya ini dikenal juga sebagai seorang sufi yang tawadhu dan luas ilmunya. Berkat kesungguhan dan kecerdasan Al-Junayd, seluruh pelajaran agama yang diberikan pamannya mampu diserapnya dengan baik. Dan ia meninggal tahun 297 H / 298 M. dan dianggap sebagai perintis dari tasawuf yang bercorak ortodoks.

1.4.1Pengertian tasawuf meneurut Junayd al-Baghdadi dan tokoh lainnya

Mengenai penegertian tasawuf, Al-Junayd al-Baghdadi mengatakan bahwasanya tasawuf ialah bahwa engkau bersama Allah tanpa penghubung.[3] Sementara menurut Basyuni mendefinisikan tasawuf ialah kesadaran murni yang mengarahkan jiwa kepada amal dan perbuatan yang sungguh-sungguh, menjauhkan diri dari kehidupan dunia dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah untuk mendapatkan perasaan berhubungan erat dengan-Nya.

Akan tetapi Al-Junayd al-Baghdadi, lebih memperinci lagi. Ia  membagi definisi tasawuf ke dalam empat  bagian,  yaitu:

  1. Tasawuf adalah Mengenal Allah, sehingga hubungan antara kita dengan-Nya tiada perantara.
  2. Tasawuf adalah Melakukan semua akhlak yang baik menurut sunah rasul dan meninggalkan akhlak yang buruk.
  3. Tasawuf adalah  Melepaskan hawa nafsu menurut kehendak Allah.
  4. Tasawuf adalah Merasa tiada memiliki apapun, juga tidak di miliki oleh sesiapa pun kecuali Allah SWT.

Sehingga dari definisi-definisi taswuf diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwasanya tasawuf  ialah  upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, dengan jalan menyucikan diri dari segala sesutu yang dapat mencegah untuk dekat kepadaNya. Baik yang berupa perintah maupun yang dilarang oleh Allah SWT.

 1.4.2Pemikiran dan Ciri Tasawuf Al-Junayd al-Baghdadi

Sebelum ajaran tasawuf Al-Junayd al-Baghdadi, terdapat Pandangan-pandangan para sufi cukup radikal, memancing para yuris (fukaha) atau ahli fikih untuk mengambil sikap. Sehingga muncul pertentangan antara para pengikut tasawuf dan ahli fikih.Ahli fikih memandang pelaku tasawuf sebagai orang-orang zindik, yang mengaku Islam tapi tidak pernah menjalankan syariatnya.Hal ini karena, banyak pelaku tasawuf yang secara lahir meninggalkan tuntunan-tuntunan syari’at.Sebaliknya, tokoh zuhud-tasawuf memandang tokoh-tokoh fikih sebagai orang-orang yang hanya memperhatikan legalitas suatu persoalan, banyak penyelewengan dilakukan untuk mendapatkan hal-hal yang sebenarnya dilarang.

Dari adanya hal itu, Al-Junayd al-Baghdadi memberikan penegasan lebih lanjut akan pentingnya amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Menurut al-Junayd,  tasawuf adalah pengabdian kepada Allah dengan penuh kesucian. Oleh karena itu, barang siapa yang membersihkan diri dari segala sesuatu selain Allah, maka ia adalah sufi.

Karena penekanan pada aspek amaliah inilah, maka tasawuf Al-Junayd al-Baghdadi terkesan berusaha menciptakan keseimbangan antara syari’at dan hakikat. Ini merupakan kecenderungan yang berbeda sama sekali dengan tasawuf yang berorientasi pada pemikiran atau falsafah. syari’at yang tidak diperkuat dengan hakikat akan tertolak, demikian pula hakikat yang tidak diperkuat dengan syari’at juga akan tertolak. Syari’at datang dengan taklif kepada makhluk sedangkan hakikat muncul dari pengembaraan kepada yang Haq (Allah).[6] Hal itu berarti kedekatan kepada Allah dapat dicapai manakala orang telah melaksanakan amaliah lahiriah berupa syari’at dan kemudian dilanjutkan dengan amaliah batiniah berupa hakikat.

Al-Junayd dikenal pemikirannya beraliran salaf.la tidak bersikap radikal dalam menghadapi setiap persoalan. la lebih berkonsentrasi pada ajaran tasawufnya yang bersandarkan pada Al Quran dan Hadis.

Dimana, pada umumnya orang memahami Zuhud sebagai sikap hidup para sufi yang meninggalkan kebahagiaan duniawi. Mereka membekali diri untuk mengejar kehidupan dan kebahagiaan akhirat semata, seolah tidak peduli dengan urusan duniawi atau urusan orang lain di sekitarnya. Jangankan urusan duniawi orang lain, untuk kebutuhan hidupnya sendiri pun terkadang ia tidak  terlalu peduli.

Karena diakuiatau tidak bahwasanya Tasawuf sebenarnya telah ada sejak Rasulullah, akan tetapi Rasulullah tidak secara langsung meneyebutkannya dengan tasawuf secara gamlang. Hal itu dapat terlihat dari pola hidup serta tata cara beliau dalam segala bentuk hidupnya yang menampilkan dengan penuh kesederhanaan. Namun pada perkembangan selanjutnya tasawwuf mengalami kemajuan yang dikembangkan oleh masing-masing tokoh tasawuf  dengan model masing-masing.

Begituhalnya mengenai masalah hulul dan ittihad yang tetap melandasinya dengan apa yang terdapat didalam ajaran al-Qur’an dan hadis. Artinya tasawuf  Junaid  al-Baghdady ini tetap memandang bahwa pentingnya syariat demi mencapai akhirat. Dimana, ajaran tasawuf al-Junaid ini sama dengan ajaran tasawuf Al-Muhibbi yang memberi tekanan besar pada disiplin diri  atau lebih sepesifik pada disiplin kalbu. Ia memperjelas antara  orientasi ukrawi dan moralitas.

Dari ajaran tasawuf  Al-Junayd al-Baghdadi ini sangat jelas bahwasanya, orang sufi itu tetap diwajibkan menjalankan syari’at untuk mencapai kehadirat Ilahi Rabbi. Tanpa menjalankan syari’at, seseorang tidak akan sampai kepada Allah SWT.

 

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dalam bidang aqidah kita meyakini ada 2 tokoh dalam bidang tersebut yaitu Al-Asy’ari dan Al-Maturidi yang mana keduanya memiliki pemikiran yang berbeda-beda. Yang mana al­asy’ari mengikuti mazhab al­syafi’i, sedangkan al­maturidi mengikuti mazhab hanafi keduanya sama-sama menyebarkan ajaran islam namun dengan cara pandang mereka sendiri.

Sedangkan dalam bidang fiqh kita memiliki 4 mazhab yaitu mazhab imam syafi’i, mazhab imam hanafi, mazhab imam hambali, dan mazhab imam maliki. Yang mana munculnya perbedaan mazhab ini muncul karena adanya perbedaan pendapat dikalangan ahli hukum islam mengenai aspek-aspek ajaran islam.

Berkat kerja keras yang dilakukan oleh Al Ghazali, telah banyak terobosan-terobosan baru bagi kehidupan keagamaan di masa beliau maupun setelahnya.Sikap toleransi, saling menghormati, dan keselamatan jiwa merupakan ajaran yang secara tersirat beliau sampaikan kepada umat manusia. Sesungguhnya semua hal yang telah dilakukan oleh beliau merupakan hasil dari proses pencarian kebenaran mutlaq yangbeliau idamkan selama hidup.

Sementara penegrtian tasawuf menurut Al-Junayd al-Baghdadi adalah Tasawuf adalah Mengenal Allah, sehingga hubungan antara kita dengan-Nya tiada perantara.Ajarannya dengan melakukan semua akhlak yang baik menurut sunah rasul dan meninggalkan akhlak yang buruk dan melepaskan hawa nafsu menurut kehendak Allah serta Merasa tiada memiliki apapun, juga tidak di miliki oleh sesiapa pun kecuali Allah SWT.Adapun ciri tasawuf  Al-Junayd al-Baghdadi yaitu adanya keterkaitan antara syari’at dan hakekat yang dilandasi dengan ajaran-ajaran dari al-Qur’an dan Hadis.Sementara para pengikut al­Asy’ari sendiri sesudahnya, lebih cenderung mengikuti pendekatan ta’wil, meskipun pendekatan ini berbeda dengan pendekatan ta’wil versi Mu’tazilah.

3.1 Saran

Kita sebagai orang islam harus memiliki rasa percaya pada salah satu m,azhab yang kita anut seperti yang dianut oleh Ahlussunnah wal jamaah yaitu mazhab Syafi’i dan mengikuti ajaran tassawuf dari al-Ghazali. Hendaknya kita percaya pada Allah dan para rasul dan juga para khulafaur rassyidin yang telah memberi tahu kita mengenai sejarah Islam.

 

DAFTAR PUSTAKA

Anshor, D. M. (2012). Bahth Al-Masail Nahdlatul Ulama. Yogyakarta: Teras.

Suyatno. (2011). Dasar-Dasar Ilmu Fiqh Dan Ushul Fiqh. Jogjakarta: Ar-Ruz Media.

 

 

Tinggalkan komentar